A. Biografi Al-Zamakhsyarîy
1. Lahir Tumbuh Kembang dan Wafat
Nama lengkap al-Zamakhsyarîy adalah Abû al-Qâsim Jârullah Mahmud ibn ‘Umar ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Umar al-Khuwarizmi al-Zamakhsyarîy.[1] Ia lahir di tengah-tengah lingkungan sosial yang penuh dengan semangat kemakmuran dan keilmuan pada hari RAbû tanggal 27 Rajab 467 H. bertepatan dengan tahun 1074 M. di Zamakhsyar, suatu desa yang terdapat dalam wilayah Khuwârizm[2], sebelah utara Persia .[3]
Lingkungan keluarga yang berilmu dan taat beribadah. Ayahnya adalah seorang miskin dan tidak memiliki banyak harta, tetapi ia adalah seorang ‘âlim, yang memiliki sifat wara’ dan zuhud.. Nama ibu dan silsilahnya tidak disebutkan oleh al-Zamakhsyarîy. Walaupun demikian, al-Zamakhsyarîy menggambarkan bahwa ibunya seorang yang memiliki watak dan pribadi yang halus. Hal ini ditunjukkan ibunya ketika al-Zamakhsyarîy masih berusia kanak-kanak. Suatu ketika, al-Zamakhsyarîy menangkap seekor burung, kemudian diikatkannya dengan sehelai benang. Tiba-tiba burung itu terlepas dari tangannya dan didapatinya kembali burung itu ketika masuk ke dalam lubang. Ia lalu menariknya keluar dan karena itulah kaki burung itu sampai terpotong. Melihat keadaan demikian, ibunya merasa sangat kasihan terhadap burung itu dan ia pun sampai mengatakan kepada al-Zamakhsyarîy: “Nanti Allah memotong kakimu sebagaimana engkau telah memotong kaki burung itu”.[4]
Di masa hidupnya, al-Zamakhsyarîy memilih hidup membujang dan menjauhi wanita. Pilihan membujangnya ini tidak dikomentarinya lebih jauh. Akan tetapi, banyak komentar bermunculan dari para ilmuwan. Komentar tersebut berdasarkan pada pemahaman terhadap syair yang diciptakannya.
Jika dipahami dari bait syairnya, kata ‘Abd al-Majid Dayyâb, pen-tahqiq kitabnya Rabi’ al-Abrâr, dapat dikatakan bahwa ia hidup membujang disebabkan karena menurutnya, orang yang paling bahagia adalah orang yang tidak mempunyai anak dan tidak mendirikan rumah. Ini dipahami dari syair yang diucapkannya sendiri :
واسعد الناس ناس قـط ما ولـدوا # ولا غـدوالخـراب الأرض عـمارا
Orang yang paling bahagia adalah orang yang tidak beranak;
dan orang yang tidak mempunyai rumah;
Sehingga mereka tidak akan meratapi anak-anaknya jika mereka mati; dan mereka juga tidak akan terkejut, jika rumah mereka roboh.
Akan tetapi pernyataannya tesrsebut, menurut ‘Abd al-Majîd Dayyâb dan Syekh Kâmil Muhammad, hanya merupakan basa-basi. Sebenarnya banyak hal yang tidak terungkap yang menyebabkan dia hidup dalam keadaan demikian. Di antara penyebabnya adalah kefakirannya dan ketidakstabilan hidupnya karena keadaan materi yang dimilikinya dan penyakit jasmani yang dideritanya. Cacat kakinya merupakan salah satu sebab yang menjadikan ia merasa lemah dan tidak sanggup untuk menanggung perkawinan dan tanggung jawab keluarga. Ini juga mungkin merupakan penyebab menjauhnya para wanita dari diri al-Zamakhsyarîy. Mungkin juga menjadi penyebabnya adalah karena kesibukannya menuntut ilmu dan kecintaannya terhadap ilmu dan karya-karya yang ditulisnya menyebabkan ia menjauh dari persoalan perkawinan.[6] Akhirnya Al-Zamakhsyarîy meninggal dunia di malam ‘Arafah pada tahun 538 H. di Jurjâniah, Khuwarizm setelah kembali dari Mekkah.[7]
2. Pendidikan dan Karir
Meskipun bukan dari golongan bangsa arab, Kecintaannya kepada bangsa Arab dan bahasa Arab serta ilmu pengetahuan sudah tertanam sejak kecil dalam diri al-Zamakhsyarîy.[8] Bahkan ketika usianya remaja ia sudah mempunyai cita-cita dan keinginan untuk menempati kedudukan yang dapat menunjang ilmu dan kepintarannya. Ia ingin memperoleh harta yang memadai bagi kehidupannya.[9] Hal ini didukung oleh kondisi lingkungan yang mengitari hidup dan kehidupan al-Zamakhsyarîy . Untuk itu ia lalu mengadakan berbagai usaha untuk memenuhi cita-citanya. Di negerinya ia telah mengadakan hubungan dengan para pembesar kerajaan pada masa pemerintahan Sultan ‘Abd al-Fattâh Malik syâh, yang bergelar Sultan Jalâl al-Dunyâ wa al-Dîn. Ia memuji dan menyanjung para pembesar kerajaan di negerinya. Dan hal ini menyebabkannya mendapatkan pemberian dari mereka. Akan tetapi apa yang diperolehnya itu belum memuaskan dirinya, karena ia tidak hanya ingin mendapat pemberian yang berupa harta, tetapi ia juga ingin mendapatkan pangkat dan kedudukan. Keinginannya yang terakhir ini tidak dapat dicapai di negerinya sendiri. Oleh sebab itu, ia melakukan perjalanan ke berbagai negeri untuk memenuhi cita-citanya itu. Pertama-tama ia pergi ke Khurasân. Di negeri ini ia memuji dan menyanjung banyak pembesar kerajaan, seperti Mujir al-Daulah Abû al-Fath, ‘Ali ibn al-Husain al-Ardistâni dan Mu’ayyad al-Mâlik ‘Ubaidillah ibn Nizâm al-Mulk. Karena apa yang dilakukannya terhadap para pembesar yang disanjungnya belum memberikan apa yang diinginkannya, maka ia lalu meninggalkan Khurasan menuju Isfahan (salah satu kota di wilayah Iran sekarang), tempat istana kerajaan Saljuk Muhammad ibn ‘Abû al-Fath Malik syâh (w. 511 H.).[10]
Pada tahun 512 H. al-Zamakhsyarîy mengalami menderita sakit keras[11] sehingga menyebabkannya lupa terhadap segala yang diangan-angankannya selama ini. Ia menyadari bahwa penyakit yang dideritanya itu merupakan ujian berat bagi dirnya yang telah berusaha keras untuk selalu mendapatkan harta dan pangkat sebagai cita-citanya. Akhirnya ia berjanji, jika suatu hari sembuh, ia tidak akan lagi mendekati sultan atau menyanjungnya demi meraih suatu pangkat dan jabatan. Maka setelah sembuh, ia melanjutkan perjalanan ke Baghdad.[12] Di tempat itulah ia tidak lagi berhubungan dengan para penguasa demi menginginkan harta dan pangkat sebagaimana sebelumnya, tetapi ia mendatangi para ulama dan para cendekiawan untuk mendapat ilmu pengetahuan dari mereka. Di sini ia mempelajari hadis dari berbagai ulama terkenal, seperti Abû al-Khattâb, ibn al-Barr, Abû Sa’ad al-Syifâni dan Syaikh al-Islâm Abû Mansûr al-Hâritsî.[13] Di sini ia pun mempelajari fikih dari berbagai ulama diantaranya adalah al-Damigânî dan al-Syarîf ibn al-Syajarî.[14]
Disamping itu, Al-Zamakhsyarîy juga menyadari bahwa harta dan pangkat yang telah dicita-citakannya dan yang pernah diraihnya selama ini merupakan perbuatan dosa. Oleh karena itu, Ia bertekad untuk menghapus dosa-dosanya itu dengan jalan bertaubat di tempat yang lebih mustajab. akhirnya ia berangkat menuju Baitullâh di Makkah al-Mukarramah. Di dalam perjalanannya menuju Mekkah diungkapkan dalam potongan bait-bait syairnya seperti yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya dari Musthafâ al-Shâwi al-Juwainî, diantaranya ; [15]
والله أكـبر رحـمة والله أكـبر نـعـمة وهـو الـكـريـم الـقـادر
وأحـق مـا يـشـكـو ابن آدم ذنبـه وأحـق مـا يشـكـو إلـيـه الغـافـر
فعسى المـلـيـك بـفـضـله وبـطوله يـكسو لبـاس البـر مـن هـو فـاجـر
يـا مـن يـسـافر فى البلاد مـنقـبا أنـى الى البلد الحـرام مـسـافـر
إن هـاجـر الإنـسـان عـن أ وطـانـه فالله أولى مـن إلـيـه يـهـاجـر
وتـجـارة الأبـرار تلك ومـن يـبـيع بالـدين دنـيـاه فـنـعـم الـتـاجـر
Allah adalah yang paling besar rahmat-Nya dan yang paling banyak nikmat-Nya, ia Maha Mulia dan Maha Kuasa; orang yang paling berhak mengadukan dosanya adalah manusia, dan yang paling berhak mengadu kepada-Nya adalah orang yang meminta ampun. Mudah-mudahan Allah Yang Maha Kuasa, dengan keutamaan nikmat dan Kekuasaan-Nya memakaikan orang yang berbuat jahat dengan pakaian kebajikan; Wahai orang yang sedang bepergian dan mengembara, sesungguhnya aku pergi menuju tanah haram. Jika manusia pergi meninggalkan negerinya, maka Allah selalu bersama orang yang berhijrah kepadanya. Dan itulah perdaganngan orang-orang yang brbuat kebajikan, dan orang yang membeli dunia dengan agamanya, mereka itulah padagang yang paling baik.
Setelah sampai di Makkah, al-Zamakhsyarîy mulai berkenalan dengan para ulama terkenal sekaligus menimba ilmu dari mereka. Orang pertama yang ditemuinya di sana, sekaligus menjadi tetangganya adalah al-‘Amir al-‘Alawi ‘Ali ibn ‘Isa ibn Hamzah ibn Wahhâs.[16] Kemudian selama dua tahun Ia berguru kepada Abdullah bin Thalhah al-Yâbirî (w. 518 H.) untuk mempelajari dan memperdalam kitâb Sîbawaih.[17]
Selama tinggal di tanah haram itu, Ia mengalami rasa rindu yang sangat dalam terhadap kampung halamannya, sehingga ia meninggalkan Makkah menuju Khuwârizm. Ketika berada di Khuwârizm, ia tinggal di sebuah rumah khusus yang didirikan oleh Muhammad ibn Anusytakin yang bergelar Khuwârizmisyâh (w. 521 H.).[18] Setelah Muhammad Khuwârizmisyâh meninggal, al-Zamakhsyarîy tinggal bersama Atsaz (w. 551 H.) yaitu anak Muhammad Khuwarizmsyâh dan atas perintahnya, al-Zamakhsyarîy mulai menyusun satu naskah buku yang terkenal dengan nama Muqaddimah al-Adâb (Pengantar Kesusasteraan).[19]
Namur, perlakuan dari Atsaz yang begitu baik itu, tidak dapat membuat hati al-Zamakhsyarîy betah untuk tetap tinggal di negeri kelahirannya. Akhirnya Ia pergi untuk kedua kalinya ke kota Mekkah. Dalam perjalanan menuju ke Mekkah Ia sempat singgah di Syam (Syiria) dan memuji Tâj al-Mulk (w. 526 H.), seorang wali kota Damsyiq dan Syams al-Mulk, anak Tâj al-Mulk.[20] Pada tahun itu juga Ia meneruskan perjalanannya menuju Makkah. Di sanalah, selama tiga tahun Ia menyusun kitab tafsîrnya al-Kasysyâf (Pembuka Tabir). Dan selama di Mekkah, Ia bertemu dengan ibn Wahhâs yang menjadi orang yang selalu memberikan bantuan dan pertolongan kepadanya. Ibn Wahhâs juga mendukung pandangan Mu’tazilah yang dianut oleh al-Zamakhsyarîy. Setelah beberapa waktu kemudian, al-Zamakhsyarîy kembali ke kampung halamannya. Dan dalam perjalanan pulangnya ini Ia sempat singgah di kota Baghdad pada tahun 533 H. Di kota inilah Ia banyak membaca buku-buku tentang bahasa, terutama pada Abû Mansûr al-Jawâlîqî.[21]
Dari hasil bacaannya dalam berbagai bidang ilmu, seperti tafsir, bahasa, maupun fikih menyebabkannya kelak menjadi seorang ulama yang diakui oleh ulama-ulama yang semasa dengannya ataupun ulama sesudahnya. Seperti yang dikatakan oleh Abû al-Yaman Zubaid ibn al-Hasan al-Kindî (w. 613 H.) bahwa pada zamannya, al-Zamakhsyarîy adalah seorang non Arab yang paling tinggi pengetahuannya tentang bahasa Arab dan yang paling banyak melakukan penelaahan atas kitab-kitab Arab dan hampir tidak diketemukan lagi di masa sesudahnya seorang ulama non Arab yang pengetahuan tentang bahasa Arabnya yang sangat mendalam seperti al-Zamakhsyarîy.[22]
Sebagai pencinta ilmu pengetahuan, Ia selalu mencari dan menuntut ilmu dari bebagai ulama termasuk ayahnya sendiri. Selain berguru secara langsung kepada para ulama yang hidup semasa dengannya, Ia juga mencari ilmu dengan cara menelaah berbagai buku-buku karya para ulama sebelumnya. Ia telah berguru dan menimba ilmu dari berbagai syekh, di antaranya Abû Mudâr Mahmûd ibn Jarîr al-Dabî al-Ashfahânî (w. 507 H.),[23] Abû Bakar Abdullah ibn Talhah al-Yabîrî al-Andalûsî (w. 518 H.),[24] Abû Mansûr Nasr al-Hâritsî, Abû Sa’îd al-Saqânî, Abû al-Khaththâb ibn Abû al-Bathr,[25] Abû ‘Alî al-Hasan al-Muzfir an-Naisâbûrî al-Dharîr al-Lugawî (w. 473 H.)[26], Qâdhî al-Qudhâh Abî Abdullâh Muhammad ibn ‘Alî al-Dâmigânî (w. 478 H.)[27] dan al-Syarîf ibn al-Syajarî (w. 542 H.). [28]
Al-Zamakhsyarîy dengan ilmu yang telah ditimbanya dari berbagai gurunya, mengembangkannya lagi kepada para muridnya yang cukup banyak jumlahnya. Pada saat itu, syekh yang menjadi guru tempat ia menimba ilmu, terkadang menjadi murid pula baginya. Pada saat itulah terjadi saling menerima dan memberikan ilmu. Hal ini terjadi antara al-Zamakhsyarîy dan beberapa ulama. Misalnya Dari al-Sayyid Abû al-Hasan ‘Alî ibn Îsâ ibn Hamzah al-Hasanî, salah seorang tokoh terkemuka dan terpandang di Makkah, al-Zamakhsyarîy menimba suatu ilmu tertentu dan sebaliknya syekh ini menerima ilmu lain dari al-Zamakhsyarîy.[29]
Di antara murid-muridnya yang lain[30] ialah Abû al-Mahâsin ‘Abd al-Rahîm ibn Abdullâh al-Bazzâz di Abyurad, Abû Umar ‘Âmir ibn al-Hasan al-Sahhâr di Zamakhsyar, Abû Sa’îd Ahmad ibn Mahmûd al-Syâdzilî di Samarkand, Abû Thâhîr Sâmân ibn ‘Abd al-Mâlik al-Faqîh di Khuwârizm, Muhammad ibn Abû al-Qâsim yang belajar ilmu fikih, ilmu i’rab dan mendengarkan hadis dari al-Zamakhsyarîy, Abû al-Hasan Alî ibn Muhammad ibn Alî ibn Ahmad ibn Hârun al-Umrânî al-Khuwârizmî yang pada akhirnya menjadi ulama besar yang melahirkan karya-karya besar dan lain sebagainya.[31]
Keluarga al-Zamakhsyarîy adalah keluarga yang cinta kepada ilmu pengetahuan. Pengaruh keluarganya itu membawa pengaruh yang besar pula pada diri al-Zamakhsyarîy untuk selalu menuntut dan mencari ilmu. Disamping itu juga pengaruh tersebut telah tertanam dalam dirinya untuk selalu mengembara dari satu kota ke kota yang lain guna mencari ilmu, ia berpindah dari satu syekh ke syekh yang lain untuk tujuan berguru dan menimba ilmu dari mereka.[32]
Selama di kampungnya, al-Zamakhsyarîy sudah mulai mempelajari bidang ilmu pengetahuan keagamaan dan berguru kepada para ulama terkenal yang ada di sana. Di antara gurunya adalah Abû Mudhar Mahmûd ibn Jarîr al-Dabî al-Isfahânî (w. 507 H.), seorang ulama bahasa, nahwu dan sastera.[33] Setelah berguru kepadanya, al-Zamakhsyarîy kemudian pergi merantau ke Bukhâra untuk menuntut dan mencari ilmu kepada para ulama yang ada di salah satu kota yang ada di Uzbekistan Semarang. Bukhâra pada waktu itu masih merupakan wilayah yang dikuasai oleh dinasti Samaniyah dan merupakan salah satu kota yang memiliki banyak ulama besar dan kenamaan. Di sanalah Ia mempelajari hadis dari berbagai ulama, seperti Abû Mansûr Nasr al-Hâritsî, Abû Sa’ad al-Tsaqafî dan Abû al-Khattâb ibn Abû al-Bathr. Ia mempelajari sastera dari Abû Ali al-Hasan ibn al-Muzfir al-Naisabûrî.[34]
Ketika di Baghdad pada tahun 533 H. Ia mempelajari ilmu fikih. Di sini ia belajar pada seorang ahli fikih yang bermazhab Hanafi, yaitu al-Damigânî (w. 498 H.)[35] dan al-Syarîf ibn al-Syajarî (w. 542 H.)[36]. Ia juga mempelajari berbagai kitab bahasa pada seorang ulama Baghdad yang bernama Abû Mansûr al-Jawâliqî (446-539 H.).[37]
Al-Zamakhsyarîy mempelajari dan menelaah kitâb Sîbawaih ketika berada di Mekah pada seorang ulama bahasa yang bernama Abdullah ibn Talhah al-Yâbirî (w. 518 H.). [38]
Kegiatan-kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh al-Zamakhsyarîy tidak terfokus hanya pada penimbaan ilmu pengetahuan yang sebanyak-banyak dari para ulama yang hidup pada masanya, dan pengembaraannya ke daerah-daerah hanya untuk mencari ilmu, tetapi juga berusaha untuk mengajarkan ilmu yang dimiliki pada orang-orang yang membutuhkannya. Tidak mengherankan, kalau al-Zamakhsyarîy didatangi oleh sejumlah orang yang ingin mempelajari ilmu darinya. Sebagai seorang ulama, al-Zamakhsyarîy selalu didatangi oleh para penuntut ilmu ketika berada di berbagai kota dan tempat dalam melakukan perjalanannya. Ahmad Muhammad al-Hûfî menyebutkan bahwa murid-murid al-Zamakhsyarîy cukup banyak jumlahnya. [39]
Murid-murid yang pernah berguru kepada al-Zamakhsyarîy yang pada akhirnya menjadi ulama yang terkenal dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Di antaranya Abû al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad al-Amaranî al-Khuwârizmîy (w. 566 H.), yang kemudian terkenal sebagai seorang sasterawan dengan julukan “Hujjat al-Afâdil wa al-Fakhr al-Masyâyikh”. Abû al-Hasan berguru pada al-Zamakhsyarîy tentang kesusasteraan Arab. Muridnya itu kemudian menjadi sahabat yang paling besar peranannya dalam mengembangkan sastera Arab.[40]
Muhammad al-Hûfî dalam bukunya al-Zamakhsyarî, yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya, menyebutkan bahwa murid-murid al-Zamakhsyarîy cukup banyak jumlahnya. Diantara mereka ialah Abû ‘Amar ‘Âmir ibn al-Hasan al-Sayyâr, seorang murid berasal dari Zamakhsyar, kota kelahiran al-Zamakhsyarîy, dari Thibristan seorang murid bernama Abû al-Mahâsin Ismâ’îl ibn ‘Abd Allâh al-Thawilî ; dari Abyorid seorang murid bernama Abû al-Mahâsin ‘Abd al- Rahîm ibn ‘Abd Allâh al-Bazzâr; dari Samarqand seorang murid bernama Abû Thâhir Sâmân ibnu al-Mâlik yang kemudian menjadi ahli fikih, dan seorang murid bernama al-Muwaffiq ibn Ahmad ibn Abî Sa’îd, yang kemudian menjadi ulama besar dalam ilimu bahasa Arab, fikih, sastra dan terkenal juga sebagai penyair. [41]
Diantara murid yang terkenal pula adalah Muhammad ibn Abî al-Qâsim yang juga terkenal dengan nama Abû al-Fadhl al-Yaqalî al-Khuwarizmî al-Adamî yang berjulukna “Za’im al-Masyîyîkh” ( pemimpin diatar para guru ) ( w. 562 H.). Ia menjadi seorang ahli nahwu dan satrawan terkenal. Ia dipandang sebagai tokoh satra Arab dan bahsa Arab. Ia tidak hanya mempelajari bahasa, ilmu pengetahuan mengenai i’râb, dan hadits dari al-Zamakhsyarîy, tetapi juga mempelajarinya dari syaikh yang lain. [42]
Ia menghabiskan sisa umurnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Ia didatangi oleh banyak murid yang datang dari berbagai pelosok negeri. Dengan pengetahuan yang dimiliki, ia telah sanggup menghasilkan beberapa karya tulis, seperti kitab al-Mawâdi’ wa al-Buldân, kitab Tafsir Al-Qurân dan Kitab Isytiqâq al-Asma’.[43]
3. Karya-Karyanya
Al-Zamakhsyarîy telah mengembangkan dan menyebarkan Ilmunya kepada para murid-muridnya, tidak hanya lewat lisan, tetapi juga lewat buku-buku yang telah ditulisnya. Sepanjang hidupnya ia telah menyusun sejumlah buku dalam berbagai bidang, baik dalam bidang ilmu syari’ah (agama), bahasa maupun sastera. Buku yang telah disusunnya berjumlah lebih dari lima puluh judul yang hingga sekarang masih banyak dijumpai dan dijadikan referensi dan bahan kajian.[44]
Di antara buku-buku yang ditulis al-Zamakhsyarîy seperti yang dikutip oleh Amin al-Khûli adalah sebagai berikut [45] :
1. Dalam bidang ‘aqîdah, seperti Risâlah fî Kalimât al-Syahâdah,[46]. Dalam buku ini ada beberapa pandangan ulama. Muhammad al-Hûfî, yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya misalnya, menyabutkan bahwa buku ini merupakan nama lain dari buku al-Kirâm al-Bararah Khashâish al-‘Asyrah. Sedangkan ‘Abd al-Majîd al-Dayyâb menyatakan bahwa buku berbeda dengan buku al-Kirâm al-Bararah Khashâish al-‘Asyrah [47]. Karena itu, dalam uraiannya, Ia membedakan antara kedua buku tersebut.[48] Kitâb al-Kasyf fî Qirâ’ât al-‘Asyr,[49] I’râb Gharîb Al-Qur’an. [50] Dâlat al-Nâsyid wa al-Râfidl fî ‘Ilm al-Farâid [51], Ta’lîm al-Mubtadi’ wa Irsyâd al-Muqtadi’ [52]
2. Dalam bidang hadis dan ilmu hadis al-Fâiq fî Gharîb al-Hadîs,[53] Khasâis al-Asyrah al-Kirâm al-Bararah,[54] Mukhtashar al-Muwâfaqât Baina Ahl al-Bait wa al--Shahâbah, Mutasyâbih Asmâ' al-Ruwât.[55]
3. Dalam bidang Fiqh dan Usul Fiqh ; Ru'ûs al-Masâ'il fî al-Fiqh, Mu’jam al-Hudûd fî al-Fiqh, al-Mihhâj fî al-Usûl, Syâfî al-‘Iy min kalâm al- Syâfî‘iy, Syaqâiq al-Nu’mân fî Haqâiq al-Nu’mân fî manâqib al-Imâm Abî Hanîfah al-Nu’mân[56].
4. Dalam bidang bahasa; Asâs al-Balâghah, [57] al-Asmâ fî al-Lughah [58]A’jâb al-‘ajîb fî Syah Lâmiyyat al-‘Arab[59] Jawâhir al-Lughah, Hâsyiyyat al-Mufassal, al-Durr al-Muntakhab fî Kinâyât wa Isti’ârât wa tasybîhât al-‘Arab[60], Samîm al-‘Arabiyyah.[61]al-Mustasfâ fî Amtsal al-‘Arab[62], Mu’jam al-‘Arabiy al-Fârisiy[63].
5. Dalam bidang nahwu; al-Anmûdzaj fî al-Nahwi,[64] Syarh li al-Kitâb Sîbawaîh [65], al-Mufashshal [66], al-Mufrad wa al-Muallaf fî al-Nahw [67], al-muhajât bi al-Masâil al-nahwiyyah aw al-Hâjî al-nahwiyyah[68], al-Âmâl fî al-Nahwi fî wafayât al-A’yân.[69]
6. Dalam bidang Arûdh; al-Qistâs[70]
8. Dalam bidang sastera; Atwâq al-Zahâb [72] Muqâmât al-Zamakhsyarî[73], Diwân al-Khuthab [74], Diwân al-Rasâil[75],Diwân al-Tamtsîl [76], Diwân al-Zamakhsyarîy [77], al-Qasidat al-Ba’ûdiyah [78], Qasidah fî Su'al al-Ghazâlî[79] Nawâbigh al-Kalim , Risâlat al-Mas'amah, al-Risâlat al-Nâsihah, Sawâ'ir al-Amtsâl dan Risâlat al-Asrâr. [80]
9. Bidang lain; Kitâb al-Ajnâs[81], al-‘Aql al-Kulliy[82], Tasliyyat al-Darar, Nuzhat al-Musta’nis [83], dan beberapa kitab lainnya.
B. Metode Tafsîr al-Kasysyâf
1. Motivasi Menulis Tafsîr
Dalam menguraikan sejarah penulisan Tafsir al-Kasysyâf, penulis akan menguraikan sesuai dengan pemaparan al-Zamakhsyarîy dalam muqaddimahnya, antara lain diuraikan bahwa penulisan ini berawal dari banyaknya ulama dari kalangan Mu’tazilah yang menafsirkan Al-Qur’an dengan cara menggabung-gabungkan antara ilmu-ilmu bahasa dengan prinsip-prinsip pokok agama. Setiap kali mereka datang kepada al-Zamakhsyarîy untuk mendiskusikan ayat yang akan dikaji, maka beliau memberikan penjelasan mengenai hakekat makna kandungan ayat. Ternyata keterangan dan uraian beliau dapat diterima dengan baik oleh para ulama tersebut, bahkan mereka merasa kagum. Akhirnya mereka menginginkan adanya sebuah kitab tafsîr yang berisi penafsiran-penafsiran seperti itu, dan dengan bulat mereka mengusulkan supaya al-Zamakhsyarîy mengungkapkan hakekat kandungan Al-Qur’an dan semua kisah yang terdapat di dalamnya, termasuk segi-segi penakwilannya. Akan tetapi beliau keberatan untuk memenuhi permintaan mereka dengan mengatakan :
أن املي عليهم الكشف عن حقائق التنزيل وعيون الأقاويل في وجوه التنزيل,
Informasi lain yang penulis temukan bahwa latar belakang penulisan kitab tafsir al-Kasysyâf adalah bahwa usulan dan permintaan untuk menghimpun apa yang diketahuinya tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan (حقائق التنزيل) dalam Al-Qur’an datang dari kalangan ilmuwan dari perguruan tinggi tempat ia mengajar ilmu bahasa Arab dan ushuluddin (teologi). Permintaan tersebut tidak segera dipenuhinya, akan tetapi permintaan itu terus mengalir dari berbagai pihak, sampai pihak pemerintah ikut pula merasa perlu bercampur tangan untuk mendukung permintaan dari berbagai pihak itu.[85]
Sebenarnya al-Zamakhsyarîy sadar akan kewajibannya untuk memenuhi keinginan mereka, tetapi beliau tetap keberatan. Namun setelah mengingat kondisi masyarakat yang begitu rusak ketika itu, bahkan para tokohnya pun nampak begitu merosot kepada minat dan semangatnya dalam mempelajari ilmu tafsir, apalagi untuk tertarik pada pengetahuan yang lebih tinggi, seperti ilmu bayân dan ilmu ma’âni, maka al-Zamakhsyarîy pun bersedia menuruti keinginan mereka.[86]
Sebuah informasi lain menyebutkan bahwa latar belakang penulisan kitab tafsîr al-Kasysyâf yaitu berawal ketika ia datang ke Mekah al-Mukarramah, lalu seorang Amir yang mulia, yaitu Abû al-Hasan Ali ibn Hamzah, meminta kepadanya agar ia mengarang sebuah kitab tafsîr. Kemudian ia mengabulkan permintaan itu dan mulailah ia menulis. Kitab tafsîr al-Kasysyâf tersebut berhasil diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat ( tiga tahun ), padahal menurutnya ia perlu waktu lebih dari tiga puluh tahun untuk menyelesaikannya. Rupanya Allah membukakan hatinya melalui barakah karena dekatnya beliau dengan Bait Allâh, Masjid al-Harâm.[87]
Pada awalnya al-Zamakhsyarîy hanya menerangkan huruf-huruf yang ada pada pembukaan surah-surah Al-Qur’an (terutama huruf-huruf muqâththa’ah), dan sebagian dari makna surah al-Baqarah. Sekalipun demikian, keterangan beliau cukup luas.
2. Sumber-sumber Penafsiran
Al-Zamakhsyarîy menafsirkan Al-Qur’an dengan mempergunakan ra’yu. Semua ayat yang dapat menimbulkan pengertian bahwa Allah itu serupa dengan makhluk, ditakwilkannya.. Dalam menafsirkan Al-Qur’an beliau berpegang pada segi-segi balâghah untuk menjelaskan antara hakekat dengan majâz. Dalam menerangkan makna-makna Al-Qur’an beliau berpegang pada segi bahasa dan sangat memperhatikan ilmu Bayân dan hampir dapat dikatakan bahwa al-Zamakhsyarîy dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak mempergunakan cerita-cerita Israiliyat dan dongeng-dongeng.[88]
Manna’ Khalîl al-Qattân memberikan komentar tentang tafsîr al-Kasysyâf. Menurutnya tafsîr al-Kasysyâf adalah sebuah kitab tafsîr yang paling masyhur di antara sekian banyak tafsîr yang disusun oleh mufassir bi al-ra’y yang mahir dalam bidang bahasa.[89] Atau menurut Harun Nasution, suatu pemahaman ayat tidak lagi berdasarkan pada arti lafdzi, tetapi dengan melampaui arti lafdzi untuk arti majazi dan arti metaforis, yang dibaca bukan yang tersurâh tetapi apa yang tersirat dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu kalam.[90]
Pernah diceritakan bahwa ketika menulis tafsîrnya, dia memulai dengan kata-kata; segala puji bagi Allah yang telah menciptakan Al-Qur’an ( khalaq Al-Qur’an ). Tetapi dia dinasihati oleh seseorang temannya agar membuang kata-kata tersebut, karena orang akan meninggalkan kitabnya dan tidak mau membacanya. Kemudian beliau pun merubahnya dengan kata-kata ; segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Al-Qur’an ( Ja’ala Al-Qur’an ). Padahal menurut beliau baik term khalaqa maupun Ja’ala adalah merupakan kata sinonim. Al-Âlûsî, Abû Sa’ûd, al-Nasafî dan para mufassir lain banyak menukilkan dari kitab tafsîr al-Kasysyâf.[91]
3. Referensi Penafsiran
Secara garis besar, referensi yang digunakan al-Kasysyâf, sebagaimana dijelaskan oleh Mustafa al-Sâwî al-Juwaenî, terbagi kepada enam macam refrensi ; [92]
a. Referensi Tafsîr ; Mujâhid (W.104 H.), ‘Amr bin ‘Ubâd al-Mu’tazili (W.144 H.), Abû Bakr al-‘Asam al-Mu’tazili (W.235 H.), al-Zujâj (W.311 H.), al-Rumânî (W.384 H.), ‘Alawiyyin, yaitu tafsîr yang banyak diriwayatkan dari ‘Ali bin Abî Talib dan Ja’far al-Sadiq dan tafsîr-tafsîr lain yang bertentangan dengan pemikiran Mu’tazilah, seperti tafsîr-tafsîr Jabbariyah, Khawârij, Râfidah dan al-Mutasawwifah.
b. Refrensi Hadits ; beliau tidak menyebutkan sumber-sumber refrensi hadits kecuali hadits yang berasal dari Sahih Bukhâri Muslim.
c. Refrensi Qiraat ; Mushaf Abdullah bin Mas’ud, Mushaf al-Harits bin Suweid shahib ‘Abdullah, Mushaf Ubay dan Mushaf ahli Hijaj dan Syam.
d. Refrensi Bahasa Arab ; kitâb Sîbawaih, Islâh al-Mantiq li ibn al-Sakittî (W.244 H.), al-Kâmil al-Mubarrad (W. 285 H.), al-Mutammim fî al-Khat wa al-Hijâi li Abdullah bin Daristaweih (W. 347 H.) dan al-Hujjah al-Fârisî (W.377 H.)
e. Refrensi Sastra ; al-Hayawan al-Jâhiz, Hamasah Abi Tamâm dan Nawabighul Kalim
f. Refrensi Nasihat dan cerita ; Syarah bin Hausyab, Rabî’ah bin al-Bisriyah, Tawûs bin Abû Malik bin Abû Dînâr dan sebagian kitab-kitab sejarah lainnya.
4. Metode Penafsiran
Dari beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa metode yang dipergunakan oleh al-Zamakhsyarîy dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah termasuk metode tahlîlîy[93]. Dalam menafsirkan suatu ayat, al-Zamakhsyarîy mengikuti runtutan ayat seperti yang tersusun dalam mushaf dan selanjutnya menerangkan rahasia-rahasia balâghah dan berpegang kepada ra’yu atau ijtihadnya.
5. Corak Penafsiran
Adapun corak penafsiran al-Zamakhsyarîy adalah bercorak kebahasaan dan teologis. Kedua corak ini sangat mendominasi penafsiran-penafsiran al-Zamakhsyarîy dalam kitab tafsîr al-Kasysyâfnya. Kecenderungan al-Zamakhsyarîy ini dilatarbelakangi oleh kelebihan dan keseriusannya dalam menggali ilmu-ilmu bahasa Arab dan aqidah Mu’tazilah yang diperpeganginya. Oleh karenanya, dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, al-Zamakhsyarîy terlebih dahulu menjelaskan kedudukan lafal dalam ayat kemudian berupaya mengungkap makna-maknanya dan semua ayat yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dita’wilkan, agar manusia terhindar dari kemusyrikan.[94]
Dilihat dari sudut keilmuan dan karyanya, al-Zamakhsyarîy adalah seorang imam dalam bidang ilmu bahasa, ma’ânîdan bayân.[95] Karena itu bagi orang-orang yang membaca kitab-kitab ilmu nahwu dan balâghah tentu sering menemukan keterangan-keterangan yang dikutip dari kitab al-Zamakhsyarîy sebagai hujjah. Beliau juga adalah orang yang mempunyai pendapat dan hujjah sendiri dalam banyak masalah bahasa Arab. Beliau bukan tipe orang yang senang mengikuti langkah orang lain yang hanya menghimpun dan mengutip saja, tetapi ia mempunyai pendapat yang orisinil yang jejaknya ditiru dan diikuti orang lain. Imam al-Zamakhsyarîy mempunyai banyak karya dalam bidang hadîts, tafsîr, nahwu, bahasa, ma’âni dan lain-lain. Di antara karangannya ialah al-Fa’iq tentang tafsîr hadis, al-Minhaj tentang ushul dan al-mufashshal tentang bahasa.[96]
Dari segi aqidah dan madzhab fiqih yang diperpeganginya, al-Zamakhsyarîy adalah seorang penganut Mu’tazilah dan mazhab Hanafi. Ia mena’wilkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan mazhab dan aqidahnya dengan cara yang hanya diketahui oleh orang-orang yang ahli, dan menamakan kaum Mu’tazilah sebagai “saudara seagama dan golongan utama yang selamat dan adil”. [97] Al-Zamakhsyarîy juga sangat keras membantah faham tasawwuf.[98]
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Zamakhsyarîy sangat menekankan pada upaya mengungkap makna yang terkandung dalam sebuah ayat. Beliau mengatakan dalam muqaddimah kitabnya bahwa tingkat ilmu yang dimiliki oleh para mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an rata-rata tidak seberapa jauh berbeda, bahkan hampir dikatakan sama. Jika terjadi perbedaan antara mufassir yang satu dengan mufassir yang lain itupun sangat kecil. Perbedaan sebenarnya hanya terletak pada kemampuan mengungkap makna ayat-ayat yang bersifat rahasia, samar dan tersembunyi di belakang kata-kata dan kalimat. Kenyataan menunjukkan bahwa makna yang tersirat hanya dapat diungkap oleh satu di antara seribu orang ulama, yaitu ulama yang telah mempunyai tingkat imu pengetahuan yang tinggi. [99]
Betapapun hebatnya seseorang dalam ilmu bahasa sehingga mampu menguasai bahasa Arab di luar kepala, tak seorang pun yang sanggup menembus rahasia dan menyelami hakekat makna Al-Qur’an kecuali setelah benar-benar menguasai dua jenis ilmu yang khusus berkenaan dengan Al-Qur’an, yaitu ilmu Ma’âni dan ilmu Bayân. Selain itu, seorang mufassir harus berwatak jujur, lapang dada, bertekad keras, sadar, berpandangan tajam terhadap setiap persoalan bagaimanapun kecilnya, bersifat hati-hati menghadapi isyarat yang terbersit dari Al-Qur’an sekalipun tidak demikian jelas kelihatan, berpengetahuan luas mengenai puisi dan prosa, memiliki pengalaman dalam berbagai eksperimen serta mengetahui benar cara mengatur dan menyusun kalimat untuk menghindari kesempitan makna atau kemungkinan khilaf.[100]
6. Sistematika Penulisan
Menurut Ahmad Muhammad al-Hufî, sebelum al-Zamakhsyarîy menulis tafsîrnya, beliau banyak membaca tafsîr-tafsîr Mu’tazilah sebelumnya, seperti Al-Qadhi Abdul Jabbar dan Mujahid.[101]
Uraiannya dimulai dengan menjelaskan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan arti global ayat. Beliau juga terkadang menjelaskan munasabah (keterkaitan) antar ayat dan terkadang pula mengemukakan syair yang berhubungan dengan ayat yang ditafsîrkannya.
Langka-langkah yang digunakan ketika menafsirkan ;
1. Menyebutkan nama surâh beserta kedudukannya, baik sebagai makkiyah maupun madaniyah, menjelaskan makna surâh dan nama lain dari surâh itu, jika ada riwayat yang menyebutkannya. kemudian menyebutkan keutamaan surâh, memasukan Qirâ’at, nahwu, sharaf dan ilmu-ilmu bahasa arab lainnya.
2. Kemudian menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat dengan mengutif pendapat orang sebelumnya, memberi argumentasi dan membantah pendapat orang yang berlawanan dengannya.[102] Kadang-kadang memberikan ayat-ayat pendek yang sejenis maknanya untuk mendukung argumentasinya.
3. Jika berkaitan dengan ilmu kalam, beliau membela dan mendukung aliran Mu’tazilah dengan argumen yang dia kuasai.[103] Adapun yang berkaitan dengan aya-ayat hukum, khususnya fiqih, beliau memaparkan banyak pendapat para ahli fiqih tanpa ada panatik pada madzhab Hanafi.[104]
4. Menjelaskan lafadz dari sudut kebahasaan, sesuai dengan keahliannya
5. Menjelaskan ayat Muhkamat dan Mutasyabihat, beliau berpendapat, Muhkamat adalah ungkapannya pasti, terjaga dari kemungkinan dan kerancuan arti. Sedangkan Mutsyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung arti relatif. Ayat-ayat muhkamat itu merupakan ummul kitab, dimana ayat-ayat mustasyabihat harus mengacu dan dikembalikan kepada Allah Swt.
6. Membahas i’rab dan mengambil Qirâ’at yang dianggap mendukung argumennya. Seperti yang dinukil oleh Muhammad Husen al-Dzahabi, bahwa al-Zamakhsyarîy dalam menjelaskan kalimat حتى يطهرن dalam surâh Al-Baqarah/ 3:222, mengambil Qirâ’at Abdullah bin Mas’ud yang membaca يتطهرن dalam arti mandi besar. Sedangkan jika dibaca yathurna tanpa tasydid, maka artinya putusnya darah haid. Menurut Imam Abû Hanifah, suami boleh menggauli istrinya setelah putus darah haidnya, walaupun belum mandi. Suami tidak boleh menggauli istrinya, sebelum putus darah haidnya, walaupun masa haidnya lama. Sedangkan menurut Imam Syâfi’i, suami tidak boleh menggauli istri yang putus darah haidnya, sebelum istrinya mandi terlebih dahulu. Karena al-Zamakhsyarîy mengambil bacaan Abdullah bin Mas’ud ( dengan tasydid ) yang berarti mandi, maka secara tidak langsung dia sependapat dengan Imam Syafi’i.[105]
7. Karakteristik
Hasbi ash-Shiddieqy menjelaskan, Tafsîr al-Kasysyâf dinilai sebagai tafsîr yang paling baik dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad, termasuk golongan Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah. Namun golongan Ahlus Sunnah memberikan kritik terhadap pendirian al-Zamakhsyarîy dalam bidang i’tikad karena berbau i’tizal.[106] Hal ini nampak jelas ketika terjadi perbedaan antara Ahlus Sunnah dan Mu’tazilah, maka beliau mengikuti ajaran Mu’tazilah.[107]
Hampir dikatakan, al-Zamakhsyarîy dalam menafsirkan, tidak menggunakan cerita-cerita Isrâiliyât Kalaupun mnggunakan, ia menyertainya baik dengan ungkapan روى dan penjelasan ke-da’if-an riwayat dan jauh dari ke-sahih-annya, atau dengan meyerahkan urusannya kepada Allah Swt. [108]
[1]Lihat, Amin al-Khûlî, Kasysyâf al-Zamakhsyarîy (Mesir: Maktabah al-Usrah, t.th.), Hal. 5, Muni’ Abdul Halim Mahmud, Manâhij al-Mufassirûn (Beirut: Dâr al-Kutub, 1978), Hal. 105, Ibrâhîm Dasûqy, “Sekilas tentang Riwayat Pengarang” dalam al-Zamakhsyarîy, al-Kasysyâf, Jilid IV (Teheran: Intisyârat Afataba, t. th.), Hal. 307. Lihat, H.A.R. Gibb dan J. H. Kraemers, Shorter Encyiclopedia of Islam (Leiden: E. J. Brill, 1974), Hal. 654. Lihat pula Abdul Azis al-Mu’thiy Arafah, Qa«iyah al-I’jâz Alqurâniy wa A£aruhâ fi Tadwîn al-Balâghah al-Arabiyah (Beirut : ‘Alim al-Kutub, 1985 M./1405 H.), Cet. I, Hal. 660. Al-Zamakhsyarîy mendapat gelar Jârullah (tetangga Allah), karena dia amat dekat kepada Allah dan tinggal beberapa lamanya di bayt al-Harâm (Mekah). Lihat selengkapnya, Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh (Beirut : Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994 M./1414 H.), Cet. I, Hal. 5. Gelaran lain yang diberikan kepadanya adalah Taj al-Islâm (Mahkota Islam) dan kebanggaan bangsa Khuwarizm. Lihat, Ali Hasan al-‘Aridl, Târikh Ilmi al-Tafsîr wa Manâhij al-Mufassirîn (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), Cet. II, Hal. 28.
[2] Khuwârizm ketika itu merupakan kota yang megah, luas, dan subur. Kondisi ini diakui oleh para alhli geografi Arab terkenal seperti al-Maqdisî, Yâqût dan Ibnu Batutah. al-Maqdisî misalnya mengatakan bahwa Khuwârizm adalah suatu daerah yang indah da luas, bangunan-bangunannya terbentang, rumah-rumah yang dihiasi oleh taman-taman yang bersambung-sambung, sawah-sawah, kebun-kebun, dan buah-buahan tidak pernah putus. Hal yang sama diakui oleh Yâqût yang mengatakan bahwa bangunan-bangunan yang terdapat di daerah Khuwârizm itu bersambung-sambung. Kota ini penuh dengan bangunan-bangunan megah. Kota-kota dan desa-desanya berdekatan satu sama yang lain dan banyak pula bangunan-bangunan rumah. Ibnu Bathûthah menceritakan bahwa Khuwârizm adalah daerah yang mempunyai pasar-pasar yang luas, jalan-jalan rayanya lapang, dan bangunan-bangunannya banyak. Kota ini pada masa lalu mempunyai peradaban yang tinggi yang hingga abad ke 13 Masehi berkembang menjadi peradaban Iran Kuno. Penduduknya sangat fanatik terhadap agama. Yâqût misalnya menunjukan bahwa seorang Mu’adzin akan segera bangun ketika waktu sahur tiba dan tidak akan tidur lagi hingga terbit fajar untuk mengumandangkan suara adzan subuh. Kemegahan kota ini tidak ada bandingannya dengan kota yang lain yang pernah ia lihat selama ini. Ibnu Bathûthah menyaksikan sendiri penduduknya mempunyai kebiasaan yang baik dalam melakukan shalat. Para mua’dzin di mesjid-mesjid mendatangi rumah-rumah para tetangga yang tinggal berdekatan digan mesjid untuk memberitahukan masuknya waktu shalat dan melaksanakan shalat di mesjid. Jika ada di antara mereka tidak melakukan shalat di mesjid, maka imam mesjid memberi sanksi dengan memukul mereka di hadapan para jamaah yang lain. Lihat Mushthafâ al-Shâwî al-Juwanî, Manhaj al-Zamakhsyarî fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm wa Bayân I’Jâzih, ( Mesir : Dâr al-Ma’ârif, t.t. ) h. 17-22.
[3] Andrew Reffin, “Zamakhshary,” dalam Mircea Eliade, ed., The Encyclopedia of Religion, vol. 15 ( New York : Macmillan Library Reference, t.th ), Hal. 554-555
[4]Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an; upaya menafsirkan Al-Qur’an dengan Pendekatan Kebahasaan, ( Jakarta : Fikra Publishing, 2006 ), Hal. 149
[5] ‘Abd al-Majîd Dhayyâb, Muqaddimah al-Tahqîq, dalam Rabî’ al-Abrâr oleh al-Zamakhsyarîy (Mesir: Dâr al-Hai’ah al-Misriyyah li al-Kuttâb, 1992), Hal. 17. Lihat pula, Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Audhah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh., Hal. 57.
[6] ‘Abd al-Majîd Dhayyâb, Muqaddimah al-Tahqîq, dalam Rabi’ al-Abrâr oleh al-Zamakhsyarîy., Hal. 17-18.
[7]Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh., Hal. 56. Lihat pula Manna’ Khalil al-Qaththân, Mabâhis fi ‘Ulum Al-Qur’an (Riyadl: Maktabah al-Ma’ârif li al-nasyr wa al-Tauzî’, 1996), Cet. II, Hal. 380. Lihat pula Muhammad Husein al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid. I, Hal.438
[8] Untuk selengkapnya baca, Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Audhah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh., Hal. 9.
[10] Muhammad ibn Abu al-Fath Maliksyâh adalah seorang raja keturunan Saljuk. Ia adalah seorang sultan yang bijaksana, berakhlak baik dan pemberani. Di antara kebaikan yang pernah dilakukannya adalah apa yang dilakukannya terhadap golongan Bathiniyyah. Ia meyakini bahwa untuk menciptakan kemaslahatan negeri dan penduduknya, perlu dilakukan usaha-usaha menghapuskan segala pengaruh yang ditimbulkan oleh golongan Bhatiniyyah itu dan membakar tempat-tempat tinggal mereka. Untuk itulah usaha itu dilakukannya. Musthâfa al-Shâwi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhsyarîy fî Tafsîr Alqur’ân al-Karîm wa Bayân I’jazih (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, t. th.), Hal. 34.
[11]Bahkan menurut Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uadah bahwa pada sebagian besar perjalanannya, al-Zamakhsyarîy ditimpa sakit keras. Lihat, Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Audhah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh, Hal. 9
[13] Dikutip oleh Ahmad Thib Raya dari Baghiyyah al-Wu’âh, karangan al-Sayûthi, ( t.t., Mathba’ah al-Sa’âdh, 1326 H ), Cet.II, Jilid 2, 388. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an, Hal.152
[14] Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh., Hal. 46.
[16]Ali bin Isa adalah seorang yang terpandang dan disegani di Makkah al-Mukarramah. Tidak hanya oleh penduduk Makkah, tetapi juga oleh para pemimpinnya. Ia memiliki banyak buku dan karangan. Lihat, Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwadhah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh., Hal. 47.
[17] Nama lengkapnya adalah Abû Bisyr ‘Amr ibn Ustmân ibn Qanbar (w. 188 H.). Ia lebih dikenal dengan nama Sîbawaih. Sibawaih hanyalah sebuah julukan, tetapi julukannya ini lebih dikenal daripada nama aslinya sendiri. Julukan ini dipandang unik, karena belum ada yang memperoleh julukan yang sama seperti ini sebelumnya. Kata Sîbawaih itu sendiri terdiri atas dua kata yaitu سي yang berarti “tiga puluh” dan بوي yang berarti “bau harum”. سيبويه berarti tiga puluh bau harum. Ia digelari dengan nama itu karena setiap orang yang bertemu dengannya selalu mendapat bau harum darinya. Sebuah pendapat mengatakan bahwa Sibawaih berasal dari bahasa Persia yang terdiri dari dua buah kata, yaitu sib yang berarti buah apel dan waih berarti wangi. Jadi Sîbawaih adalah buah apel yang wangi. Riwayat lain juga menyebutkan bahwa julukan itu diberikan kepadanya karena kedua pipinya bagai dua buah apel. Ada pula yang memberitakan bahwa julukan itu diberikan karena setiap orang berjumpa dengannya selalu mencium bau wewangian minyak berbau apel yang sering ia gunakan. Sementara pandangan yang lain juga menyebutkan bahwa julukan itu diberikan karena tingkah lakunya yang lembut. Pembawaannya yang baik selalu mendapat pujian dari orang yang bergaul dengannya. Sîbawaih adalah ulama yang sangat terkenal terutama di bidang nahwu. Ia berguru dari sejumlah ahli nahwu pada masanya dan memiliki sejumlah murid yang tidak terhitung jumlahnya. Ia telah menyusun sebuah buku yang sangat terkenal yaitu Kitâb Sîbawaih yang berisi uraian mengenai persoalan-persoalan nahwu. Kitab itu menjadi rujukan utama bagi para ulama nahwu yang hidup sesudahnya dan hingga kini masih menjadi rujukan penting. Lihat, Hasan Mu’arif Ambary, et. al., Ensiklopedi Islam, Jilid II (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Hal. 169.
[18] Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh., Hal. 50-51.
[19]Dalam pengantar buku ini, al-Zamakhsyariy menyebutkan kelebihan yang dimiliki oleh Atsaz dalam menjaga ilmu pengetahuan dan sastera serta para ulamanya. Lihat, Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an.,Hal. 155
[20] Tâj al-Mulk, sebagai Wali Kota Damsyiq telah membunuh enam ribu orang dari golongan Bâthiniyah dan berusaha menyatukan orang Arab dan Turkiman untuk menghadapi orang Eropa yang telah mengepung kota Damsyiq dan mengalahkan penduduknya dengan kekalahan yang Amat menyedihkan pada tahun 523 H. Syams al-Mulk adalah putranya yang memerintah dan menggantikannya mulai tahun 526 H. Lihat. Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an, Hal. 156
[21] Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidhah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh. Hal. 53-55.
[22] Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh. Hal. 53-55., Hal. 55. Lihat pula Musthâfa al-Shâwi al-Juwainî, Manhaj al-Zamakhsyarîy fî Tafsîr Alqur’ân al-Karîm wa Bayân I’jazih., Hal. 42.
[23] Ia seorang ulama Khuwârizm yang menguasai beberapa ilmu, seperti bahasa, nahwu dan kedokteran. Seorang ulama yang pertama memasukan faham Mu’tazilah dan menyebarkannya di Khuwârizm.banyak para ulama yang menimba ilmu darinya. Karya-karya tulisnya tidak diketahui jumlahnya. Salah satunya adalah seperti yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya dari buku Mu’jam al-‘Udabâ, yaitu Zâd al-Râkib. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an.,Hal. 157
[24] Ia seorang ulama Andalusia yang menguasai ilmu dalam bidang nahwu, ushul Fikih da fikih. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an.,Hal. 157
[25] Dari ketiga ulama inilah al-Zamakhsyarî mempelajari hadits. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an.,Hal. 157
[26] Seorang ulama di bidang sastra Arab yang memiliki banyak karya tulisnya. al-Zamakhsyarî berguru kepadanya sebelum Ia berguru ke Abû Mudhar Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an.,Hal. 157
[27] Seorang Fakih dari Baghdad bermadzhab Hanafi. Ia menjabat sebagai Qâdhî di sana selama beberapa tahun. Karyanya yang terkenal adalah Mukhtashar al-Hâkim fî al-Furû’. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an.,Hal. 157
[28] Seorang ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu bahasa Arab, nahw khususnya. Ia memiliki banyak karya tulis. Diantaranya yang tekenal adalah Kitâb Mâ Ittafaqa wa Ikhtilafa Ma’nâu. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an., Hal. 157
[29] Abd al-Majîd al-Dayyâb, Rabî’ al-Abrâr, Hal. 23
[30] Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh Hal. 15-16.
[31] Karya-karyanya seperti Kitâb al-Mawadhi wa al-Buldan dalam bidang sejarah, Kitâb Tafsîr Al-Qurân dan juga Kitâb Isytiqâq al-Asmâ dalam bidang bahasa. Hal ini diungkapkan oleh al-Sam’ani dalam kitab al-Ansab, Hal. 278, kemudian dikutip oleh ‘Abd al-Majîd Dayyâb dalam Muqaddimah kitab Rabi al-Abrâr, Hal. 23-25. kemudan dikutip lagi oleh Ahmad Thib Raya. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, Hal. 158
[33] Menurut Ahmad Muhammad al-Hûfî, seorang penulis tentang al-Zamakhsyarî, yang kemudian dikutip oleh Ahmad Thib Raya, bahwa Abû Mudhar Mahmûd ibn Jarîr al-Dabî al-Isfahânî merupakan ulama yang paling banyak memberi pengetahuan dan pengaruh yang paling besar kepada al-Zamakhsyarî. Pengaruh faham Muktazilah pada gurunyajuga ikut mewarnai pemikiran al-Zamakhsyarî. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, Hal. 160
[34] Ia adalah seorang penulis, penyair dan pengarang buku. Ia juga seorang ulama yang telah berjasa memberikan pendidikan kepada penduduk Khuwarizm dan menjadi guru al-Zamakhsyarîy. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, Hal. 160
[35] Seorang Fakih dari Baghdad bermadzhab Hanafi. Ia menjabat sebagai Qâdhî di sana selama beberapa tahun. Karyanya yang terkenal adalah Mukhtashar al-Hâkim fî al-Furû’. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an.,Hal. 157.
[36] Seorang ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu bahasa Arab, nahw khususnya. Ia memiliki banyak karya tulis. Diantaranya yang tekenal adalah Kitâb Mâ Ittafaqa wa Ikhtilafa Ma’nâu. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an., Hal. 157
[37] Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, . . ., Hal. 161
[38] Nama Lengkapnya, seperti yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya dari Ibnu Khallikan, Wafayât al-A’yân, Jilid 4, Hal. 474. dan dari Yâqût al-Hamawî, Mu’jam al-Udabâ, Jilid.19, Ha. 205. dan dari Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Baghiyyah al-Wu’âh, Hal. 401. yaitu Mauhûb ibn Abî Thâhir Ahmad Al-Jawalîqî. Ia seorang ulama besar dalam bidang sastra yang sebelumnya dipelajarinya di madrasah Nidzamiyah setelah al-Khatib al-Tabrizi. Kedalaman pengetahuannya dalam bidang kebahasaan sebanding dengan kedalam pengetahuannya dalam bidang Nahwu. Ia seorang Ulama Ahl al-Sunnah yang tawâdlû dan mempunyai berbagai karangan, seperti Syarh Adab al-Kâtib, Al-Mu’arrab min al-Kalâm al-A’jamî, dan al-Takmilah fî mâ Yalhanu fîhi al-‘Âmmah. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionlitas,.., Hal. 162
[40] Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, …, Hal. 163
[41] Muhammmad al-Hûfî, al-Zamakhsyarî, Hal. 42 kemudian Dikutip oleh Ahmad Thib Raya. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas,. ., Hal. 162
[42] Dengan pengetahuannya, ia telah menyusun beberapa karya tulis yang menjadi referensi bagi generasi seudahnya, diantaranya, Miftâh al-Tanzîl, Taqwîm al-Lisân fi al-Nahw, al-I’jâb fi al-I’râb, al-Bidâyah fi al-Ma’ânî wa al-Bayân, kitâb Manâzil al-‘Arab dan Syarh Asmâ Allâh al-Husnâ.Lihat Yâqût al-Hamawî, Mu’jam al-Udabâ,Jilid 19, Hal. 5. yang kemudian dikutip oleh Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, . . Hal. 163
[43] Lihat Yâqût al-Hamawî, Mu’jam al-Udabâ,Jilid 15, Hal.61 yang kemudian dikutip oleh Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 163
[45]Lihat, Amîn al-Khulîy, Kasysyâf al-Zamakhsyarîy., Hal. 18-24.
[46] Dalam beberapa letaratur buku ini terdapat perbedaan penyebutan. Menurut Amîn al-Khulîy buku ini berjudul Risâlah fî Kalimât asy-Syahâdah. yang terdapat di Berlin. Lihat Amîn al-Khulîy, Kasysyâf al-Zamakhsyarîy., Hal. 18-24. Menurut ‘Abd al-Majîd al-Dayyâb yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya, buku ini berjudul Mas’alah fî Kalimat al-Syahadah. Menurut Muhammad al-Hûfî yang juga dikutip oleh Ahmad Thib Raya buku ini berjudul Risâlah fî Hikmât asy-Syahâdah..namun demikian uraian buku ini sama, yaitu tentang syahadat. Naskah buku ini pernah dipublikasikan di Majallah Majma’ al-‘Ilmî al-‘Irâqî, Jilid 15, tahun 1967 yang diedit oleh Buhaijah Baqir al-Husnâ. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .. , Hal. 165.
[47] Buku berbentuk Manuskrif yang tersimpan di Dâr al-Kutub al-‘Arabiyyah di Kairo, Mesir dengan nomor 1/348 dan satu naskah lagi di Berlin dengan nomor 9656. kemudian diterbitkan di Baghdad tahun 1968, yang disertai tahqîq oleh Buhaijah Baqir al-Husnâ. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .. , Hal. 165.
[49] Buku ini masih dalam bentuk Manuskrif di Maktabah Ribâth Sayyidinâ ‘Utsman ibn ‘Affân di Madinah Munawwarah dengan Nomor 59. Namur demikian sebahagian dari buku ini pernah dimuat dalam Majallah Majma’ al-‘Ilmî al-‘Irâqî, Jilid 8, Hal. 857. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 166
[51] Sebagian ulama seperti Muhammad al-Hûfî memandang buku ini sebagai satu buku, tapi sebagian yang lain seperti ‘Abd al-Majîd al-Dayyâb, buku ini dipnadang dua buku. Oleh karena itu buku tersebut diberi judul terpisah dalam uraian ‘Abd al-Majîd al-Dayyâb, yaitu al-Râfidl al-Farâid dan Dlâlat al-Nâsyid. Dasar yang dijadikan pegangan oleh ‘Abd al-Majîd al-Dayyâb adalah penjelasan yang disebutkan oleh Yâqût al-Hamawî dan Ibnu Khalikân. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 166
[52] Karya ini masih dalam bentuk Manuskrip dengan No. 4204 dan tersimpan di Dâr al-Kutub al-‘Arabiyyah di Kairo. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 165
[53] Buku tersebut pernah diterbitkan di India pada tahun 1324 H., kemudian dicetak ulang disertai dengan ulasan yang diberikan oleh ‘Alî al-Bajâwî dan Muhammad Abû al-Fadal Ibrâhîm, di Kairo pada tahun 1945. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 168
[54] Naskah manuskrip ini masih tersimpan Dâr al-kutub al-‘Arabiyyah Kairo Mesir dengan No.9656. kemudian manuskrip ini diterbitkan di Baghdad pada tahun 1968 diserati dengan tahqîq oleh Buhaijah Bâqir al-Husnâ. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 165
[55] Dua Buku yang disebutkan terakhir ini kurang dikenal, Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 166
[56] Buku-buku ini menurut Ahmad Thib Raya kurang terkenal. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 166
[58] Buku ini menurut Muhammad al-Hûfî yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya, merupakan salah satu bukunya yang berjudul Muqaddimat al-Dzahab, bagian pertama buku ini menguraikan tentang Isim, dan bagian keempat yang menguraikan tentang tashrîf al-Af’âl. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 167
[59] Buku ini diterbitkan di Kairo pada tahun 1324 H. dan tahun 1928 M. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 168
[60] Sebagian isi buku ini, menurut Ahmad Thib Raya pernah dimuat di Majallah al-Majma’ al-‘Ilmî al-‘Irâqî yang diedit oleh Buhaijah Bâqir al-Husnâ. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 168
[61] Menurut Muhammad al-Hufî yang dikuitp oleh Ahmad Thib Raya buku ini tidak terkenal. Tapi menurut Fâdil al-Sâmurâ’î menyatakan bahwa di perpustakaan Museum Irak di Baghdad terdapat manuskrip dengan judul Samîm al-‘Arabiyyah dengan No. 1002 yang pengarangnya dinisbahkan kepada al-Zamakhsyarî. Tetapi di sampulnya tertulis Mukhtasar Asâs al-Luhgah li al-‘Allâmah Jâr Allâh al-Zamakhsyaî. Kemudian Fâdil al-Sâmurâ’î menyatakan bahwa menurut komentar Husain Nassâr, buku ini bukanlah yang ditulis oleh al-Zamakhsyarî dengan alasan bahwa sistem penulisan buku tersebut Sangat berbeda. Husain Nassâr lebih cendrung menyebutkan bahwa buku tersebut merupakan ringkasan dari buku Islâh al-Manthiq oleh Ibnu al-Sikkît atau yang serupa dengannya. Ia tidak pernah mengetahui buku yang berjudul Asâs al-Luhgah yang ditulis oleh al-Zamakhsyarî. Yang diketahuinya hanya Asâs al-Balâhgah. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 168
[62] Buku ini merupakan ensiklopedi mengenai amsal-amsal dalam bahasa Arab yang menghimpun sebanyak 3461 masal yang disusun secara hijai. Buku ini pertama kali diterbitkan di India pada tahun 1962. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 168
[64] Buku ini merupakan ringkasan isi buku al-Mufashshal, yang diterbitkan pertama kali di Mesir tahun 1289 dan di Turki tahun 1298. Buku ini telah banyak diberi syarah oleh banyak para ulama. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 168
[66] Buku ini berisi uraian persoalan pengajaran ilmu Nahwu. Buku ini menurut ‘Abd al-Majîd al-Dayyâb yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya, ditulis oleh al-Zamakhsyarîy selama dua tahun (513-515 H.). Naskah buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1873 M. dan dicetak ulang beberapa kali di beberapa negara. Buku ini menjadi Sangat populer setelah diterbitkan dan diedarkan ke beberapa negara. Pada tahun 1879 buku ini diterbitkan di Kurdistan dan pada tahun 1882 diterbitkan di Libizij dengan Syarh oleh Ibnu Ya’îsy, dan pada tahun 1291 H. atas usa Percetakan al-Munîriyyah, buku tersebut diterbitkan di Kairo dalam jumlah 10 Jilid, kemudian diedarkan di Iskandariyyah atas usaha Syekh Hamzah Fath Allâh. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 170
[67] Sebagian dari isi manuskrip ini pernah dimuat oleh Majallah Majma’ al-‘Ilmî al-‘Irâqî tahun 1967 disertai komentar yang diberikan oleh Buhaijah Bâqir al-Husnâ. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 169
[68] Buku ini terdapat perbedaan pendapat mengenai judulnya. Menurut Muhammad al-Hufîi dalam bukunya al-Zamakhsyarî, yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya, al-muhajât bi al-Masâil al-nahwiyyah aw al-Hâjî al-nahwiyyah. sedangkan menurut ‘Abd al-Majîd al-Dayyâb, buku ini berjudul al-muhajât wa mutammimu mahâmi Arbâb al-Hâjât fi al-Ahâjî wa al-Ughlûthât. Namun demikian, mereka tidak memperselisihkan tentang buku ini, kedua-duanya sama berisi uraian tentang nahwu. Buku ini diterbitkan pertama kali di Baghdad tahun 1973. Naskah manuskripnya terdapat di Dâr al-Kutub al-Misriyyah, Kairo No. 116. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 169
[70] Satu-satunya buku yang ditulis al-Zamakhsyarîy mengenai Arûdl. Buku ini diterbitkan di Najaf , Iraq disertai komentar oleh Buhaijah Bâqir al-Husnâ. Fotokopi naskah manuskrip ini berada di beberapa perpustakaan, seperti di Pepustakaan ‘Asyir Efendi No. 990, di Perpustakaan Sultan Ahmad al-Salis No. 1652, di Perpustakaan Berlin No. 7111 dan di Perpustakaan Leiden No. 267. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 170
[72] Buku ini menurut beberapa ulama, seperti Mushthafâ al-Shâwî al-Juwainî, yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya, pada mulanya bernama al-Nashâih al-Shighâr. Diperpustakaan Musium Iraq, buku ini tercata sebagai manuskrip No. 567 di bawah judul Kitâb Athwâq al-Dzahab fî ‘Ilm al-Adab yang juga dinamakan al-Nashâih al-Shighâr. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 171
[73] Buku ini berisikan nasihat dan petunjuk-petunjuk yang berjumlah 50 maqamat yang pada dasarnya ditujukan kepada diri al-Zamakhsyarîy yang kemudian disyarahkannya sendiri. Buku ini diterbitkan pertama kali di Kairo tahun 1312 H. dan cetakan kedua masih di Kairo tahun 1320 H. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 172
[74] Dikutip oleh Ahmad Thib Raya dari buku Yâqût. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 171.
[75] Dikutip oleh Ahmad Thib Raya dari buku Yâqût, Ibn Khallikân dan penulis buku Tâj al-Tarâjum. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 171
[76] Dikutip oleh Ahmad Thib Raya dari buku Yâqût, Ibn Khallikân dan penulis buku Hadiyyah al-‘Ârifîn, Jilid II, Hal. 402.Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 171
[77] Masih berbentuk Manuskrip yang tersimpan di Dâr al-Kutub al-Mishriyyah Kairo No. 529/ Adab. Manuskrip ini telah diulas dalam bentuk tesis untuk meraih glelar magister oleh seorang mahasiswa fakultas Dâr al-‘Ulûm Universitas Kairo. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .. Hal. 171
[78] Buku ini berisi pujian terhadap Allah dan Rasul-Nya. Isi buku ini pernah dimuat di Majallah al-Ustâdz yang diterbitkan di Irak pada tahun 1967 dengan ulasan yang diberikan oleh Buhaijah Bâqir al-Husnâ. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 171
[79] Buku ini menguraikan tentang kalam yang antara lain tetang bagaimana Allah duduk di atas ‘Arasy. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 171
[80] Kelima buku yang disebutkan terakhir ini kurang dikenal, Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 172
[81] Buku ini mengenai ilmu mantiq. Buku ini kurang dikenal, Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 172
[82] Buku ini mengenai mantiq. Buku ini kurang dikenal, Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 172
[83] Buku ini terdapat perbedaan nama. Menurut ‘Abd al-Majîd Dayyâb yang dikutip oleh Ahmad thib Raya, buku ini berjudul Nuzhat al-Musta'nis, sedangkan menurut Brukcleman buku ini berjudul Nuzhat al-Musta'nis wa Nuzhat al-Muqtabis. Salah satu manuskripnya terdapat di Ayasofia no. 4331. Salîm al-Nu’aimî menyatakan bahwa buku ini bukanlah karya al-Zamakhsyarîy, tetapi ringkasan mengenai buku Rabî al-Abrâr yang ditulis oleh orang lain. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 172
[84] Dari ungkapan al-Zamakhsyarîy itulah kemudian dijadikan judul kitabnya al-Kasysyâf ‘an Haqâiq at-Ta’wîl wa ‘Uyúnil Aqâwil fi Wujúh at-Ta’wîl. Atau lihat, Ahmad. Surbasyi, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Terjemah. Drs. Zufran Rahman, , ( Jakarta : Kalam Mulia, 1994 ), Cet. I , Hal. 132-133
[86] Lihat al-Zamakhsyarîy, al-Kasysyâf, Juz I (Mesir: Musthâfa al-Bâby al-Halabîy, 1972), Hal. 17-18.
[87] Lihat al-Zamakhsyarîy, al-Kasysyâf, Juz I (Mesir: Musthâfa al-Bâby al-Halabîy, 1972), Hal. 17-18
[88]Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Ilmu Alquran/Tafsir., Hal. 242.
[89] Manna’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm Al-Qur’ân Hal. 380. Lihat pula Lihat pula Muhammad Husein al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid. I, Hal.437-438.
[91] Thameem Ushama., Metodologi Tafsîr Al-Qur’an: kajian kritis, objektif & Komprehensif, Terjemah. Drs. Hasan Basri, MA & Drs. Amroeni, M.Ag, ( Jakarta : Riora Cipta, 2000 ), Ct.I, Hal.71. Lihat pula, Andrew Reffin, “Zamakhshary,” dalam Mircea Eliade, ed., The Encyclopedia of Religion, vol. 15 ( New York : Macmillan Library Reference, t.th ), Hal. 554-555
[92] Mustafa al-Sâwî al-Juwaenî, Manhaj al-Zamakhsyarîy fi al-Tafsîr, ( Cairo : Dar al-Ma’arif, tt ) , Hal. 23-30
[93] Metode Tahliliy ialah mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dari segala segi dan maknanya. Dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan metode tahliliy, seorang pengkaji menafsirkan ayat demi ayat dan surah demi surah, sesuai dengan urutan dalam mushaf Utsmaniy. Untuk itu ia menguraikan kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur i’jaz, balaghah dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang diistinbathkan dari ayat, yaitu hukum fiqhi, dalil syar’iy, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, aqidah atau tauhid, perintah, larangan, janji, ancaman, haqiqat, majaz, kinayah, isti’arah serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Oleh karenanya, ia merujuk kepada asbab nuzul ayat, hadis-hadis rasulullah Saw. dan riwayat para sahabat dan tabi’in. Lihat Ali Hasan ‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsîr (terj. Ahmad Arkom), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), Cet. II, Hal. 41-78 dan Abd. Hayy al-Farmawiy, Al-Bidayat fi al-Tafsîr al-Maudhu’iy diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah dengan judul Metode Tafsîr Maudhu’iy (Jakarta: LSIK dan PT. Raja Grafindo Persada, 1994), Cet. I, Hal. 11-29.
[95]Thamem Ushama, Methodologies of The Quranic Exegesis (Kualalumpur: A.S. Noordeen, 1995), Hal. 90. Pada bagian lain Manna’ Khalil al-Qaththân menyebutkan bahwa al-Zamakhsyarîy adalah ahli nahwu, bahasa Arab dan tafsîr. Lihat, Manna’ Khalil al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm Al-Qur’ân., Hal. 388.
[96] Manna’ Khalil al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm Al-Qur’ân., Hal. 388.
[98]Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsîr (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), Cet. XV, Hal. 278.
[102] Sayyid Muhammad Ali Ayazi, al-Mufassirûn wa hayâatuhum wa manâhijuhum, ( Teheran : Mu’assasat al-Tabâ’ah wa al-nasr al-tsaqâf wa irsyâd, tt ), Hal. 578
[107]Lihat, Muni’ Abdul Halim, Manâhij al-Mufassirûn., Hal. 106.
[108]Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Ilmu Alquran/Tafsir, Hal. 242. atau lihat langsung, Muhammad Husain al-Dzahabîy Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Hal. 483
Tidak ada komentar:
Posting Komentar