Sejak awal, Islam telah
menimbulkan suatu revolusi terhadap konsep agama dan maknanya bagi manusia.
Berbeda dengan agama lain, Islam menghubungkan agama dengan sains, agama dengan
politik, dunia dengan akhirat; semua hal-hal yang biasanya dilihat secara
terpisah. Oleh karenanya, memahami konsep agama dalam perspektif Islam adalah
sebuah kepentingan yang tidak bisa dilepaskan dari proses pembangunan
kepribadian Islami (syakhshiyyah islamiyah).
Pentingnya Ilmu
Sejak awal, Islam telah menimbulkan suatu revolusi terhadap konsep agama dan
maknanya bagi manusia. Berbeda dengan agama lain, Islam menghubungkan agama
dengan sains, agama dengan politik, dunia dengan akhirat; semua hal-hal yang
biasanya dilihat secara terpisah. Oleh karenanya, memahami konsep agama dalam
perspektif Islam adalah sebuah kepentingan yang tidak bisa dilepaskan dari
proses pembangunan kepribadian Islami (syakhshiyyah islamiyah).
Islam adalah konsep komprehensif atas segenap aspek kehidupan, bukan
semata-mata berisi ritual dan doa-doa. Islam adalah ad-dien, bukan sekedar
religion atau agama. Dengan selesainya masa pewahyuan, maka Islam telah
memiliki konsep yang khas, komprehensif (syamil) dan lengkap (kamil) tentang
dirinya, manusia, kehidupan, dan bagaimana menghubungkan semua itu dalam satu
kesatuan (tawhid), demi mewujudkan pengabdian tunggal kepada Allah. Sayyid Abul
A'la al-Mawdudi menulis sebuah risalah kecil yang dengan detail menjelaskan 4
konsep dasar dalam Islam : al-ilah, ar-rabb, ad-dien dan al-'ibadah.
Kita tidak bisa memakai frame-work Barat atau tradisi-tradisi agama pagan dalam
memaknai Islam, terutama dalam kaitannya dengan kehidupan. Barat memakai
pendekatan sosiologi-antropologi-psikologi untuk memahami agama, sehingga
sepenuhnya bersifat empiris-sekuler-relatif. Menurut sudut pandang ini, segala
yang tidak bisa dibuktikan lewat empirisme, adalah sesuatu yang tidak mungkin
diterima. Jika pun diterima, maka ia bersifat relatif dan subyektif.
Diantara sekian banyak isu mendasar dalam peradaban umat manusia yang
direvolusi oleh Islam adalah konsep ilmu. Dalam Islam, ilmu dilepaskan dari
segala unsur mitos, magis, prasangka tak berdasar, dan hal-hal yang bersifat
pseudo-sains lainnya. Contoh pseudo-sains adalah astrologi. Selain mengakui
pencapaian ilmu melalui upaya-upaya eksperimental dan empiris, Islam juga
meneguhkan bahwa ada sumber otoritas mutlak dalam ilmu, yakni wahyu dan
kenabian. Sejak wahyu pertama turun, perintah pertama adalah iqra', yang
memiliki makna dasar darasa (mengkaji), faqiha (memahami), jama'a
(mengumpulkan), dan hafizha (menghafal).
Para ulama' generasi terdahulu pun telah
mengisyaratkan pentingnya ilmu dalam karya-karya mereka. Imam al-Bukhari
memulai kitab al-Jami' ash-Shahih dengan Kitab Bad'il Wahyi (awal mula turunnya
wahyu). Ini adalah pengakuan terhadap otoritas tertinggi wahyu sebagai sumber
ilmu. Dapat dimaklumi pula, wahyu pertama adalah surah al-'Alaq ayat 1-5,
dimana di dalamnya Allah berfirman "alladzi 'allama bil qalam, 'allamal
insana ma lam ya'lam". Hampir seluruh tafsir akan mencantumkan riwayat
detail dan panjang tentang al-qalam (pena) dan peran sentralnya dalam
peradaban. Bahwa, al-qalam adalah ramz al-'ilmi wa at-ta'lim (simbol ilmu dan
pengajaran). Ilmu adalah ruh Islam. Tanpanya, Islam akan mati.
Kitab al-'Ilmi ditempatkan oleh Imam al-Bukhari sebagai bab ke-3, setelah Kitab
Bad'il Wahyi dan Kitab al-Iman. Bahkan, di dalamnya ada bab yang berjudul Bab
al-'Ilmi qablal Qaul wal 'Amal (pasal tentang ilmu sebelum berbicara dan
berbuat), yang merupakan pasal ke-10 dalam Kitab al-'Ilmi.
Imam al-Ghazali memulai kitab Ihya' 'Ulumiddin-nya dengan Bab al-'Ilm. Dalam
kitab at-Targhib wa at-Tarhib, Imam al-Mundziry menempatkan Kitabul 'Ilmi :
at-Targhib fil 'Ilmi wa Thalabihi wa Ta'allumihi wa Ta'limihi wa ma Jaa'a fi Fadhlil
'Ulama' wal Muta'allimin (Bab tentang Ilmu : Motivasi tentang Ilmu, Mencari
Ilmu, Mempelajari dan Mengajarkannya, serta Riwayat lain tentang Keutamaan
Ulama' dan Pengajar), sebelum bab-bab ibadah seperti bersuci, shalat, zakat,
puasa, haji, dan bahkan jihad fi sabilillah. Kitab al-'Aqidah an-Nasafiyah yang
berbicara tentang teologi, juga mengawali pembahasannya dengan menjelaskan
konsep ilmu dalam pandangan Islam.
Para Sahabat Menuntut Ilmu
Tidak mudah menggambarkan semangat para Sahabat menuntut ilmu. Bukan karena
sedikitnya data, namun karena melimpah-ruahnya riwayat tentang hal itu sehingga
mustahil ditulis dalam makalah ringkas ini. Sebagai bukti, adalah terawatnya
ribuan hadits-hadits Rasulullah dalam berbagai kitab yang shahih dan kredibel. Jika
tidak ada tradisi ilmu yang sangat kuat di tengah-tengah mereka, tentu kita di
zaman ini akan bernasib sama dengan kaum Nasrani dan Yahudi, dimana agama
mereka telah kehilangan otentisitas karena sumber-sumber aslinya tidak terawat
dan tidak mungkin ditelusuri kembali.
Banyak diantara Sahabat yang kemudian dikenal sebagai para "Raja Perawi
Hadits", dimana mereka menghafal dan mentransmisikan kembali puluhan,
ratusan sampai ribuan hadits Nabi secara lisan dari ingatan mereka. Pada
generasi berikutnya, rekor ini dipecahkan dengan lebih spektakuler lagi.
Menurut sebuah catatan, Imam al-Bukhari menghafal sekitar 100.000 hadits
shahih, dan kurang lebih 200.000 hadits lainnya dari berbagai tingkatan.
Adalah mengherankan, bahwa para Sahabat sangat teliti memperhatikan
"peragaan" Rasulullah dalam segala hal. Bahkan, banyak diantaranya
yang sangat sepele dan jarang diperhatikan. Riwayat tentang rambut, jumlah
uban, bentuk wajah, postur tubuh, gigi, cara berjalan, dan lain-lain diingat
dengan baik. Ada
riwayat yang melimpah tentang cara menyisir rambut, memakai alas kaki, masuk
kamar kecil, cara berpakaian, dsb. Sebagian kecil ada yang mencatat, dan
mayoritas menghafalnya di luar kepala. Seluruh "peragaan" itu
kemudian dikenal sebagai as-Sunnah, yang mencakup ucapan, tindakan, keputusan,
dan gambaran sifat Rasulullah SAW.
Mengapa ilmu sedemikian penting bagi para Sahabat dan generasi terdahulu dari
umat ini?
Ilmu adalah Landasan Taqwa
Dalam kitab Ta'limul Muta'allim (teori-teori belajar), Syekh az-Zarnuji
menulis, "Kemuliaan ilmu semata-mata karena ia merupakan perantara menuju
taqwa, dimana dengannya manusia memperoleh kemuliaan di sisi Allah dan
kebahagiaan abadi."
Ibnu Rajab al-Hanbali berkata, “Dasar takwa adalah hendaknya hamba mengetahui
yang harus dijaga kemudian dia menjaga diri.” Beliau juga berkata, “Barangsiapa
menempuh suatu jalan yang dikiranya jalan ke Surga tanpa dasar ilmu, maka
benar-benar telah menempuh jalan yang paling sukar dan paling berat, dan tidak
menyampaikan kepada tujuan dengan kesukaran dan beratnya itu.”
Seorang ulama’ salaf yang lain berkata, “Bagaimana akan menjadi muttaqin, orang
yang tidak mengerti apa yang harus dijaga?”
Imam asy-Syafii dalam kitab ar-Risalah berkata, "Adalah haqq bagi bagi
seorang pencari ilmu untuk mencapai puncak kesungguhannya dalam memperbanyak
ilmu, bersabar menghadapi rintangan yang menjauhkannya dari mencari ilmu,
mengikhlaskan niat kepada Allah dalam mendapatkan ilmu baik secara tekstual
(hafalan) maupun dengan menyimpulkan (analisa), serta berharap kepada pertolongan
Allah di dalamnya karena tidak ada yang memperoleh kebaikan kecuali dengan
pertolongan-Nya."
Beliau juga berkata, "Sesungguhnya seseorang yang memperoleh ilmu tentang
hukum-hukum Allah dalam Kitab-Nya, baik secara tekstual (hafalan) atau dengan cara
mencari dalil (istidlal), maka Allah akan memberinya taufiq untuk berbicara dan
berbuat sesuai apa yang diketahuinya tersebut, beruntung dengan karunia dalam
agama dan dunianya, terhindar dari keraguan, bersinar terang hikmah dalam
hatinya, dan berhak untuk mendapat kedudukan sebagai imam (pemimpin) dalam
agamanya."
Hidayah adalah Buah Ilmu
Imam Ghazali menulis kitab berjudul Bidayatul Hidayah (awal tumbuhnya hidayah).
Secara umum, kitab ini berisi etika (adab) sehari-hari dalam kehidupan seorang
muslim, sejak bangun tidur sampai tidur kembali. Dalam muqaddimah kitab
tersebut, beliau menyatakan bahwa hidayah adalah tsamratul 'ilmi (buah dari
ilmu). Dengan kata lain, hidayah tidak akan tercapai tanpa landasan ilmu, dan
niat mencari ilmu haruslah demi meraih hidayah Allah.
Dalam pembukaan Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali menulis, "Sesungguhnya
hidayah – yang merupakan buah dari ilmu – mempunyai pangkal (bidayah) dan ujung
(nihayah), yang tampak (zhahir) dan yang tersembunyi (bathin). Tidak mungkin
sampai ke ujungnya sebelum memantapkan pangkalnya. Tidak akan mengerti
bathin-nya sebelum menyaksikan (musyahadah) terhadap zhahir-nya."
Pentingnya Adab sebelum Ilmu
Islam menempatkan adab (etika) sebagai sebuah karakter yang penting dimiliki
oleh seseorang, sebelum ia belajar dan agar bisa memperoleh manfaat dari ilmu
yang dikajinya. Tidak ada ilmu yang memberikan manfaatnya jika adab-adabnya
dilanggar dan dikacau-balaukan. Etika ini menyangkut niat; hubungan dengan
guru, teman dan ilmu itu sendiri; kesungguhan, komitmen, semangat; tahapan
belajar; berserah diri kepada Allah; bersikap wara' (menjauhi yang haram dan
syubhat); dan seterusnya.
Syekh az-Zarnuji menulis, "Saya melihat mayoritas mahasiswa dan pelajar di
zaman ini berusaha keras untuk menyelesaikan studi namun gagal mendapatkan
manfaat ilmu, atau minimal terhalang untuk mencapainya, yakni mengamalkan dan
menyebarkannya, sebab mereka keliru memilih jalannya dan tidak memenuhi
persyaratan-persyaratannya. Dan, siapa pun yang keliru memilih jalan, ia pasti
tersesat, gagal mencapai maksud dan tujuannya, baik sedikit maupun
banyak."
Imam Malik bin Anas ketika kecil dan hendak berangkat mencari ilmu, dipanggil
oleh ibunya, "Kemarilah, saya akan mengenakan untukmu pakaian ilmu."
Sang ibu kemudian mendandani Malik kecil dengan pakaian yang pantas, lalu
berkata, "Sekarang temui Rabi'ah, pelajarilah adab sebelum ilmunya."
Rabi'ah adalah salah seorang ulama' Madinah yang sangat gemilang di masa itu,
lengkapnya Rabi'ah ar-Ra'yi bin Abi 'Abdurrahman Farrukh.
Menjemput Hidayah
Imam al-Ghazali menyatakan, "Ketahuilah, manusia dalam mencari ilmu berada
dalam 3 keadaan. Pertama, orang yang mencari ilmu sebagai bekal kembali kepada
Allah, tidak menghendaki selain ridha-Nya dan (kebahagiaan) negeri akhirat,
maka inilah orang yang beruntung.
Kedua, orang yang mencari ilmu untuk membantu kehidupannya yang sesaat
(pragmatis), demi memperoleh kemuliaan, pangkat, dan harta; padahal dia
mengerti dan menyadari dalam hatinya akan kerapuhan posisinya dan kerendahan
tujuannya yang seperti itu; maka ia termasuk orang yang berada dalam bahaya
besar. Jika ajalnya menjemput sebelum sempat bertaubat, dikhawatirkan ia
terjerumus dalam su'ul khatimah. Urusan dirinya pun berada di tepi jurang,
tergantung kehendak Allah (jika Dia mau akan diampuni, jika tidak maka akan
disiksa). Jika ia mendapat taufiq untuk bertaubat sebelum tibanya ajal,
kemudian menyandarkan kepada ilmunya itu amal, sekaligus berusaha mendapatkan
apa-apa yang pernah dilewatkannya, maka ia akan menyusul kelompok orang-orang
yang beruntung diatas. Sesungguhnya orang yang bertaubat dari dosa sama halnya
dengan orang yang tidak berdosa.
Dan ketiga, orang yang dikendalikan oleh syetan sehingga menjadikan ilmunya
sebagai sarana untuk menumpuk harta, mengejar pangkat, berbangga diri dengan
banyaknya pengikut; (dimana) ia memanfaatkan ilmunya untuk memasuki segala
celah demi meraih dunia dan semua keinginannya; padahal dia merasa dirinya di
sisi Allah mempunyai kedudukan mulia, karena ia mengenakan simbol-simbol para
ulama', memakai "uniform" kebesaran mereka, baik dalam berpakaian
maupun berbicara; disertai kegesitan untuk meraup keuntungan duniawi, maka ia
adalah orang yang akan binasa. Ia orang dungu yang tertipu, terputus harapan
darinya untuk bertaubat sebab ia menyangka dirinya termasuk orang-orang yang
berbuat baik (muhsin)."
Golongan ketiga tersebut adalah para ulama' as-suu', yakni orang-orang yang
keberadaannya lebih dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW dibanding Dajjal
sekalipun. Mereka ini orang-orang pintar yang hanya berkeinginan untuk
menyesatkan manusia, memalingkan mereka kepada harta dan kenikmatan duniawi,
baik dengan perkataan maupun perbuatan. Dengan perbuatan dan sepak-terjangnya
mereka menyeru kepada dunia, padahal "lisaanul haal afshahu min lisaanil
maqaal". Perbuatan itu berbicara lebih fasih dibanding perkataan. Menurut
Imam al-Ghazali, merekalah penyebab semakin beraninya orang-orang awam untuk
berpaling kepada dunia. Sebab, orang awam tidak akan berani mengharapkan dunia
kecuali para ulama'-nya telah berbuat demikian terlebih dahulu. Na'udzu billah.
Wallahu 'alam bish-shawab.
(Jum'at, 19 Sya'ban 1426 H)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar