ALAMAT RUMAH

TAMAN VENTURA INDAH 2 BLOK D5 RT.02/10.JL.CURUG AGUNG TANAH BARU BEJI - DEPOK 16426

اهـــلا وســهــلا

sebuah perjalanan panjang dipenghujung tahun 2008. kami bersukur kepada Allah Swt, yang telah memberikan nikmat sebuah rumah yang sangat cukup bagi kami, beralamat di Jalan Curug Agung, Tanah Baru Beji -Depok. perumahan yang terjangkau untuk dimiliki. juga yang terpenting adalah letak yang cukup dekat dengan tempat kerja. Alhamdulillah. karena berbulan-bulan kami mencari rumah ke berbagai tempat sekitar depok dan sekolah tempat mengajar, ternyata sangat sulit menemukan rumah atau perumahan yang cocok dan sesuai dengan kondisi keuangan kami. kenikmatan itu datang lagi dengan lahirnya anak kami yang ketiga dan keempat ( kembar ) di awal tahun 2010, sangat membahagiakan.

العـلـم نـور ونـور الله لايـهــدى للــعـاص

USAHA MENDULANG UANG BERKAH

SUMBER HERBAL

Selasa, 09 Februari 2010

NILAI ETIKA KITAB TA'LIM AL-MUTA'ALLIM


Jaman berkembang dengan pesat. Peradaban manusia semakin modern. Dinamika sosial ditandai dengan perubahan pola pikir konvensional ke arah paradigma baru. Mode, life style klasik berkembang dan berubah menjadi life style metropolis, seiring dengan perkembangan jaman.
Ada dampak yang paradok dari perkembangan tersebut, yakni positif dan negatif. Dampak positif perubahan dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dekatnya jarak dunia yang dapat dijangkau dengan alat transportasi dan komunikasi modern, dan lain sebagainya. Namun, dampak negatif dari perubahan tersebut pun sulit dibendung. Pola pemikiran yang serba rasionalis, agresif, dan empiris akan menjebak manusia dalam kehampaan (nihilis) dan sekuler, bahkan atheis.
Efek negatif dari modernitas juga akan mendehumanisasi (objektivasi) manusia, yang ditandai dengan agresivitas (tindak kriminal baik personal maupun kolektif), loneliness (privatisasi), dan spiritual alienation. [1]Sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukan pengembangan pendidikan yang “sesuai” dengan tuntutan perkembangan jaman, dengan mempertimbangkan aspek-aspek pengaruh positif dan negatif. Hal ini karena pendidikan sebagai bagian dari peradaban manusia, mau tidak mau pasti akan mengalami perubahan dan perkembangan. Nilai-nilai ( values) merupakan sesuatu yang sangat krusial dalam kehidupan, termasuk dalam pendidikan. Tanpa nilai-nilai (kejujuran, keadilan, kesetaraan, dan lainnya), maka manusia seolah sebagai “robot-robot” berkaki dua. Di dunia pendidikan, guru hanya sebagai “pentransfer ilmu” layaknya robot, dan siswa sebagai “penerima” layaknya robot. Interaksi guru dan siswa menjadi “mekanistik” bagai mesin. Kondisi pendidikan yang demikian, mendorong kita untuk membangun paradigma baru pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada ilmu pengetahuan ( knowledge oriented) dan ketrampilan ( skill oriented), namun juga berorientasi pada nilai ( values oriented).[2]
Proses pembelajaran yang menekankan pada nilai-nilai (kejujuran, keharmonisan, saling menghargai, dan kesetaraan) adalah hal yang tidak bisa dikesampingkan, apalagi dielakkan. Dengan demikian, pendidikan harus memenuhi tiga unsur: pengetahuan ( ‘ilm), pengajaran ( ta’lim), dan pengasuhanyang baik ( tarbiyah). Proses pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai sebagaimana di atas mendapat perhatian serius tokoh pendidikan abad ke-12 M, al-Zarnuji. Dia menyusun Ta’lim al-Muta’allim yang di dalamnya sarat dengan nilai-nilai etik dan estetik dalam proses pembelajaran. Kitab ini telah dijadikan referensi wajib bagi santri di sebagian besar pondok pesantren di Nusantara. Nilai estetik tampak pada pemikiran al-Zarnuji tentang relasi dan interaksi guru dengan murid, murid dengan murid, dan murid dengan lingkungan sekitar.
Al-Zarnuji dan Ta’lim al-Muta’allim
Nama lengkap al-Zarnuji adalah Burhan al-Islam al-Zarnuji. Pendapat lain mengatakan bahwa nama lengkapnya adalah Burhan al-Din al-Zarnuji . Nama akhirnya dinisbahkan dari daerah tempat dia berasal, yakni Zarnuj[3], yang akhirnya melekat sebagai nama panggilan. Plessner, dalam The Encyclopedia of Islam mengatakan bahwa nama asli tokoh ini sampai sekarang belum diketahui secara pasti, begitu pula karir dan kehidupannya.[4] Menurut M. Plessner,al-Zarnuji hidup antara abad ke-12 dan ke-13. Dia adalah seorang ulama fiqh bermazhab Hanafiyah[5], dan tinggal di wilayah Persia.
Plessner memperkirakan tahun yang relatif lebih mendekati pasti mengenai kehidupan al- Zarnuji. Dia juga merujuk pada data yang dinyatakan oleh Ahlwardt dalam katalog perpustakaan Berlin, Nomor III, bahwa al-Zarnuji hidup pada sekitar tahun 640 H (1243 M), perkiraan ini didasarkan pada informasi dari Mahbub B. Sulaeman al-Kafrawi dalam kitabnya, A’lam al Akhyar min Fuqaha’ Madzhab al-Nu’man al-Mukhdar, yang menempatkan al-Zarnuji dalam kelompok generasi ke-12 ulama mazhab Hanafiyah.[6] Kemudian, Plessner menguji perkiraan Ahlwardt dengan mengumpulkan data kehidupan sejumlah ulama yang diidentifikasikan sebagai guru al-Zarnuji, atau paling tidak, pernah berhubungan langsung dengannya. Di antaranya adalah :
1.      Imam Burhan al-Din Ali bin Abi Bakr al- Farghinani al-Marghinani (w. 593 H/ 1195 M).
2.      Imam Fakhr al-Islam Hasan bin Mansur al-Farghani Khadikan (w. 592 H/ 1196 M).
3.      Imam Zahir al-Din al-Hasan bin Ali al-Marghinani (w.600 H/ 1204 M).
4.      Imam Fakhr al-Din al-Khasani (w. 587 H/ 1191 M), dan Imam Rukn al-Din Muhammad bin Abi Bakr Imam Khwarzade (491-576 H). [7]
Berdasarkan data di atas, Plessner sampai pada kesimpulan bahwa waktu kehidupan al-Zarnuji lebih awal dari waktu yang diperkirakan oleh Ahlwardt. Namun, Plessner sendiri tidak menyebut tahun secara pasti, hal lain yang disimpulkan secara lebih meyakinkan adalah bahwa kitab Ta’lim al-Muta’allim ditulis setelah tahun 593 H.
Ahmad Fuad al-Ahwani memperkirakan bahwa al-Zarnuji wafat pada tahun 591 H/ 1195M.[8] Dengan demikian, belum diketahui hidupnya secara pasti, namun jika diambil jalan tengah dari berbagai pendapat di atas, al-Zarnuji wafat sekitar tahun 620-an H.
Kitab Ta’lim al-Muta’allim merupakan satu-satunya karya al-Zarnuji yang sampai sekarang masih ada. Menurut Haji Khalifah dalam bukunya Kasyf al-Zunun ‘an Asami’ al-Kitab al-Funun, dikatakan bahwa di antara 15000 judul literatur yang dimuat karya abad ke-17 itu tercatat penjelasan bahwa kitab Ta’lim al-Muta’allim merupakan satu-satunya karya al-Zarnuji. Kitab ini telah diberi syarah oleh Ibrahim bin Ismail yang diterbitkan pada tahun 996 H. Kitab ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Turki oleh Abdul Majid bin Nusuh bin Israil dengan judul Irsyad al-Ta’lim fi Ta’lim al-Muta’allim.[9]
Kepopuleran kitab Ta’lim al-Muta’allim, telah diakui oleh ilmuwan Barat dan Timur.[10] Muhammad bin Abdul Qadir Ahmad menilainya sebagai karya monumental, yang mana orang alim seperti al-Zarnuji pada saat hidupnya disibukkan dalam dunia pendidikan, sehingga dalam hidupnya sebagaimana Muhammad bin Abdul Qadir Ahmad hanya menulis sebuah buku.[11]
Tetapi pendapat lain mengatakan bahwa kemungkinan karya lain al-Zarnuji ikut hangus terbakar karena penyerbuan biadab ( invation barbare) bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jenghis Khan (1220-1225 M), yang menghancurkan dan menaklukkan Persia Timur, Khurasan dan Transoxiana yang merupakan daerah terkaya, termakmur dan berbudaya Persia yang cukup maju, hancur lebur berantakan, tinggal puing-puingnya.[12]
Atmosfir Belajar dan Estetika Ta’lim al-Muta’allim
Ta’lim al-Muta’allim, sebagai panduan pembelajaran (belajar-mengajar) terutama bagi murid berisi muqaddimah dan 13 fasl (pasal, bagian). Dalam muqqadimah, al-Zarnuji mengatakan bahwa pada jamannya, banyak penuntut ilmu (murid) yang tekun tetapi tidak bisa memetik manfaat dari ilmu itu (mengamalkan dan menyebarkannya). Hal ini disebabkan karena peserta didik meninggalkan persyaratan yang harus dipenuhi, sehingga mereka gagal. Al-Zarnuji dalam muqaddimah kitabnya mengatakan bahwa kitab ini disusun untuk “meluruskan” tata-cara dalam menuntut ilmu. Adapun dari fasl 1 sampai 13, al-Zarnuji memberikan solusi tentang tata-cara menuntut ilmu.
Pada kajian ini, penulis tidak akan membahas secara keseluhan yang berkaitan dengan solusi yang ditawarkan al-Zarnuji, tetapi penulis membatasi pada relasi antara guru dengan murid yang memiliki nilai estetik.[13]
Menurut al-Zarnuji, belajar bernilai ibadah dan mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Karenanya, belajar harus diniati untuk mencari ridha Allah, kebahagiaan akhirat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat akal, dan menghilangkan kebodohan.[14]
Dimensi duniawi yang dimaksud adalah sejalan dengan konsep pemikiran para ahli pendidikan, yakni menekankan bahwa proses belajar-mengajar hendaknya mampu menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Adapun dimensi ukhrawi, al-Zarnuji menekankan agar belajar adalah proses untuk mendapat ilmu, hendaknya diniati untuk beribadah. Artinya, belajar sebagai manifestasi perwujudan rasa syukur manusia sebagai seorang hamba kepada Allah SWT yang telah mengaruniakan akal. Lebih dari itu, hasil dari proses belajar-mengajar yang berupa ilmu (kemampuan dalam tiga ranah tersebut), hendaknya dapat diamalkan dan dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kemaslahatan diri dan manusia. Buah ilmu adalah amal. Pengamalan serta pemanfaatan ilmu hendaknya dalam koridor keridhaan Allah, yakni untuk mengembangkan dan melestarikan agama Islam dan menghilangkan kebodohan, baik pada dirinya maupun orang lain. Inilah buah dari ilmu yang menurut al-Zarnuji akan dapat menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat kelak.
Dalam konteks ini, para pakar pendidikan Islam termasuk al-Zarnuji mengatakan bahwa para guru harus memiliki perangai yang terpuji. Guru disyaratkan memiliki sifat wara’ (meninggalkan hal-hal yang terlarang), memiliki kompetensi (kemampuan) dibanding muridnya, dan berumur (lebih tua usianya). Di samping itu, al-Zarnuji menekankan pada “kedewasaan” (baik ilmu maupun umur) seorang guru. Hal ini senada dengan pernyataan Abu Hanifah ketika bertemu Hammad, seraya berkata: “Aku dapati Hammad sudah tua, berwibawa, santun, dan penyabar. Maka aku menetap di sampingnya, dan akupun tumbuh dan berkembang”.[15]
Para ilmuwan, sastrawan, dan filosof, memberikan nilai yang terhormat dan menempatkan posisi strategis bagi para pelaku pendidikan. Al-Ghazali misalnya berkata: “Siapa yang memperoleh ilmu pengetahuan dan ia mengambil daya-guna untuk kepentingan dirinya, kemudian mentransformasikan untuk orang lain, maka orang itu ibarat matahari yang bersinar untuk dirinya dan untuk orang lain”.[16]
Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, guru berperan membersihkan, mengarahkan, dan mengiringi hati nurani siswa untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari ridla-Nya. Dengan kata lain, ini adalah dimensi sufistik. Peran kedua adalah peran pragmatik. Artinya, guru berperan menanamkan nilai-nilai pengetahuan dan keterampilan kepada muridnya. Hal ini bisa dicontohkan dengan diwajibkan dan diharamkannya ilmu. Kalau tidak ada guru, siswa akan kebingungan.
Selain itu, guru juga memilihkan ilmu mana yang harus didahulukan dan diakhirkan, beserta ukuran-ukuran yang harus ditempuh dalam mempelajarinya.[17] Unsur kedua yang memegang peranan penting dalam pendidikan adalah anak didik. Anak didik adalah manusia yang akan dibentuk oleh dunia pendidikan. Ia adalah objek sekaligus subjek, yang tanpa keberadaannya proses pendidikan mustahil berjalan.
Al-Zarnuji dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan anak didik, lebih mengaksentuasikan pada kepribadian atau sikap dan moral yang mulia, yang perlu dimiliki oleh para pelajar. Kepribadian yang harus dimiliki oleh murid, sebagimana dikatakan al-Zarnuji adalah setiap murid harus mempunyai sifat-sifat; tawadu’, ‘iffah (sifat menunjukkan harga diri yang menyebabkan seseorang terhindar dari perbuatan yang tidak patut), tabah, sabar, wara’ (menahan diri dari perbuatan yang terlarang) dan tawakal yaitu menyerahkan segala perkara kepada Allah.[18]
Di samping itu, al-Zarnuji juga menganjurkan agar dalam menuntut ilmu, murid hendaknya mencintai ilmu, hormat kepada guru, keluarganya, sesama penuntut ilmu lainnya, sayang kepada kitab dan menjaganya dengan baik, bersungguh-sungguh dalam belajar dengan memanfaatkan waktu yang ada, ajeg dan ulet dalam menuntut ilmu serta mempunyai cita-cita tinggi dalam mengejar ilmu pengetahuan.[19]
Persyaratan-persyaratan tersebut, bagi penulis merupakan persyaratan yang bersifat rohaniah. Ini tidak berarti dia mengabaikan persyaratan yang bersifat jasmaniah, seperti kebutuhan makan, minum, dan kesehatan. Namun, persyaratan jasmaniah adalah merupakan persyaratan yang melekat dalam kehidupan manusia sehari-hari, sedangkan persyaratan rohaniah tidak demikian.
Selain guru dan murid, faktor penting lain dalam pendidikan adalah faktor kurikulum. Kurikulum merupakan faktor yang sangat penting dalam proses kependidikan dalam suatu lembaga pendidikan. Mata pelajaran yang harus diketahui dan dihayati oleh anak didik harus ditetapkan dalam kurikulum. Materi pelajaran yang akan disajikan kepada anak didik, harus dijabarkan terlebih dahulu dalam kurikulum. Dengan demikian, dalam kurikulum tergambar dengan jelas dan berencana, bagaimana dan apa saja yang harus terjadi dalam proses belajarmengajar yang dilakukan oleh pendidik dan anak didik.[20]
Dalam masalah kurikulum, al-Zarnuji tidak menjelaskan secara rinci. Dalam kitab Ta’lim muta’allim dijelaskan tentang pelajaran yang harus dipelajari dan urutan ilmu yang dipelajari. Secara filosofis, dia memberikan uraian-uraian mata pelajaran sebagai kandungan dalam kurikulum seperti panjang pendeknya pelajaran, pelajaran yang harus didahulukan dan diakhirkan, pelajaran yang wajib dan yang haram dipelajari. [21]
Sekuen materi pelajaran hendaknya mengambil pelajaran baru yang dapat dihapalkan dan dipahami setelah diajarkan oleh guru. Selanjutnya setiap harinya ditambah sedikit demi sedikit ( tajrij) sehingga pada suatu ketika menjadi kebiasaan. Jika ukuran pelajaran yang diberikan sukar dan di atas kemampuanya, anak akan sukar untuk memahaminya, yang akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan kepada diri sendiri karena ia tidak memperoleh santapan jiwa yang sesuai buat pertumbuhan akalnya dan buat kemajuan.[22] Pernyataan al-Zarnuji di atas sejalan dengan pendapat pakar pendidikan modern yang menyerukan pembawaan anak didik harus diperhatikan dan dijadikan sebagai dasar dalam mengajar.[23]
Untuk mengimplementasikan kurikulum secara praktis, al-Zarnuji memberi acuan hal-hal yang harus dikerjakan, seperti wara’ dalam belajar, pemilihan waktu belajar-mengajar yang tepat, dan ukuran (sekuen) materi pelajaran.[24]
Bagi al-Zarnuji, bukan masalah banyak sedikitnya materi, tetapi yang lebih penting adalah materi yang lebih mendesak dan dibutuhkan. Ini berarti, al-Zarnuji memiliki pandangan bahwa kurikulum yang dipelajari harus relevan, yakni sesuai kebutuhan peserta didik.[25]
 Hal ini sudah barang tentu harus disesuaikan dengan kemampuan anak didik. Oleh karenanya, mula-mula bahan yang diberikan adalah yang mudah terlebih dahulu, baru naik ke tingkat yang lebih sukar. Ini menunjukkan, bahwa materi yang diberikan harus disesuaikan dengan kematangan anak didik.[26] Sesuai dengan pandangan al-Zarnuji ini, ilmu dapat diklasterisasikan menjadi beberapa kriteria, yakni ilmu yang dipelajari dari sudut pandang kegunaannya. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu agama dan ilmu umum, seperti kedokteran dan ilmu falak, yang semuanya digunakan untuk kemaslahatan.[27] Di samping ilmu-ilmu yang disebutkan di atas, ada ilmu-ilmu yang dilarang mempelajarinya, karena dianggap membahayakan seperti; ilmu mantiq, filsafat, dan ilmu jad. Meskipun secara gamblang al-Zarnuji tidak merinci ilmu mana yang secara sekuen diperuntukkan untuk tingkat rendah, menengah, dan tinggi, tetapi dia memberikan pandangannya tentang ilmu mana yang patut dipelajari oleh pelajar.
Dalam Ta’lim al-Muta’allim al-Zarnuji mengatakan bahwa proses belajar-mengajar hendaknya dilaksanakan sesuai dengan perkembangan jiwa seseorang. Misalnya, pada usia kanakkanak, aktivitas menghapal dengan cara perulangan harus diutamakan. Hal ini karena pola-pikir anak didik masih bersih, dan anak-anak masih cenderung untuk meniru apa yang disampaikan oleh sang Guru. Pada usia pendidikan menengah, anak didik mulai dikenalkan untuk memahami apa yang diajarkan oleh guru. Mata pelajaran yang telah diajarkan bukan sekedar untuk dihapal, tetapi harus dipahami makna-makna yang terkandung di dalamnya. Pada tahapan berikutnya, di samping menghapal dan memahami, anak didik harus aktif dan merefleksikan, serta kreatif untuk bertanya. Lebih lanjut al-Zarnuji mengatakan bahwa bertanya itu lebih baik dari pada menghapal selama satu bulan. Para pelajar hendaknya mencatat pelajaran-pelajaran yang telah diberikan oleh guru.[28] Untuk mencapai keberhasilan belajar, seorang murid seharusnya mempunyai kemauan yang keras dan berusaha secara serius karena sebuah kemauan tanpa disertai adanya usaha yang serius akan mengalami kegagalan, demikian sebaliknya. Berkaitan dengan metode pengajaran, al-Zarnuji mengemukakan pentingnya cara hapalan dan pemahaman, karena kedua cara ini berkaitan dengan sifat individu. Di samping itu, beliau juga mengembangkan cara belajar mudzakarah, munadzarah dan mutharahah.[29]
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi berkaitan dengan atmosfir akademik dan nilai estetik relasi antara guru dan murid sebagaimana dituangkan dalam Ta’lim al-Muta’allim, yakni pertama, titik tolak pemikiran pendidikan al-Zarnuji bermula dari pembicaraan tentang substansi dan esensi kehidupan. Dia cenderung menggunakan term-term tasawuf dalam pemikiran pendidikannya. Oleh karena itu, al-Zarnuji sangat menekankan pendidikan akhlak. Baginya, pendidikan yang utama adalah berangkat dari hal-hal yang substansial, yakni masalah moral (akhlak). Dengan kata lain, dari masalah yang substansi dan esensi ini akan melahirkan perform yang sejati. [30]
Pola hubungan atau relasi antara guru dan murid dalam Ta’lim al-Muta’allim sebagaimana dianjurkan al-Zarnuji adalah semacam “laboratorium” pembelajaran akhlak  untuk relasi yang lebih besar. Relasi ini dijiwai oleh sifat-sifat sufi seperti tawadhu’, sabar, ikhlas, penuh pengertian, dan saling menghormati. Ketika murid telah memiliki “pengalaman” relasi hidup sebagaimana dalam “laborat akhlak” maka yang akan muncul adalah pribadi-pribadi dengan bobot kualitas sebagaimana formulasi dalam laborat tersebut. Harapan yang akan terjadi adalah munculnya relasi yang sebenarnya dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan sikap sebagaimana disebut di atas, kehidupan akan harmonis karena tidak ada “dominasi”, intimidasi, kecongkakan, keserakahan, dan kemunafikan. Perang, teror dalam berbagai bentuk, invasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah wujud dari dominasi agresif manusia atas manusia lain. Pola relasi yang tidak nyaman ini akibat dari teralienasinya masalah moral (akhlak), sebagaimana diingatkan oleh al-Zarnuji. Relasi dan interaksi atas dasar keramahtamahan dan saling menghormati sebagaimana dilakukan Nabi menjadi rujukan utama kitab ini.
Di samping itu, guru dalam Ta’lim al-Muta’allim memiliki peran sentral. Hal ini menjadi sangat beralasan, karena pemikiran sufistik al-Zarnuji sangat kental di dalamnya. Dalam tradisi sufi, seorang mursyid memiliki peran sentral dalam transfer ilmu. Pandangan demokratis al-Zarnuji tampak pada “keleluasaan” seorang murid untuk memilih dan menentukan gurunya. Hal ini menjadi sangat penting dalam proses pengembangan diri seorang murid. Secara psikologis, manakala siswa dalam keadaan “terpaksa” atau “terintimidasi”, maka yang terjadi adalah formalis.Yakni seolah-olah belajar, namun bukan muncul dari motivasi diri, tetapi karena “terpaksa”. Sekali lagi, budaya formal (formalitas) seringkali mengakibatkan kehancuran. Budaya pendidikan di
jaman modern terkadang memburu formalitas, sehingga memunculkan “budaya yang penting”, dengan diperoleh dengan cara apapun, sekalipun tidak diperbolehkan. Bagi al-Zarnuji, hapalan adalah salah satu strategi pembelajaran yang tepat untuk anak-anak. Hal ini karena anak-anak memiliki daya tangkap ( auditory) yang kuat. Implementasinya, pelajaran hari ini sebaiknya dipelajari tiga kali, pelajaran kemarin sebaiknya dipelajari dua kali, dan seterusnya. Dalam konteks ini, kontinuitas pembelajaran akan terjaga, sehingga pencerapan dalam memory menjadi kuat. Ini senada dengan Teori Decay (kelunturan), yang mana Spitzer mengatakan bahwa setelah jangka waktu sehari informasi yang dilupakan sekitar 46%, seminggu yang dilupakan 56%, dan sebulan informasi yang dilupakan adalah 81%. [31]  Hanya saja, hapalan memang semakin tidak cocok bagi anak yang usianya semakin besar, apalagi untuk remaja dan dewasa. Selain itu, strategi pembelajaran aktif ( active learning) lain adalah strategi pembelajaran
yang di dalamnya mengandung unsur saling mengingatkan ( mudzakarah), tukar pandangan  ( munadzarah), dan berdiskusi ( mutharahah, munaqasyah).
 “Laboratorium” sosial al-Zarnuji ini dapat mengembangkan sikap toleran, inklusif, dan pluralis. Dengan sikap ini akan memunculkan kerukunan sosial dan keharmonisan hidup. Hanya saja realitas yang ada, pemikiran al-Zarnuji dipahami secara tekstual oleh praktisi pendidikan.
Kesimpulan
1.      Atmosfir akademik (pendidikan) dalam Ta’lim al-Muta’allim–sebagaimana diformulasikan oleh penggagasnya, al-Zarnuji– memiliki nuansa sufistik paedagogik. Hal ini tampak pada landasan pikir yang dibangun berangkat dari term-term tasawuf sebagai landasan utama. Konsep ridha, tawaddhu’, wara’, ikhlas, dan sabar merupakan kata kunci dalam proses pembelajaran.
2.       Konsep ini diimplementasikan dalam wilayah “mikro” sosial, sebagai “laboratorium”, yang bernama pendidikan. Harapannya laboratorium tersebut dapat menjadi ujung tombak pelaksanaan nilai-nilai yang bernuansa sufistik paedagogik.
3.      Dari pendidikan yang bernilai sufistik paedagogik tersebut akan melahirkan aktor-aktor intelektual yang berwawasan dan bermoral. Pluralitas, inklusivitas,toleransi, dan sikap-sikap lain, akan menghiasi kehidupan mereka dalam sebuah desa buana ( global village) yang penuh dengan keharmonisan dan ketenteraman.







[1] Kuntowijoyo, “Maklumat Sastra Profetik”, dalam Horison Tahun XXXIV, Nomor 5/2005, hal. 11
[2] Menurut Chabib Thoha, persoalan baik atau tidaknya manusia, adalah persoalan nilai, tidak hanya persoalan fakta dan kebenaran ilmiah rasional, akan tetapi menyangkut masalah penghayatan dan pemaknaan yang lebih afektif dari pada kognitif. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Sidi Gazalba tentang pengertian nilai, adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ideal, bukan benda kongkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar-salah yang menuntut pembuktian empiris, melainkan penghayatan yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi. Lihat, Chabib Thoha, Substansi Pendidikan Islam (Kajian Teoritis dan Antisipatip Abad XXI) (Banjarmasin: IAIN Antasari Banjarmasin, 1997), hal. 65-66.
[3] al-Zarnuji berasal dari kota Zarnuj, yakni sebuah kota yang menurut al-Qarasyi berada di Turki. Sedang menurut Yaqut, berada di Turkistan di sebelah sungai Tigris, yang jelas kedua kota tersebut dulunya masuk Transoxiana. Namun ada pendapat lain yang mengatakan beliau berasal dari kota Zarandj, yakni sebuah kota di wilayah Persia yang pernah menjadi ibu kota Sidjistan yang terletak di sebelah selatan Herat. Lihat, Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum (Mesir: Kairo University, 1986), hal. 10.
[4] M. Plessner “Al-Zarnuji” dalam The Encyclopedia of Islam, Vol. IV (Leiden: E. J. Brill, 1913-1934), hal.1218.
[5] Mazhab Hanafiyah adalah aliran mazhab fiqh yang disponsori oleh Imam Abu Hanifah. Ciri utama mazhab ini adalah mengutamakan ra’y dan qiyas di samping al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pedoman. Aliran ini berkembang di Khurasan dan Transoxiana. Lihat, Abu al-A’la al-Maududi, al-Khilafah wa al-Mulk,Terj. Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan, Cet. III, 1990), hal. 285-303. Bisa dibaca juga dalam Asyurbasyi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, Terj. Sabil huda dan Akhmadie (Jakarta: Bumi Aksara, 199l), hal. 45-76
[6] Sayangnya tidak ada keterangan yang jelas tentang hubungan tahun yang diberikan oleh Ahlwardt dengan penggenerasian yang dilakukan oleh al-Kafrawi. Lihat, Muhammad bin Abdul Qadir Ahmad, Ta’lim, hal. 13.
[7] Muhammad bin Abdul Qadir Ahmad, Ta’lim, hal. 14
[8] Ahmad Fuad al-Ahwani, al-Tarbiyah fi al-Islam (Mesir: Isa al-Bab al-Halabi, l955), hal. 238
[9] Dalam sumber lain, karya Brockelmann bahwa kitab Ta’lim al-Muta’allim pertamakali diterbitkan di Mursidabad pada tahun 1265, kemudian diterbitkan di Tunis pada tahun 1286, 1873, di Kairo tahun 1281, 1307, 1318, di Istambul 1292, dan di Kasan tahun 1898, Selain itu kitab Ta’lim al-Muta’allim telah diberi syarah dalam tujuh penerbitan yakni: pertama, atas nama Nau’i, tanpa keterangan tahun penerbitan; kedua, atas nama Ibrahim bin Ismail pada tahun 996 H/ 1588 M; ketiga atas nama Sa’rani pada tahun 710-711 H; keempat, atas nama Ishaq bin Ibnu al-Rumi Qili pada tahun 720 dengan judul Mir’ah al-Thalibin; kelima, atas nama Qodi bin Zakariya al-Anshari A’ashaf; keenam, Otman Pazari, l986 dengan judul Tafhim al- Mutafahhim; ketujuh, H. B. Al. al-Faqir, tanpa keterangan tahun penerbit. Affandi Mukhtar, “Ta’lim al- Muta’allim Thariq al-Ta’allum”, dalam Lecture (Cirebon: LKPPI, 1995), hal. 67
[10] Kitab Ta’lim al-Muta’alim pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Enchiridion Studiosi, telah dilakukan sebanyak dua kali yakni oleh H. Roland pada tahun 1709 dan oleh Caspari pada tahun 1838, dan kitab ini hampir tersedia di seluruh perpustakaan di Dunia pada jamannya. Lihat, Affandi Mukhtar, Ta’lim, hal. 69
[11]  Muhammad bin Abdul Qadir Ahmad, Ta’lim, hal. 24.
[12] Keterangan lebih lanjut baca dalam Muhammad Abdurrahman Khan, Sumbangan Umat Islam terhadap Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (Bandung: Rosdakarya, 1986), hal. 60.
[13] al-Zarnuji, Ta’lim, hal. 1.
[14] al-Zarnuji, Ta’lim, hal. 13
[15] M. Athiyah al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, Terj. Syamsuddin et.al. (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, TT).
[16] M. Athiyah al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, Terj. Syamsuddin et.al. (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, TT).
[17] al-Zarnuji, Ta’lim, hal. 13.
[18] al-Zarnuji, Ta’lim, hal. 13
[19] al-Zarnuji, Ta’lim, hal. 25-26
[20] H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 84,. bandingkan dengan M. Zein, Asas-asas dan Pengembangan Kurikulum (Yogyakarta: Sumbangsih Offset, 1991), hal. 3
[21] al-Zarnuji, Ta’lim, hal. 15-17
[22]. al-Zarnuji, Ta’lim, hal. 52.
[23] M. Athiyah al-Abrasy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal. 190
[24] al-Zarnuji, Ta’lim, hal. 85
[25] al-Zarnuji, Ta’lim, hal. 3-4
[26] Bandingkan dengan pendapat S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, Dasar-Dasar dan Pengembangannya (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 101-102.
[27] Muhammad Abdul Qodir Ahmad, Ta’lim, hal. 90.
[28] Ibid., hal. 57; lihat, QS. 29: 29, QS. 19: 12.
[29]  Ibid., hal. 57; lihat, QS. 29: 29, QS. 19: 12.
[30] Ibid., hal. 60
[31] Ari Agustian Ginanjar, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ, Sebuah Inner Journey (Jakarta: Arga, 2003), hal. 255-256.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar