ALAMAT RUMAH

TAMAN VENTURA INDAH 2 BLOK D5 RT.02/10.JL.CURUG AGUNG TANAH BARU BEJI - DEPOK 16426

اهـــلا وســهــلا

sebuah perjalanan panjang dipenghujung tahun 2008. kami bersukur kepada Allah Swt, yang telah memberikan nikmat sebuah rumah yang sangat cukup bagi kami, beralamat di Jalan Curug Agung, Tanah Baru Beji -Depok. perumahan yang terjangkau untuk dimiliki. juga yang terpenting adalah letak yang cukup dekat dengan tempat kerja. Alhamdulillah. karena berbulan-bulan kami mencari rumah ke berbagai tempat sekitar depok dan sekolah tempat mengajar, ternyata sangat sulit menemukan rumah atau perumahan yang cocok dan sesuai dengan kondisi keuangan kami. kenikmatan itu datang lagi dengan lahirnya anak kami yang ketiga dan keempat ( kembar ) di awal tahun 2010, sangat membahagiakan.

العـلـم نـور ونـور الله لايـهــدى للــعـاص

USAHA MENDULANG UANG BERKAH

SUMBER HERBAL

Rabu, 17 Februari 2010

PEMBELAJARAN BAHASA ARAB UNTUK ANAK

Abstrak: Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan oleh guru dalam
pembelajaran ALA adalah karakteristik siswa. Dalam pemiliha n materi, metode,
teknik, media, alat evaluasi, dan tempat pembelaja ran, perlu diperhatikan
karakteristik siswa, yaitu bahwa siswa (1) masih belajar dan senang berbicara
tentang lingkungan mereka, (2) senang bermain, (3) senang mempraktekkan
sesuatu yang baru diketahui/dipelajarinya, (4) cenderung senang bertanya, (5)cenderung senang mendapatkan  penghargaan, dan (6) cenderung mau melakukan sesuatu karena dorongan dari luar. Kata-kata kunci: Pembelajaran, Bahasa Arab, ALA Pembela jaran bahasa Arab untuk anak atau Al-‘Arabiyyah Lil Athfal (ALA) dalam bentuk verbal yang bertujuan mengajarkan keterampilan membaca Al-Qur’an dan do’a-da ’a serta bacaan-bacaan shalat telah lama berlangsung di Indonesia.Kegiatan pembelajaran bahasa Arab itu diperkirakan telah berlangsung sejak awa l masuknya agama Islam ke Indonesia yaitu pada abad ke 12 (Muhaiban,
2002).Pembela jaran ALA seperti itu dilaksanakan di rumah-rumah keluarga muslim, di masjid, mushalla, madrasah diniyah, atau di taman pendidikan Al-Qur’an (TPQ)(Effendy, 2001). Menurut statistik tahun 1990 (Dhofier, 1994 dalam Effendy 2001) jumlah madrasah diniyah saja di Indonesia mencapai 16.680 dengan
2.479.572 santri. Sedangka n jumlah TPQ yang diperkirakan lebih banyak belum
ada data resminya.Jumlah lembaga pendidikan dasar yang sangat besar tersebut merupakan modal
bagi pengembangan pembelajaran ALA pada saat ini dan pada masa-masa mendatang. Pengembangan yang perlu dilakukan terutama menyangkut tujuan, metode, dan strategi pembelajaran. Selama ini tujuan pembela jaran ALA sebagaimana tersebut di atas adalah untuk mengajarkan keterampilan membaca Al-Qur’an dan menulis huruf Arab dalam lingkup terbatas. Sedangkan metode yang dipakai adalah metode hapalan. Untuk
pengenalan huruf Arab dipakai metode eja atau thariqah hajaiyyah. Pada tahun Muhaiban adalah dosen pada Jurusan Sastra Arab, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang delapan puluhan dikembangkan metode ba ru yang berbasis pengenalan bunyi yang dikenal dengan thariqah shautiyyah tahliliyyah
tarkibiyyah (Effendy, 20 01) Pada saat ini terdapat sejumlah madrasah ibtidaiyyah dan TPQ yang berupa ya
mengembangkan ALA tersebut. Pengembangan diarahkan pada pembelajarankemampuan dasar bahasa Arab.
Pembela jaran ALA menduduki tempat yang strategis dalam konteks pembelajaran bahasa Arab secara umum di Indonesia. Di samping karena jumlah lembaga pendidikan dasar -baik forma l maupun non-formal- sangat besar, juga karena anak-anak pada usia pendidikan dasar tersebut pada dasarnya cenderung
mudah belajar bahasa terutama yang terkait dengan oral skill. Permasalahan muncul karena guru kelas pada pendidikan dasar ini umumnya tidak disiapkan untuk mengajar ALA. Di antara mereka memang ada yang
memiliki latar belakang pendidikan bahasa Arab, akan tetapi tidak secara khusus
disiapkan sebagai guru ALA.Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut dapa t dilakukan dengan
memberikan pelatihan pembelajaran ALA bagi guru-guru bahasa Arab. Pengetahuan praktis tentang pemilihan materi, strategi, dan media pembelajaran ALA mungkin a kan membantu para guru dalam mengatasi perma salahan pembelajaran ALA baik di lembaga pendidikan formal maupun non-formal. Artikel ini akan memaparkan secara garis besar stra tegi yang mungkin dapat ditempuh oleh para guru bahasa Arab dalam pembelajaran ALA. KUR IKULUM ALA Pembela jaran bahasa Arab untuk pendidikan tingkat dasar, utamanya di Madrasah Ibtidaiyah, selama ini mengacu kepada Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah Tahun 1994. Dalam kurikulum tersebut bahasa Arab disajikan mulai kelas 4. Sebagai perbandingan, untuk Sekolah Dasar, bahasa asing tida k secara jelas disebutkan dalam kurikulum. Dalam surat keputusan Mendiknas No.
0487/4/1992 Bab VIII disebutkan bahwa sekolah dasa r dapat memasukkan pelajaran tambahan da lam kurikulumnya sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Berkenaan dengan kebijakan tersebut terbit surat keputusan lain No. 060/U/1993 yang menyatakan bahwa bahasa Inggris dapat
dikenalkan kepada siswa kelas 4 sekolah da sar Untuk mendukung kebijakan mengenai pembelajaran bahasa asing di tingkat dasar tersebut beberapa daerah telah memasukkan bahasa Inggris ke dalam muatan lo kal. Sebagai contoh Depdiknas Jawa Timur telah mengesahkan
kurikulum lokal bahasa Inggris dengan surat keputusan No. 172/104/4/94/SK.
Dalam kurikulum muatan lokal tersebut antara lain disebutkan bahwa setelah
menyelesaikan pendidikan dasar, siswa diharapkan dapat mengua sai bahasa
Inggris sederhana yang melipui 500 kosa kata. Kurikulum loka l tersebut memuat
tujuan pembela jaran, materi, metodologi, dan evaluasi (E. Suya nto, 2000).
KARAKTERISTIK GURU DAN SISWA
Peran guru dalam pembelajaran sangatlah penting, terlebih lagi pada pendidikan
tingkat dasar. Guru sebagai bagian penting dari proses pembelajaran memiliki
fungsi perencanaan (at-takhthith), implemantasi (at-tanfidz), dan evaluasi (at-
taqwim) (Cooper, 1979).
Ketiga fungsi tersebut harus dapat dijalankan oleh setiap guru termasuk guru
dalam pembelajaran ALA. Menurut pengamatan, para guru ALA di taman kanak-
kanak (TKQ/TPQ) dan sekolah dasar (SDI/MI) umumnya tidak memiliki latar
belakang pendidikan bahasa Arab. Hanya sedikit di antara mereka pernah
mengikuti pelatihan tentang pembelajaran bahasa Arab untuk anak.
Akhir-akhir ini perhatian masyarakat terhadap pembelajaran bahasa asing untuk
anak semakin besar. Khususnya bahasa Inggris dan Arab. Hal itu diikuti pula oleh
upaya-upaya pengembangan pembelajaran yang dilakukan oleh para ahli dan
guru-guru bahasa.
Kenyataan tersebut memberi dampak positif pada profesi pembelajaran bahasa
asing untuk anak. Dalam konteks ALA, itu berarti bahwa guru ALA dituntut
memiliki keterampilan khusus (profesional) untuk mengajarkan bahasa Arab
pada siswa ta man kanak-kanak dan sekolah dasar. Di samping memiliki
kemampuan bahasa Arab yang baik, guru ALA hendaknya juga memiliki sifat dan
sikap aktif, kreatif, menyenangkan, dan terbuka. Philip (1995, dalam E. Suyanto,
2000) menyatakan bahwa membantu siswa untuk belajar dan berkembang itu
lebih penting dari pada sekedar mengajarkan bahasa. Itu berarti bahwa apabila
kegiatan atau aktivitas yang dilakukan siswa itu menyenangkan, akan berkesan
dan mudah diingat oleh siswa.
Beberapa karakteristik tersebut menjadi semakin penting untuk dimiliki oleh guru
ALA karena siswa yang akan mereka hadapi dalam pembelajaran juga memiliki
karakteristik khusus sebagai anak-anak yang perlu dihadapi dengan strategi
khusus pula oleh guru.
Pemelajar anak-anak umumnya masih belajar tentang lingkungan mereka.
Mereka gemar berbicara tentang diri mereka sendiri, orang tua (bapak/ibu),
mainan, dan teman bermain. Mereka senang berlari-lari kesana kemari dan
senang belajar sesuatu dengan cara langsung mempraktekkannya seperti
bernyanyi, bermain, mewarnai, dan menggunting gambar. Anak-anak cenderung
senang bertanya. Hal itu karena secara so sial, mereka perlu mengembangkan
serangkaian karakteristik yang memungkinkan mereka untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan tempat mereka berada (E. Suyanto, 200)
Sco tt dan Ytreberg (1990) mengemukakan beberapa karakeristik a nak.
Menurutnya, anak-anak (1) dapat mengutarakan sesuatau yang akan mereka
kerjakan, (2) dapat menguta rakan sesuatu yang telah mereka kerjakan dan
mereka dengar, (3) belajar sambil bekerja (learning by doing), (4) dapat
berargumentasi, dan (5) dapat menggunakan pola-pola intonasi bahasa ibu.
Sementara itu Furaidah (dalam Ainin 1999) mengemukakan beberapa
karakterisik anak sebagai pemelajar bahasa. Menurutnya, ana k-ana k (1)
memiliki kecenderungan suka bermain dan bersenang-senang, (2) memahami
hal-hal di sekitarnya secara holistik (utuh) tidak secara a nalitik, (3) belajar
bahasa melewati suatu masa yang disebut dengan periode bisu (fatrotush
shumti). Artinya, pada awal belajar bahasa, anak-anak hanya dapat mendengar,
belum dapat berbicara; (4) cenderung belajar bahasa melalui pemerolehan
(iktisab), yaitu suatu pengembangan kemampuan berbahasa secara ala maiah,
bukan mempelajari bahasa secara formal dengan mengka ji aturan-aturan bahasa
(Krashen, 1985); dan (5) pada usia sekolah dasar pada umumnya berada pada
tara f berpikir secara konkret.
Agar pembelajaran ALA dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuan yang
telah dicanangkan, profesionalisme guru ALA yang diwujudkan dengan
pemenuhan kriteria-kriteria tersebut sangat diperlukan. Sehingga karakteristik
siswa seperti disebutkan di atas tidak akan menjadi kendala pembela jaran bagi
guru, tetapi sebaliknya justru akan menjadi pendorong tercapainya tujuan
pembelajaran.
PRINSIP DASAR PEMBELAJARAN ALA
Salah satu prinsip umum pembelajaran adalah bahwa pembelajaran hendaknya
dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik individual siswa yag
menyangkut perkembangan emosional, perkembangan intelektual, kondisi sosial,
dan lingkungan budaya.
Pada dasarnya pembelajaran ALA juga harus berpijak pada prinsip-prinsip umum
tersebut. Di samping itu, ada prinsip-prinsip da sar yang perlu diperhatikan sesuai
dengan karakteristik anak. Para ahli pembelajaran bahasa untuk anak, di
antaranya Scott, Lee, dan Borridge (dalam Rachmayanti, 2000) mengemukakan
beberapa prinsip pembela jaran yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut.
Pertama, berpijak pada dunia anak. Dunia anak berkisar pada keluarga, rumah,
sekolah, ma inan, dan teman bermain. Kedua, berangkat da ri sesuatu yang sudah
diketahui dan dekat dengan atau mudah dijangkau oleh siswa ke sesuatu yang
belum diketahui atau jauh dari jangkauan mereka. Misalnya dari lingkungan
rumah ke lingkungan luar rumah, dilanjutkan ke lingkungan teman sejawat,
kemudian ke lingkungan sekolah. Ketiga, pembelajaran dikaitkan dengan hal-hal
yang menjadi interes anak Keempat, po kok-pokok pembelajaran yang disajikan
berangkat dari pengetahuan yang telah dimiliki siswa, dengan menggunakan
bahasa Arab sederhana. Kelima , tugas-tugas diorientasikan kepada aktifitas atau
kegiatan. Keenam, ba han pembelajara n merupakan kombinasi antara sesuatu
yang bersifat fiksi dan non-fiksi/konkrit. Ketujuh, materi diorentasikan kepada
pelaksanaan silabus dan pengembangan dua komponen bahasa (kosa ka ta dan
struktur) dan empat keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca,
dan menulis) Kedelapan, budaya nasional dan asing dikenalkan secara bertahap.
Kesembilan, pokok-pokok pembelajaran dan tugas-tugas hendaknya disesuaikan
dengan usia pembelajar.
STRATEGI PEMBELAJARAN ALA
Untuk memilih dan menentukan strategi pembelajaran ALA, guru hendaknya
terlebih dahulu memahami dengan baik prinsip-prinsip pembelajaran ALA dan
karakteristik siswa yang akan diajar. Karakteristik siswa tersebut anta ra lain
seperti yang telah disebutkan terdahulu, misa lnya siswa (1) masih belajar dan
senang berbicara tentang lingkungan mereka, (2) senang bermain, (3) senang
mempraktekkan sesuatu yang ba ru diketahui/dipelajarinya, (4) cenderung
senang bertanya, (5) cenderung senang mendapatkan pengha rgaan, dan (6)
cenderung mau melakukan sesuatu karena dorongan dari luar.
Berdasarkan beberapa karakteristik tersebut, guru dapat memilih strategi
pembelajaran ALA yang sesuai. Salah satu karakteristik siswa adalah bahwa
pengetahuan mereka masih terbatas pada lingkungan hidup mereka seha ri-hari.
Berdasarkan hal tersebut maka materi pelajaran sebaiknya dipilihkan hal-hal
yang terkait dengan lingkungan mereka. Misalnya tentang diri mereka sendiri,
orang tua (bapak/ibu), saudara kandung, rumah dan isinya, binatang piaraan,
mainan, lingkungan sekolah, dan teman bermain.
Di samping itu, ada pertimbangan lain yang perlu diperhatikan oleh guru dalam
memilih materi sebagaimana dikemukakan oleh Dick dan Carey (1985), antara
lain apa kah materi pembelajaran (1) cukup menarik, (2) isinya relevan, (3)
urutannya tepa t, (4) mengandung informasi yang dibutuhkan oleh siswa, (5)
berisi soal latihan, dan (6) berisi jawaban untuk latihan ya ng diberikan.
Asy-Sya’ban (dalam Ainin, 2002) mengemukakan beberapa prinsip yang ha rus
diperhatikan oleh guru dalam pemilihan materi, yaitu materi pembelajaran
dimulai (1) dari hal yang diketahui oleh siswa ke hal yang belum diketahui, (2)
dari yang paling mudah ke yang paling sulit, (3) dari yang paling sederhana ke
yang paling kompleks, (4) dari yang kongkrit ke yang abstrak, dan (5) da ri yang
praktis ke yang teo ritis.
Di muka telah disebutkan bahwa salah satu karakteristik siswa usia ka nak-kanak
adalah bahwa mereka senang bertanya. Ha l tersebut perlu dijadikan
pertimbangan oleh guru dalam memilih strategi pembela jaran. Dalam memulai
kegiatan pembelajaran misalnya, guru dapat merangsang lahirnya keingintahuan
siswa. Dengan demikian a kan timbul pertanyaan atau komentar dari siswa yang
mengarah pada substansi materi. Dengan lahirnya pertanyaan dari siswa
tersebut sangat memungkinkan terjadinya interaksi dan kuminaksi multi arah.
Untuk memotivasi aga r siswa dapa t mengikuti pembelajaran dengan baik, guru
dapat melakukan variasi. Variasi ini bisa dilakuan dari segi materi,
metode/teknik, media, dan tempat. Motivasi juga bisa diberikan kepada siswa
dalam bentuk hadiah berupa pujian, nasihat/himbauan, nyanyian, barang, dan
pemaparan hasil karya.
Dalam memilih metode atau teknik pembelajaran ALA, guru juga perlu melihat
salah satu karakteristik yang menonjol pada anak, yaitu bahwa mereka senang
bermain. Melihat karakteristik seperti itu, maka metode yang relevan untuk
pembelajaran ALA adalah metode bermain dengan berbagai tekniknya. Bermain
sambil belajar dan belajar sambil bermain mungkin lebih relevan bagi mereka
karena pada dasarnya mereka cenderung menyukai aktifitas. Guru hendaknya
dapat mengemas aktifitas tersebut dalam perma inan dan sekaligus
pembelajaran. Beberapa bentuk permainan yang dapat dilakukan dalam
pembelajaran ALA misalnya (1) lagu (al-qashidah/alghina’), (2) cerita (al-
qishshah), dan (3) permainan (al-la’b). Ketiga bentuk permainan tersebut akan
dikemukakan secara garis besar dalam artikel ini.
Lagu/Nyanyian (Al-Qashidah/Al-Ghina’)
anak-anak dalam berbagai umur pada dasarnya senang mendengarkan,
menyanyikan, dan belajar dengan nyanyian/lagu. Oleh karena itu, musik secara
umum merupa kan bagian penting dari proses belajar-menga jar bagi siswa
kanak-kanak. Hampir semua bentuk nyanyian –dari yang tradisional sampai
dengan yang pop- dapat dimanfaatkan oleh guru dalam pembelajaran. Hal yang
perlu diperhatikan adalah bahwa guru hendaknya dapat memilih/menyeleksi –
atau menciptakan- lagu yang dapat digunakan, ba ik untuk menyanyi bersama
maupun untuk menyanyi sambil melakukan kegiatan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih lagu untuk pembelajaran ALA
antara lain (1) syair atau kata-kata dalam lagu hendaknya jelas, (2) bahasa yang
digunakan dalam lagu tersebut tidak terlalu sulit, (3) tema lagu dipilih yang
sesuai dengan dunia anak, (4) lagu tidak terlalu panjang, dan (5) lagu
diupayakan memiliki keterkaitan dengan materi yang dia jarkan (Anugerahwati,
2000). Beberapa contoh lagu dapa t dilihat pada bagian akhir artikel ini.
Di antara tujuan penggunaan lagu untuk pembelajaran ALA di dalam kelas adalah
untuk (1) membuat kaitan antara kegiatan dan obyek/benda dengan kata-kata,
(2) meresapkan bunyi-bunyi bahasa Arab, (3) mengembangkan kepekaan ritme,
dan (4) menghafal kosakata tertentu.
Cerita (Al-Qishshah)
Seperti halnya lagu, cerita juga merupakan hal penting dalam pembelajaran ALA.
Mendengarkan cerita yang dibacakan atau diceritakan oleh guru merupakan
kegiatan yang disenangi oleh siswa kanak-kanak. Namun demikian, siswa yang
lebih besar dapat diminta untuk melakukan sesuatu selama mendengarkan
cerita, misalnya menggambar sesuatu yang ada dalam cerita, atau diminta
membuat cerita dari rangkaian gambar atau kartun.
Ada dua kegiatan yang dapat dila kukan guru dengan cerita, yaitu menceritakan
cerita dan membacakan cerita. Dalam menceritakan cerita, guru tidak membawa
buku dan tidak terpaku pada cerita yang akan diceritakan. Guru dapat
mengapresiasi cerita yang sedang diceritakannya itu dengan sedikit mengubah
atau menyesua ikan bahasanya dengan tingka tan anak-anak. Dalam membaca
cerita, guru membaca cerita dari buku dengan suara yang keras. Untuk
keperluan ini sebaiknya guru menggunakan buku besa r yang dapa t dilihat
dengan jelas oleh semua siswa . Kegia tan dalam kelas cerita ini dapat bervariasi
sesuai dengan umur siswa. Siswa yang lebih kecil dapat diminta untuk
“mendengarkan dan melakukan” (al-istima’ wal ‘amal), “mendengarkan dan
menirukan” (al-istima’ wattardid), atau “memanto mimkan” (at-taqlid/at-tahrij).
Di sisi lain, siswa yang lebih besar dapat diminta untuk melakukan kegiatan yang
lebih kompleks seperti “mendengarkan dan menggambarkan route” (al-istima ’
wa rasmuththariq), “melihat dan menceritakan cerita” (al-musyahadah wal
hikayah), atau “mendra matisasikan cerita” (at-tamtsil).

Agar pembelajaran dengan menggunakan cerita dapat berjala n dengan baik, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru, yaitu: (1) guru hendaknya
menyiapkan kerangka cerita, (2) guru menyajikan cerita dengan suara yang
keras dan jelas, (3) guru hendaknya menggunakan ekspresi, mimik, gerakan,
dan isyarat, (4) guru hendaknya menggunakan kontak pandang dengan siswa,
(5) guru perlu menyiapkan siswa untuk mendenga rkan cerita dengan
mengemuka kan beberapa pertanyaan pancingan, dan (6) guru hendaknya selalu
memperhatikan waktu.
Permainan (Al-la’b)
Anak-anak pada umumnya memiliki permainan favorit yang sering mereka
lakukan. Ka rena pada dasa rnya dunia ana k adalah dunia bermain. Guru dapat
memanfaatkan permainan mereka itu dalam pembelajaran ALA. Beberapa
permainan dapat dilakukan di dalam kelas, ada juga yang lebih baik dilakukan di
luar. Adalah tuga s guru untuk memilih permainan yang sesuai dengan anak-anak
dan lingkungan.
Akan tetapi perlu diingat oleh guru bahwa permaian yang dilakukan dalam
pembelajaran ALA ini bukanlah tujua n utama, akan tetapi sebagai salah satu
cara untuk mencapai tujuan pembelajara n yaitu pemerolehan baha sa Arab.
Ada beberapa hal yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan oleh guru dalam
memilih dan mengembangkan permainan untuk kelas ALA, ya itu: (1) guru
hendaknya memilih permainan yang dapat mendorong siswa untuk
mengguna kan baha sa Arab, (2) guru hendaknya memilih permainan yang dapat
melibatkan seluruh kelas, (3) guru dapat menggunakan permainan sebagai
selingan, a tau pancingan, (4) guru hendaknya tidak memilih permainan yang
dapat mendorong siswa bersikap agresif, dan (5) guru sebaiknya tidak
mengguna kan permainan untuk jam pelajaran penuh (Anugerahwati, 2000).
Sebelum memulai permainan, guru perlu memperhatikan hal-hal berikut: (1)
menginformasikan kepada siswa bahwa kelas akan melakukan permainan. Hal ini
perlu agar mereka siap secara fisik dan mental untuk bermain, (2)
mengelompokka n siswa sesuai dengan kebutuhan permainan, (3) menjelaskan
aturan permainan sejelas mungkin, dan yakin bahwa setiap siswa sudah
memahami aturan tersebut, (4) mela tih siswa mengenai aspek-aspek
kebahasaan yang akan disajikan dalam permainan, dan (5) memberikan contoh
permainan sehingga siswa mengetahui dengan baik bagaimana permainan itu
harus dilakukan.

SIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran ALA sangatlah
strategis bagi pengembangan bahasa Arab secara umum di Indonesia, terutama
karena besarnya jumlah lembaga pendidikan tingkat dasar, baik formal maupun
non-formal.
Agar pembelajaran ALA dapat berjalan effektif dan effisien, diperlukan
pemahaman yang baik oleh guru mengenai berbagai aspek pembelajaran ALA
seperti strategi pembelajaran, pemilihan dan pengembangan materi, metode dan
teknik, media, dan eva luasi.
Disamping itu, guru juga perlu mengetahui dengan baik karakteristik anak
sebaga i siswa. Karakteristik siswa tersebut misalnya, siswa (1) masih belajar dan

senang berbicara tentang lingkungan mereka, (2) senang bermain, (3) senang
mempraktekkan sesuatu yang ba ru diketahui/dipelajarinya, (4) cenderung
senang bertanya, (5) cenderung senang mendapatkan pengharagaan, dan (6)
cenderung mau melakukan sesuatu karena dorongan dari luar.
Di a ntara teknik pembelaja ran yang relevan denga n karakteristik anak tersebut
adalah (1) lagu/nyanyian, (2) cerita/do ngeng, dan (3) permainan. Untuk dapat
menerapkan dengan benar ketiga teknik tersebut dalam pembelajaran ALA, guru
dituntut untuk kreatif, tidak saja dalam penciptaan da n penggunaan strategi
pembelajaran, tetapi juga dalam pemanfaatan berbagai maca m permainan dalam
pembelajaran ALA. Oleh Mubaihan

Rabu, 10 Februari 2010

AYAT-AYAT TOLERANSI

Satu. Jika selama ini kita mengenal adanya kaidah-kaidah bahasa, kaedah-kaedah Fiqih, Ushul Fiqih, kaedah-kaedah berfikir, yang kita dapatkan dalam karya-karya baru dan lama para ulama, dapatkah kita di zaman ini menemukan kaidah-kaidah dalam ilmu Akidah, dalam ilmu Ushuliddin? Atau lebih spesifik lagi, dapatkah kita menemukan kaedah-kaidah dalam masalah toleransi?

Dua. Dewasa ini perhatian dunia terfokus pada umat Islam yang oleh media massa Barat digembar-gemborkan sebagai agama kekerasan, agama teroris, agama yang tak berperikemanusiaan dan sederet stigma lain. Apalagi setelah kejadian 11 September 2001 yang mengguncang AS, disusul dengan kampanye anti-terorisme yang dimotori oleh AS dan aksi serangan atas Jaringan Alqaeda & gerakan Taliban di Afganistan, lalu serangan atas rezim Saddam yang dituduh menyembunyikan senjata pemusnah massal dan memiliki hubungan dengan Jaringan Alqaeda pimpinan Osama ben Laden. Semua obyek serangan AS dan sekutu jelas-jelas adalah wilayah yang didiami mayoritas muslim.
Peristiwa-peristiwa dan tuduhan yang susul-menyusul itu membuat kita terkadang tercenung memikirkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Apakah aksi AS dan sekutunya itu anti-toleran? Tidak hanya itu, di pihak “lain”, dalam sifat dan sikap kita, dalam interpretasi dan konsep-konsep yang kita hidupi selama ini, adakah yang perlu kita tinjau ulang, kita segarkan kembali, atau adakah yang memerlukan tafsiran ulang? Apakah yang “mereka” inginkan dari “kita”?
Adakah arti lain dari toleransi, pluralitas, dsb? Atau memang istilah-istilah dan norma-norma tidak bernilai apa-apa di tangan para politisi Barat?

Tiga. Inisiatif panitia sayembara cipta karya ilmiah menyebarkan kertas-kertas pengumuman pada pertengahan Maret dan mengakhiri tempo pengumpulan hasil karya ilmiah pada tanggal 20 Maret boleh jadi bukan secara asal-asalan karena kedua tanggal tersebut masing-masing merupakan momen bersejarah. Medio Maret bertepatan dengan peringatan setengah abad Kesepakatan Den Haag (The Hague Convention 1954) tentang perlindungan terhadap property kultural dalam fatrah konflik bersenjata, sedangkan tanggal 20 bertepatan dengan setahun invasi kolonial Anglo-American atas Bagdad. ‘Ala kullin, fatrah yang disediakan adalah momen untuk berkontemplasi, betapa pun hasilnya.

Empat. Sejalan dengan urutan pengambilan dalil dalam hukum Islam; kitab suci lalu sunnah lalu rasio, telaah ini pun ingin mencoba dengan pertama-tama mencomot beberapa ayat dari Alquran plus pemahaman dan gambaran yang terkumpulkan dari baca-dengar-lihat selama ini. Ayat-ayat Alquran yang kami pilihkan adalah sebagai bahan mentah untuk dikaedahkan; kami kembangkan untuk baru sekedar sebagai latar pengambilan sifat dan sikap, sedangkan pemilihan aksi yang tepat hanya disinggung seadanya. Karena untuk bahasan tentang pemilihan tindak memerlukan pengkajian tersendiri.

Telaah ini didahului dngan catatan ringkas tentang asal-usul istilah toleransi kemudian disusul dengan sekilas sejarah kata lalu kaedah-kaedah yang kami petik dari ayat-ayat Alquran yang manurut asumsi kami berhubungan secara erat dengan pemahaman toleransi dari sudut pandang Islam. Sekurang-kurangnya, dengan perenungan selintas, seperti itulah yang kami coba simpulkan dari ayat-ayat yang ada itu.

Istilah
Pengkajian asal-usul istilah menjadi penting karena istilah tidak hanya mengandung makna atau arti tertentu, tetapi juga mesti membawa sikap-sikap sosio-kultur tempat istilah itu berasal. Sementara analisa atas teks-teks kitab suci yang berbicara menyinggung konsep tertentu juga perlu demi menguak pesan-pesan sejati dari sebuah agama dalam masalah-masalah kontemporer yang memerlukan kejernihan ide serta kesejukan nilai dan norma.
Toleransi menurut Kamus Besar Indonesia ialah sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. 1)
Istilah toleransi yang kita kenal dalam Bahasa Indonesia kita warisi dari Bahasa Belanda, tolerantie, yang berarti kesediaan untuk mau menghargai paham yang berlainan dengan paham yang dianutnya sendiri. 2) Sementara dalam Bahasa Inggris kita menemukan kata tolerance yang berarti kesabaran dan kelapangan dada. 3) Juga ada kata toleration. 4)
Lebih jauh, istilah toleransi berasal dari Bahasa Latin, tolerantia. 6)
Dalam bahasa Arab kita menemukan kata tasâmuh sebagai kata yang sering dijadikan padanan untuk kata toleransi. Dari akar kata yang sama kita temukan kata-kata samâh dan samahah yang dalam Lisanul Arab diartikan kedermawanan (al-jud). Ada lagi musamahah yang berarti mempermudah (musahalah). Musamahah ini senada dengan tasamuh; masing-masing berarti saling mempermudah. As-samhah dalam anggitan al-hanifiyyatu s-samhah berarti “hanifiyyah” yang tak mempersempit dan tidak pula mempersulit (laysa fiyha dhiyqun wa la syiddah) (Ibnu Mandur, Penerbit Darul Ma’arif, vol. 3, hal. 2088)
Sekali kagi, toleransi dalam bahasa berarti membiarkan kekeliruan yang diperbuat oleh orang lain, atau tidak bersikeras mempertahankan hak kita sendiri, atau bersabar menghadapi gangguan. 7) Di sini ada indikasi bahwa toleransimeniscayakan adanya dua pihak; pihak saya, kita, golongan kita dan pihak lain, mereka, orang luar. Tidak hanya itu, istilah toleransi juga selalu menempatkan pihak yang ditolerir sebagai pihak yang bersalah, melanggar, lebih rendah. Ada sikap berpihak (munhaz; biased)
Kata tasamuh atau kata lain dari akar kata yang sama tidak terdapat dalam Alquran tetapi kita dapat menemukan kata-kata lain yang justeru memiliki makna lebih dalam dari tasamuh tersebut jika kita kembangkan lebih jauh, yaitu kata shafh. (Lihat “kaidah” kesembilan, di bawah)
* * *
Sejarah
-Peradaban Barat yang melahirkan istilah toleransi bukanlah sebuah peradaban yang toleran terhadap peradaban lain, karena peradaban Barat didasarkan atas ide superioritas, yang dalam kacamata agama diambil dari ide “suku bangsa pilihan,” yang diwarisi oleh Kristen, Katolik maupun Protestan, dari Perjanjian Lama, yang berbicara tentang Bani Israil yang mengklaim diri mereka sebagai bangsa yang dipilih serta diistimewakan oleh Tuhan. Pihak gereja mengatakan bahwa penganut Yahudi telah melanggar perjanjian dengan tuhan tatkala mendustakan dan menyakiti Yesus, sehingga pengikut Yesus Kristus pantas menggantikan posisi mereka. Maka penganut Kristen pun menjadi “bangsa pilihan baru”.
Peradaban Eropa pada abad pertengahan--sebagai kurun waktu yang dianggap sebagai batu pijakan peradaban dan kebudayaan Eropa moderen-kontemporer—memiliki tiga pilar utama. Pertama, warisan klasik peninggalan Yunani Kuno dan Peradaban Romawi. Kedua, agama Kristen dengan konsep dan pemikiran-pemikiran yang dibawanya. Ketiga, invasi Jerman yang berhasil menarik sejumlah suku bangsa di semenanjung Skandinavia dalam migrasi massal menuju Eropa untuk kemudian berasimilasi dan berbaur dengan para penduduk lama Eropa, sebagai cikal bakal bangsa Eropa yang ada sekarang ini.
Benih-benih intoleransi dapat ditarik lebih jauh ke belakang, yaitu ke sikap peradaban klasik (Yunani dan Romawi) kepada “yang lain”. Bangsa Yunani Kuno menggunakan kata “barbar” (barbarian) untuk menunjuk orang asing selain orang Yunani. Orang yang dicap barbar berarti memiliki kedudukan sosial yang lebih rendah dibandingkan dengan penduduk asli Yunani. Bangsa Romawi mewarisi kata barbar ini dari Yunani Kuno lalu mempergunakannya sebagai kata hinaan terhadap bangsa-bangsa lain, termasuk di dalamnya suku-suku Jerman yang berdatangan ke perbatasan Romawi.
Yunani dan Romawi menganggap yang lain sebagai barbar manakala mereka memiliki bahasa, adat, tradisi, dan postur tubuh yang berbeda dengan Yunani-Romawi. Maka bangsa-bangsa yang diserang Romawi lalu dipecah-pecah oleh Romawi tetap menduduki posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan kelas sosial Romawi yang membatasi hak-hak warga negara. Keadaan ini berlangsung hingga kekuasaan Maharaja Romawi, Caracalla (211-217) yang memberikan hak-hak warga negara untuk semua warga-bebas dalam kerajaan Romawi. Sikap intoleran ini telah menjadi salah satu penyebab keruntuhan imperium Romawi di kemudian hari. Pandangan intoleran kepada “yang lain” ini diwarisi oleh kebudayaan Eropa pada abad pertengahan. Sementara agama Katolik berperan memperkental pandangan tersebut lewat legitimasi religius yang mengklaim para pengikut Kristen sebagai bangsa yang “dipilih” oleh tuhan. Pada gilirannya anggapan sebagai bangsa pilihan ini menjadikan bangsa Eropa memandang diri mereka selaku pemilik kebenaran satu-satunya. (Qasim, Tasamuh)
Agama Kristen yang sudah sedemikian jauh dari ajaran-ajaran aslinya dipergunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengumpulkan harta kekayaan dan meraih serta mempertahankan kekuasaan. Kesalahan dan dosa tidak lagi ditobatkan kepada Tuhan tetapi dapat ditolerir atau dapat dihapuskan melalui Shukukul Gufran.
Agama Kristen juga berpengaruh besar dalam perpecahan dan perang saudara di Eropa pada masa-masa awal karena pengikut Yesus membuat kelompok sendiri dan malah membuat negara dalam negara. Berikutnya mereka ditindas oleh Romawi sampai-sampai kalender Koptik dimulai perhitungan tahunnya dari peristiwa pembantaian besar-besaran atas para pengikut Yesus sehingga tahun awal itu dikenal dengan tahun para syahid. (Tasamuh, Qasim)
Sampai sekarang kita pun masih dapat menyaksikan umat Katolik di (negeri) Roma, (negara) Italia. Hanya pada abad kedua puluhlah sikap/sifat intoleran Barat mulai “menipis” setelah sekian abad menjajah (anti toleran atas) bangsa-bangsa lain. Tetapi dewasa ini kita menyaksikan mereka kembali dengan kolonialisme baru.
Istilah 2
(Qasim dalam Tasamuh, berpendapat bahwa kita tidak dapat menemukan definisi baku dari istilah toleransi)
Singkatnya, istilah toleransi menurut para ahli teologi Eropa ialah menenggang seseorang yang melakukan pelanggaran atas ajaran agama. Menurut Voltaire dan para filosuf abad XVIII adalah kesopanan, sikap akrab, sifat periang, dan kemampuan berbaur dengan orang lain, meskipun berbeda pendapat.
Sedikitnya ada tiga makna dari istilah toleransi:
Pertama, kemampuan seseorang untuk menahan diri ketika mendapat perlakuan tak adil dari orang lain, meskipun pihak pertama (toleran) sebenarnya mampu membalas perlakuan tersebut. Atau tidak mempergunakan kekuasaan yang ada, sesuai adat dan kebiasaan,untuk menghukum pelanggaran undang-undang atau peraturan yang sedang berlaku.
Kedua, memberi kebebasan mengekspresikan pendapat kepada orang lain meskipun pendapat tersebut tidak sejalan atau malah bertentangan dengan pendapat yang dianutnya sendiri. Sejalan dengan itu, adalah ketidakbenaran menyebarkan pendapat, ide, faham, dan atau keyakinan melalui cara-cara kekerasan, tipuan dsb.
Ketiga, menghormati pendapat atau pandangan orang lain sebagai bentuk usaha mengekspresikan satu dari sekian aspek kebenaran. Dalam artian bahwa kebenaran adalah “lebih besar” dari sekedar dibatasi dalam satu wadah/unsure dan bahwa pencapaian berbagai segi/unsur kebenaran mengharuskan adanya kebebasan bagisetiap orang untuk mengungkapkan pendapatnya sehingga pada gilirannya kita dapaat menelaah semua pendapat yanga ada untuk mencapai kebenaran yang multi-aspek (kully; komprehensif)
Sikap/sifat toleran bukan bagian dari sifat dermawan, tetapi merupakan kewajiban moral yang berasal dari penghormatan kepada kepribadian manusia (human personality). (Shaliba, 271-271 dengan sedikit tasharruf)
Tashawwur
Dari keterangan Jamil Shaliba di atas, kita dapat menarik beberapa pointer tashawwur tentang toleransi sebagai berikut:
-Toleransi sebagai kebaktian yang bersifat moral dan manusiawi/humanis. Dengan demikian konsep toleransi dapat berubah-ubah dari masa ke masa, dari satu orang ke lain orang. Yang di ujung-ujungnya nanti dieksploitasi demi kepentingan manusia.
-Toleransi bertujuan untuk mencapai kebenaran yang multidimensional. Dan untuk itu setiap orang “bebas” mengespresikan pendapat, ide dan keyakinannya dengan cara masing-masing yang, sekali lagi, bebas. Yang penting tidak mengandung unsure kekuatan dan penipuan.
-Toleransi juga dapat bermakna “pengorbanan”; mengorbankan pribadi, egoisme demi memperlancar hubungan pergaulan dengan orang lain atau “mengorbankan” peraturan yang ada, baik itu peraturan agama, adat, dsb.
Ketiga pointer inilah yang kali ini kami jadikan sebagai “jembatan” untuk memahami konsepsi toleransi ala Barat.
* * *
Kaidah-kaidah
Kaedah-kaedah berikut ini kami fokuskan terutama pada sub-topic toleransi agama. Meskipun aspek-aspek toleransi lain dapat disaksikan biqadr qalil min futhnatil qari’ wa ufqih l-wasi’;
1. Bahwa umat manusia berasal-usul sama. Semuanya adalah anak cucu Adam AS-Hawa. Sementara Adam diciptakan oleh Allah Swt. dari tanah. Kalaupun dalam perkembangannya, umat manusia terbagi-bagi dalam suku-suku dan bangsa-bangsa, maka keragaman seperti itu hanya dijadikan sebagai pemicu perselisihan dan permusuhan antara satu dengan yang lain, tetapi untuk mempermudah koordinasi satu sama lain dalam meretas jalan kemajuan. Keragaman sebagai modal persatuan, karena keragaman terutama mempermudah kegiatan saling berkenalan dan saling menandai dalam jalinan koordinasi yang toleran. Apalagi bahwa masing-masing suku dan bangsa memiliki keistimewaan; masing-masing memiliki aspek-aspek positif dan juga aspek-aspek negatif. Aspek-aspek positif maupun positif tersebut tentu saja dapat dikelola, disiasati dan dimodifikasi dalam proses aktualisasi diri serta proses transformasi humanis dan cultural ke arah pelbagai tujuan positif demi kepentingan bersama, seperti perdamaian dan pembangunan. (Mengenai keragaman budaya yang ada pada masa awal Khilafah Abbasiah, dapat dilihat dalam misalnya Dhuha l-Islam karya Ahmad Amin) “Wahai umat manusia, Kami cipta kalian terdiri dari lelaki danperempuan, Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian ialah yang paling bertakwa.” Manusia diciptakan oleh Allah untuk menyembah Allah dan memakmurkan bumi. (QS. ……….dan QS…….)Penyembahan Allah dan pemakmuran ardh (the earth) adalah media pembebasan dan sekaligus aktualisasi diri manusia. Kebebasan dari kegiatan-kegiatan mengabdi kepada alam atau benda atau fenomena alam dan aktualisasi diri (Lihat bahasan tentang manusia dalam Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 162 dst.)melalui aktifitas-aktifitas berorientasi pembangunan dalam pengertian pembangunan yang seutuhnya; yang tidak melupakan sisi humanis manusia di samping kemaslahatan generasi mendatang. (Peran Iptek sebagai Modal Dasar dalam Pengembangan Narasumberdaya yang Bermutu, L. Wilardjo dan SG. Ferryanto, dan tulisan-tulisan lain yang menyinggung konsep pembangunan lumintu/berkelanjutan/sustainable/ dalam buku terbitan MIZAN berjudul Sumber Daya Manusia untuk Indonesia Masa Depan) Pengabdian kepada Allah ditekankan pada makna faqer dan ‘ajez kepada Allah jalla wa ‘azza Yang nota bene Mahamencipta, Mahakuasa, dan Mahaberkehendak, Kulla yawm Huwa fiy sya’n. Dalam naungan ibadah kepada Allah seorang abdi tak lagi takut (mengabdi) kepada alam atau fenomena alam; tidak pula bersikap memusuhi alam. Allah memberi kebebasan rasional dan kreatif dalam mengelola alam dengan sebaik-baiknya.
2. Kekufuran dan ketidak-islaman sebagai sunnatullah atau dalam ungkapan lain, keragaman dalam hal agamapun adalah sunnatullah; adalah hal yang memang dimaksudkan oleh Allah swt. Karena itu sedari awal Alquran mewanti-wanti bahwa: Tiada paksaan dalam urusan agama. (Qs….) Alquran juga berpesan: Kamu tidak diberi kuasa memberi petunjuk kepada orang yang kau suka, yang kau cinta. Allah–lah yang memberi petunjuk kepada orang yang diinginkan oleh-Nya. “Kalau saja Tuhan-Mu menginginkan, tentulah semua penghuni bumi beriman. Apakah engkau memaksa umat manusia untuk berubah menjadi orang-orang yang seragam beriman.” Karena itu kita dituntut untuk memola siat dan sikap kita secara cantik sehingga di satu sisi meningkatkan sikap keberagamaan kita di samping, secara sadar atau tidak, kita telah menampilkan sikap sosio-kultural yang toleran. Sekiranya seorang muslim terdesak maka dapat menyikapi keterdesakan tersebut dengan formulasi yang senada dengan ungkapan-ungkapan Surah Al-Kafirun atau dengan taqiyyah yang kalbu pelakunya muthmainnun bil iman. (QS. An-NAhl: 106)

3. Sebagai kelanjutan dari kaidah di atas maka kegiatan dakwah dan misi harus diberi batasan-batasan, sehingga tidak terjadi pengislaman atau pemurtadan lewat cara-cara yang bertentangan dengan aturan yang ada. Dakwah dalam bahasa dan istilah adalah dalam bentuk ajakan yang santun, bijak dan lembut. Dialog atau kalau perlu debat harus diselenggarakan dengan baik dan beraturan. “Berdakwalah, ajaklah kepada jalan Tuhan-mu dengan bijak, dengan kata-kata santun, atau debat dengan pola dan cara yang lebih baik.” Dakwah yang tepat dewasa ini ialah dakwah yang berorientasi internal dengan mengajak umat Islam sendiri untuk mengamalkan agamanya. Bukankah para pemeluk Islam sudah sedemikian banyak? Jadi yang perlu dicarikan kiat-kiat dakwah tepat ialah kaum muslimin sendiri. Agar kualitas keberagamaan mereka meningkat. Agama Islam tersebar melalui amalan para muslim yang berkualitas, ketika non-Islam menyaksikan kehidupan muslim-muslim tersebut sedemikian ideal dan berguna untuk dicontoh. Ketika keyakinan muslim-muslim tersebut dapat dilihat dari sikap-sikap dan perilakunya, bukan dari omongannya saja. Ajakan kepada kebaikan dilakukan dengan lembut dan sesuai dengan tempatnya. “Ungkapkanlah (wahai Musa, wahai Harun) padanya kata-kata yang lembut, boleh jadi ia teringatkan atau khasy-yat (kagum lagi takut).” Sedangkan, “jika orang-orang Nasrani dan Yahudi ikut menbdengarkan ajakan terus mereka mendebat, maka katakanlah pada mereka bahwa Allah Mahamengetahui perbuatan kalian.”

4. Keadilan sebagai sikap dan sifat yang menjadi tuntutan bagi semua pihak; pejabat pemerintah ataupun rakyat jelata. Keadilan yang rasikh, tak tergoyahkan oleh rasa benci, dendam, antipati dsb. Kepada kelompol tertentu. Keadilan yang merupakan bagian dari sikap keberagamaan yang paripurna; takwa. Keadilan sebagai sifat dan sikap yang diperintahkan oleh Allah azza wa jalla. Dalam kedudukan umat Islam sebagai ummatan wasathan, umat yang moderat. Keadilan sebagai syarat kesaksian atas diri sendiri dan orang lain.

5. Menutup-nutupi kebenaran adalah suatu tindakan yang tidak sejalan dengan hati nurani. Dalam bahasa Islam, menutupi persaksian adalah tindak orany yang hatinya tercoreng oleh dosa. Kebenaran harus diakui, persoalan siapa yang akan menukar keimanannya adalah persoalan pribadi setiap orang; persoalan antara dia dan Tuhan.

6. Kebajikan diterima oleh Allah dari siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir.

7. Asas ‘aqidiah dan filosofis setiap pembangunan cultural property ialah takwa. Takwa dalam artinya yang tidak semata bermuatan semangat beragama (religius) tatapi juga memperhatikan semangat hidup pluralis dan toleran. Bukankah Islam mengecam pembangunan masjid dhirar yang bertendens memecah belah umat? (At-Tawbah: 107-108) Maka demikian halnya pembangunan cultural property yang memecah keragaman hidup berbangsa.

8. Golongan non-muslim yang tidak memusuhi dan juga tidak mengusir keluar dari wilayah milik kaum muslilimin berhak (hak dalam kategori boleh) mendapat perlakuan yang baik dan adil.

9. Maafkanlah serta barbaikbudilah dalam memberi permaafan, hingga amaran Allah datang. (QS…) Al-‘Afwu berarti memberi maaf, sedangkan As-shafhu berarti sikap yang lebih dari sekedar memaafkan. Yaitu tidak menyesali, berkata kasar dan semacamnya (tatsrib) kepada orang yang dimaafkan. Dari akar kata yang sama kita temukan salahsatu padanan kata ‘berjabatan tangan’ dalam Bahasa Arab, yaitu mushafahah yang oleh Ar-Raghib dimaknai dengan: pengungkapan maaf dengan berjabatan tangan. (Lihat Mufradat Alfad Alqur’an, hal. 486. Tahqiq Shafqan Adnan Dawudy, Penerbit Darul Qalam, Cet. III, 2002)

10. Jika terjadi perjanjian, maka perjanjian tersebut harus ditepati dan dipegang erat (konsisten). Karena setiap perjanjian akan dimintakan pertanggungjawaban oleh Allah swt.

11. Dalam perjanjian antara Rasul saw dengan penduduk Najran dimaktubkan sbb:”Penduduk dan pemimpin Najran adalah dalam tanggungjawab Rasul saw untuk melindungi harta, jiwa, agama, keluarga (yang ada di tempat atau di tempat lain), tempat ibadah dan sebala milik mereka. Uskup, rahib, atau paranormalnya tidak diusik (diganti).” …) ‘Alamiyyatul Islam, Dr. Syawqiy Dhayf, hal. 18.
* * *
Ta’liq
Dengan sebelas kaidah di atas saja, saya kira “kita” telah dapat berbicara tentang konsepsi toleransi, khususnya toleransi agama yang berbasis nilai-nilai agama. Bahwa:
1. Toleransi tidak hanya sekedar sikap berakrab-akrab untuk menyukseskan pergaulan atau pun tujuan-tujuan kemanusiaan lain, tetapi adalah merupakan bagian dari ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla yang diformulasikan dalam berbagai bentuk, termasuk di dalamnya kesetiaan dan sikap konsisten kepada perjanjian damai, konvensi perlindungan cultural property dsb. Atau dalam bentuk sikap kesatria dan kejujuran menepati kata-kata, kesaksian, sumpah dan semacamnya. Semuanya dapat bernilai ibadah jika di-takyif secara syar’iy. Memberi maaf dengan cara yang santun tanpa mengurangi harga diri dan sebaliknya meminta maaf atas kekeliruan yang dilakukan dengan sopan tanpa merendah diri adalah ibadah alias kebaktian kepada Allah. Tinggal niat dan pelaksanaannya saja. Kata orang bijak bahwa meminta maaf sama sekali tidak menandakan kekalahan atau kerendahan diri tetapi menampakkan kebesaran jiwa pelakunya. [Sejarah 2]Allah swt meminta Rasul-Nya dan kaum muslim untuk memaafkan perilaku kasar (Ahlul Kitab) yang jahil. Al-“Afw dan Ass-Shafhu yanhg diperintajhkan Allah dalam AlBaqarah adalah suatu sikap toleran yang sangat tinggi tarafnya. Rasul adalah pribadi yang sangat toleran menghadapi gangguan kaum musyrikin dan kuffar Arab terhadap dirinya. Tidak hanya memaafkan, Rasul malah membalas kejahatan mereka dengan kabajikan, di antanranya berupa doa: Ya Allah, ampunilah kaumku. Mereka itu tak tahu (apa-apa).” Rasul tidak pernah mendendam apalagi membalas keburukan mereka dengan balasan yang sama. Dalam perang Uhud, pipi beliau luka dan giginya pecah, tetapi ketika Rasul beserta pengikutnya menaklukkan Makkah (fathu Makkah), Rasul tidak mencari orang yang pernah melukainya; Rasul mentolerir (memaafkan) mereka. Padahal, kala Fathu Mekah, para penduduk Mekah sudah pasrah kepada keputusan Rasul dan mereka bisa saja ditawan, tetapi yang terjadi, Rasul membebaskan mereka sambil men-yafah mereka. Mereka yang dulu mengusir Sang Rasul keluar dari Mekah dan malah pernah berkomplot untuk menghabisi nyawanya. Rasul juga tidak mencari Wahsyi -pemuda yang membunuh paman Rasul, Hamzah bin Abd. Mutthalib- untuk menuntut balas. Wahsyi yang memeluk Islam pada Fathu Mekkah tidak diapa-apakan sama sekali oleh Sang Rasul. Praktek kaummuslimin sepanjang sejarah, mulai Dario awal Islam hingga hari ini sentiasa menampilkan sikap toleran kepada para penganut agama lain. Pada zaman Umar bin Khatthab, penganut agama Shabi’ah yang menyembah plane & bintang mendapat perlakuan sejajar dengan Ahlul Kitab, demikian halnya dengan penganut agama Majusi yang menyembah api di Iran. Agama yang disebut terakhir ini kemudian lambat-laun menghilang pada abad III/IX M.Sedangkan agama Shabi’ah bertahan sampai abadIV/X M. Dengan penganut Kristen dan Yahudi tak beda; di Irak, syam, Mesir mereka hidup aman dan damai, berdampingan secara harmonis dengan umat Islam. Tak lain ladang lain belalang, di Andalusia kamu muslimin tidak pernah memaksa pribumi untuk masuk Islam. Harta dan gereja mereka dilindungi. Umat Yahudi menemukan “surga’-kebebasannya di Andalusia. (dari ‘Alamiyah, hal 95-97 dengan ikhtishar) Dalam sejarah Islam, seoranyg yang mau memeluk Islam terlebih dahulu harus membuktikan bahwa ia benar-benar melakukan itu zonder paksaan pihak manapun. Ia harus menyatakan keislamannya di depan hakim (qadhy) berikut saksi.
Ibnul “Atthar (dari Abad IV H mengatakan bahwa Yahudi dan Nashrany di Andalusia yang mau masuk Islam harus menyerahkan dokumen (watsiqah) bukti kepada qadhi dan membawa saksi yang menguatkan pengakuanya (tanpa paksaan, tidak lari dari suatu pihak, tidak juga karena menginginka sesuatu. Juga bahwa ia telah benar-benar mengenal syariah denganm baik). (Lihat Al-‘Alamiyyah, hal. 17)
Karena sikap toleran inilah maka bangsa-bansa ‘ajam berbondong-bondong mempelajari Bahasa Arab hingga kemudian menjadi lingua franca. Bisa dibandingkan dengan proses penyebaran Bahasa Inggris yang dipicu oleh kapitalisme-materialisme di zaman moderen.
Baytul Hikmah yang dibangun oleh Dinasti Abbasiyah tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan, tetapi sekaligus sebagai pusat dialog antara berbagai kebudayaan dunia, terutama Timur dan Barat. Juga sebagai pusat pertukaran ilmu pengetahuan, sastra dan kesenian. Manuskrip-manuskrip Yunani dikumpulkan dari dalam dan luar wilayah Abbasiyah; dari Aleppo, Cyprus dan lain-lain. Al-Makmun mengirim utusan untuk meminta manuskrip filsafat Yunani dari penguasa Byzantium. Kala itu, di tangan penguasa Byzantium dan para pendeta, buku-buku- itu adalah “rumah-rumah yang terabaikan.” Tak aneh jika pinta delegasi Al-Makmun disambut ramah. (Majalah Al-“Araby [Al-Kuwaytiyyah], ed. 543, Februari 2004)
Sikap toleransi umat Islam telah berhasil menyelamatkan tradsi filsafat Yunani dari kesia-siaan dan kemusnahan melalui kegiatan terjemah dan pengembangan.
Terus pada zaman Dinasti Mameluk di Mesir, warga Yahudi dan Nasrani dilindungi. Malah mereka bebas mengikutu kegiatan masyarakat Islam, sebaliknya kaum muslimin juga selalu menghadiri perayaan-perayaan mereka, sebagai suatu bentuk pengaakuan atas hak-hak setiap warga negara untuk memilih agama dan keyakinannya secara bebas. (Tasamuh, hal.68)
Agama Islam masuk ke Indonesia lewat para pedagang dan sufi. Islam tersebar di Nusantara pada abad XIV dan XV secara damai dan zonder darah. Pada zaman perjuangan mereka bahu-membahu melawan penjajah.
Kalau kita menyaksikan sepak terjang intoleran AS-Inggris-Spanyol di Irak dengan menahan 20.000 warga Irak, tidaklah boleh membuat kita kecut untuk meyebarkan budaya toleransi dan pluralitas. Kita harus menyahuti tantangan ini dengan, misalnya, menata kembali konsepsi-konsepsi kita, menata bidang pendidikan (jangan-jangan ada yang tidak beres, atau apakah ada yang selalu membuat kita menjadi qabil lil-isti’mar wal-ihtilal).
Kebiasaan hidup dalam pluralitas SARA dan harmonis harus dibiasakan sejak dini. Hidup rukun dapat ditanamkan dalam pendidikan cara bergaul, pendidikan multi-bahasa, literature, kebudayaan yang di masa kini dapat dikategorikan sebagai kebutuhan primer.
-Perlakuan baik dan santun adalah hak non-muslim alias merupakan kewajiban yang harus ditegakkan oleh umat Islam. Malah jika konsep hak-hak ini dikembangkan lebih jauh sejalan dengan ajaran-ajaran Islam, kita dapat sampai kepada suatu grand theory atau katakanlah, konsep yang oleh Prof Aly Goum’ah disebut dengan Huququl Akwan (HAN). Karena bukan hanya makhluk hidup yang “berhak” untuk ditata, dikelola dan dijaga, tetapi segala yang ada di jagad raya (kawn; kosmos) ini.
-Perlakuan adil atau katakanlah, perlakuan yang proporsional, tentu saja hanya dapat dilakukan melalui penelitian-penelitian terapan dalam pelbagai disiplin ilmu pengetahuan. Dalam hal ini kita tentu tak lagi gamang dengan adanya pelbagai kajian tentang penghargaan (bukan sekedar tentang sikap toleran !) Islam kepada ilmu pengetahuan.
Perlakuan adil dalam Islam adalah perlakuan yang tidak pandang bulu, terutama di tangan penguasa (atau apa pun title-nya yang diserahi) memikul tanggungjawab atas kepentingan orang banyak.
-Toleransi dilarang dalam urusannya dengan pihak-pihak yang memusuhi kita.
-Taqwa juga dapat dimaknai dengan, misalnya sikap toleran kepada tetangga atau orang lain di sekitar lokasi yang hendak dibanguni mesjid, sekolah, gedung pertunjukan, museum dsb. dari sekian cakupan cultural property. Karena semua itu tidak ada gunanya tanpa kedamaian yang dibingkai (ussisa-ta’sis) dengan taqwa.
-Dakwah alias ajakan ke jalan Allah harus dibarengi dengan pemahaman Islam yang memadai agar tidak sekedar menyampaikan satu-dua baris ayat atau hadis tetapi adalah lebih baik dan afdhal jika dikemas dalam media ekspresi budayawi yang menarik. Tidak sekedar meninabobokan atau menghibur mereka dengan lelucon atau sekedar memuaskan pendengar yang mencari pelarian, hiburan atau sekedar pengisi waktu (atau malah keisengan), tetapi dalam kemasan yang civilized dan mencerdaskan kehidupan umat.
Dakwah yang islami tidak terbatas pada formulasi “padang pasir” dalam kata-kata, idiom, kostum hingga musik—dakwah yang islami juga mencakup segala kebajikan dan ma’ruf (yang dinilai baik oleh adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama) melalui penampilan dan tatanan yang sopan.
-Saatnya kini untuk menegaskan kembali batas-batas antara keislaman dan kekafiran ketika tidak sedikit dari umat Islam dewasa ini yang kelewatan dalam mengklaim kebenaran diri dan golongannya saja, sampai-sampai seakan semua orang sudah kafir dan yang tersisa hanya Paus Chenoudah saja. (Seloroh seorang alim menyentil kalangan radikal, misalnya Jama’atut Takfir wal-Hijrah)
Tentu, jika kita mengadakan perenungan lebih lanjut atas ayat-ayat tersebut di atas maka-kita dapat menyimpulkan kaedah-kaidah baru, apalagi kalau kita menelaah ayat-ayat lain selain ayat –ayat yang disebutkan di atas. …)
Namun sebagai langkah awal itulah yang dapat kami ajukan untuk ditanggapi oleh siapapun yang ketepatan memiliki minat dan perhatian yang sama.
Lil haditsi baqiyyah.oleh Zainal Abidin

Selasa, 09 Februari 2010

SABAR VERSI ORANG SUFI

Al-Syibli, seorang sufi, ditanya oleh seorang pemuda mengenai sabar. ''Sabar macam apa yang paling sulit?'' tanya pemuda itu. ''Sabar demi Allah,'' jawab Al-Syibli. ''Bukan,'' tolak si pemuda. ''Sabar dalam Allah,'' jawab Al-Syibli. ''Bukan,'' katanya. ''Sabar dengan Allah,'' ucapnya. ''Bukan,'' bantahnya. ''Terkutuklah kamu, sabar macam apa itu?'' kata Al-Syibli jengkel. ''Sabar dari Allah,'' jawab pemuda itu. Al-Syibli menangis, lalu pingsan.

Dialog ini menjelaskan kepada kita mengenai tingkatan sabar bagi kaum sufi. Sabar dari Allah (ash-shabr 'an Allah) paling sulit ditempuh dari tingkatan sabar lainnya. Untuk mencapai maqam ini, Ali bin Abi Thalib selalu berdoa, ''Ya, Tuhanku, Junjunganku, Pelindungku! Sekiranya aku bersabar menanggung siksa-Mu, bagaimana aku mampu bersabar berpisah dari-Mu?!''

Dalam literatur tasawuf, sabar (sabr) salah satu maqam, selain zuhd, ma'rifah, mahabbah, tawbah, wara,' faqr, tawakkal, dan ridha. Menurut Nashiruddin Al-Thusi dalam Manazil Al-Sa'irin, ''Sabar membuat batin tidak sedih, lidah tidak mengeluh, dan anggota badan tidak melakukan gerakan-gerakan.''

Sedang bagi orang awam seperti kita, ada tiga tingkatan sabar seperti dijelaskan Nabi Muhammad SAW dalam Al-Kafi. Ali bin Abi Thalib berkata, ''Rasulullah bersabda, 'Ada tiga macam sabar: sabar ketika menderita, sabar dalam ketaatan, dan sabar untuk tidak membuat maksiat.

Orang yang menanggung derita dengan sabar dan senang hati, maka Allah menuliskan baginya tiga ratus derajat (yang tinggi), ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti jarak antara bumi dan langit. Dan orang yang sabar dalam ketaatan, maka Allah menuliskan baginya enam ratus derajat (yang tinggi), ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti derajat antara dalamnya bumi dan 'Arsya. Dan orang yang sabar untuk tidak berbuat maksiat, maka Allah menuliskan baginya sembilan ratus derajat (yang tinggi), ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti jarak antara dalamnya bumi dan batas-batas terjauh 'Arsy.''

Sabar ketika menderita berarti kita tabah menghadapi musibah dan bencana yang ditimpakan oleh Allah (Q.S. 2:155-57), sebagai ujian untuk menyadarkan kita. Sabar dalam ketaatan berarti kita menahan kesusahan dalam menjalankan ibadah. Contoh konkret, para calhaj harus bersabar ketika pemberangkatannya tertunda. Sabar dalam musibah adalah sumber ridha atau puas menerima takdir Allah. Sabar dalam ketaatan merupakan sumber keakraban dengan Allah. Dan, sabar tidak berbuat dosa adalah sumber ketakwaan diri kepada Allah.- ah

NILAI ETIKA KITAB TA'LIM AL-MUTA'ALLIM


Jaman berkembang dengan pesat. Peradaban manusia semakin modern. Dinamika sosial ditandai dengan perubahan pola pikir konvensional ke arah paradigma baru. Mode, life style klasik berkembang dan berubah menjadi life style metropolis, seiring dengan perkembangan jaman.
Ada dampak yang paradok dari perkembangan tersebut, yakni positif dan negatif. Dampak positif perubahan dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dekatnya jarak dunia yang dapat dijangkau dengan alat transportasi dan komunikasi modern, dan lain sebagainya. Namun, dampak negatif dari perubahan tersebut pun sulit dibendung. Pola pemikiran yang serba rasionalis, agresif, dan empiris akan menjebak manusia dalam kehampaan (nihilis) dan sekuler, bahkan atheis.
Efek negatif dari modernitas juga akan mendehumanisasi (objektivasi) manusia, yang ditandai dengan agresivitas (tindak kriminal baik personal maupun kolektif), loneliness (privatisasi), dan spiritual alienation. [1]Sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukan pengembangan pendidikan yang “sesuai” dengan tuntutan perkembangan jaman, dengan mempertimbangkan aspek-aspek pengaruh positif dan negatif. Hal ini karena pendidikan sebagai bagian dari peradaban manusia, mau tidak mau pasti akan mengalami perubahan dan perkembangan. Nilai-nilai ( values) merupakan sesuatu yang sangat krusial dalam kehidupan, termasuk dalam pendidikan. Tanpa nilai-nilai (kejujuran, keadilan, kesetaraan, dan lainnya), maka manusia seolah sebagai “robot-robot” berkaki dua. Di dunia pendidikan, guru hanya sebagai “pentransfer ilmu” layaknya robot, dan siswa sebagai “penerima” layaknya robot. Interaksi guru dan siswa menjadi “mekanistik” bagai mesin. Kondisi pendidikan yang demikian, mendorong kita untuk membangun paradigma baru pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada ilmu pengetahuan ( knowledge oriented) dan ketrampilan ( skill oriented), namun juga berorientasi pada nilai ( values oriented).[2]
Proses pembelajaran yang menekankan pada nilai-nilai (kejujuran, keharmonisan, saling menghargai, dan kesetaraan) adalah hal yang tidak bisa dikesampingkan, apalagi dielakkan. Dengan demikian, pendidikan harus memenuhi tiga unsur: pengetahuan ( ‘ilm), pengajaran ( ta’lim), dan pengasuhanyang baik ( tarbiyah). Proses pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai sebagaimana di atas mendapat perhatian serius tokoh pendidikan abad ke-12 M, al-Zarnuji. Dia menyusun Ta’lim al-Muta’allim yang di dalamnya sarat dengan nilai-nilai etik dan estetik dalam proses pembelajaran. Kitab ini telah dijadikan referensi wajib bagi santri di sebagian besar pondok pesantren di Nusantara. Nilai estetik tampak pada pemikiran al-Zarnuji tentang relasi dan interaksi guru dengan murid, murid dengan murid, dan murid dengan lingkungan sekitar.
Al-Zarnuji dan Ta’lim al-Muta’allim
Nama lengkap al-Zarnuji adalah Burhan al-Islam al-Zarnuji. Pendapat lain mengatakan bahwa nama lengkapnya adalah Burhan al-Din al-Zarnuji . Nama akhirnya dinisbahkan dari daerah tempat dia berasal, yakni Zarnuj[3], yang akhirnya melekat sebagai nama panggilan. Plessner, dalam The Encyclopedia of Islam mengatakan bahwa nama asli tokoh ini sampai sekarang belum diketahui secara pasti, begitu pula karir dan kehidupannya.[4] Menurut M. Plessner,al-Zarnuji hidup antara abad ke-12 dan ke-13. Dia adalah seorang ulama fiqh bermazhab Hanafiyah[5], dan tinggal di wilayah Persia.
Plessner memperkirakan tahun yang relatif lebih mendekati pasti mengenai kehidupan al- Zarnuji. Dia juga merujuk pada data yang dinyatakan oleh Ahlwardt dalam katalog perpustakaan Berlin, Nomor III, bahwa al-Zarnuji hidup pada sekitar tahun 640 H (1243 M), perkiraan ini didasarkan pada informasi dari Mahbub B. Sulaeman al-Kafrawi dalam kitabnya, A’lam al Akhyar min Fuqaha’ Madzhab al-Nu’man al-Mukhdar, yang menempatkan al-Zarnuji dalam kelompok generasi ke-12 ulama mazhab Hanafiyah.[6] Kemudian, Plessner menguji perkiraan Ahlwardt dengan mengumpulkan data kehidupan sejumlah ulama yang diidentifikasikan sebagai guru al-Zarnuji, atau paling tidak, pernah berhubungan langsung dengannya. Di antaranya adalah :
1.      Imam Burhan al-Din Ali bin Abi Bakr al- Farghinani al-Marghinani (w. 593 H/ 1195 M).
2.      Imam Fakhr al-Islam Hasan bin Mansur al-Farghani Khadikan (w. 592 H/ 1196 M).
3.      Imam Zahir al-Din al-Hasan bin Ali al-Marghinani (w.600 H/ 1204 M).
4.      Imam Fakhr al-Din al-Khasani (w. 587 H/ 1191 M), dan Imam Rukn al-Din Muhammad bin Abi Bakr Imam Khwarzade (491-576 H). [7]
Berdasarkan data di atas, Plessner sampai pada kesimpulan bahwa waktu kehidupan al-Zarnuji lebih awal dari waktu yang diperkirakan oleh Ahlwardt. Namun, Plessner sendiri tidak menyebut tahun secara pasti, hal lain yang disimpulkan secara lebih meyakinkan adalah bahwa kitab Ta’lim al-Muta’allim ditulis setelah tahun 593 H.
Ahmad Fuad al-Ahwani memperkirakan bahwa al-Zarnuji wafat pada tahun 591 H/ 1195M.[8] Dengan demikian, belum diketahui hidupnya secara pasti, namun jika diambil jalan tengah dari berbagai pendapat di atas, al-Zarnuji wafat sekitar tahun 620-an H.
Kitab Ta’lim al-Muta’allim merupakan satu-satunya karya al-Zarnuji yang sampai sekarang masih ada. Menurut Haji Khalifah dalam bukunya Kasyf al-Zunun ‘an Asami’ al-Kitab al-Funun, dikatakan bahwa di antara 15000 judul literatur yang dimuat karya abad ke-17 itu tercatat penjelasan bahwa kitab Ta’lim al-Muta’allim merupakan satu-satunya karya al-Zarnuji. Kitab ini telah diberi syarah oleh Ibrahim bin Ismail yang diterbitkan pada tahun 996 H. Kitab ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Turki oleh Abdul Majid bin Nusuh bin Israil dengan judul Irsyad al-Ta’lim fi Ta’lim al-Muta’allim.[9]
Kepopuleran kitab Ta’lim al-Muta’allim, telah diakui oleh ilmuwan Barat dan Timur.[10] Muhammad bin Abdul Qadir Ahmad menilainya sebagai karya monumental, yang mana orang alim seperti al-Zarnuji pada saat hidupnya disibukkan dalam dunia pendidikan, sehingga dalam hidupnya sebagaimana Muhammad bin Abdul Qadir Ahmad hanya menulis sebuah buku.[11]
Tetapi pendapat lain mengatakan bahwa kemungkinan karya lain al-Zarnuji ikut hangus terbakar karena penyerbuan biadab ( invation barbare) bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jenghis Khan (1220-1225 M), yang menghancurkan dan menaklukkan Persia Timur, Khurasan dan Transoxiana yang merupakan daerah terkaya, termakmur dan berbudaya Persia yang cukup maju, hancur lebur berantakan, tinggal puing-puingnya.[12]
Atmosfir Belajar dan Estetika Ta’lim al-Muta’allim
Ta’lim al-Muta’allim, sebagai panduan pembelajaran (belajar-mengajar) terutama bagi murid berisi muqaddimah dan 13 fasl (pasal, bagian). Dalam muqqadimah, al-Zarnuji mengatakan bahwa pada jamannya, banyak penuntut ilmu (murid) yang tekun tetapi tidak bisa memetik manfaat dari ilmu itu (mengamalkan dan menyebarkannya). Hal ini disebabkan karena peserta didik meninggalkan persyaratan yang harus dipenuhi, sehingga mereka gagal. Al-Zarnuji dalam muqaddimah kitabnya mengatakan bahwa kitab ini disusun untuk “meluruskan” tata-cara dalam menuntut ilmu. Adapun dari fasl 1 sampai 13, al-Zarnuji memberikan solusi tentang tata-cara menuntut ilmu.
Pada kajian ini, penulis tidak akan membahas secara keseluhan yang berkaitan dengan solusi yang ditawarkan al-Zarnuji, tetapi penulis membatasi pada relasi antara guru dengan murid yang memiliki nilai estetik.[13]
Menurut al-Zarnuji, belajar bernilai ibadah dan mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Karenanya, belajar harus diniati untuk mencari ridha Allah, kebahagiaan akhirat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat akal, dan menghilangkan kebodohan.[14]
Dimensi duniawi yang dimaksud adalah sejalan dengan konsep pemikiran para ahli pendidikan, yakni menekankan bahwa proses belajar-mengajar hendaknya mampu menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Adapun dimensi ukhrawi, al-Zarnuji menekankan agar belajar adalah proses untuk mendapat ilmu, hendaknya diniati untuk beribadah. Artinya, belajar sebagai manifestasi perwujudan rasa syukur manusia sebagai seorang hamba kepada Allah SWT yang telah mengaruniakan akal. Lebih dari itu, hasil dari proses belajar-mengajar yang berupa ilmu (kemampuan dalam tiga ranah tersebut), hendaknya dapat diamalkan dan dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kemaslahatan diri dan manusia. Buah ilmu adalah amal. Pengamalan serta pemanfaatan ilmu hendaknya dalam koridor keridhaan Allah, yakni untuk mengembangkan dan melestarikan agama Islam dan menghilangkan kebodohan, baik pada dirinya maupun orang lain. Inilah buah dari ilmu yang menurut al-Zarnuji akan dapat menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat kelak.
Dalam konteks ini, para pakar pendidikan Islam termasuk al-Zarnuji mengatakan bahwa para guru harus memiliki perangai yang terpuji. Guru disyaratkan memiliki sifat wara’ (meninggalkan hal-hal yang terlarang), memiliki kompetensi (kemampuan) dibanding muridnya, dan berumur (lebih tua usianya). Di samping itu, al-Zarnuji menekankan pada “kedewasaan” (baik ilmu maupun umur) seorang guru. Hal ini senada dengan pernyataan Abu Hanifah ketika bertemu Hammad, seraya berkata: “Aku dapati Hammad sudah tua, berwibawa, santun, dan penyabar. Maka aku menetap di sampingnya, dan akupun tumbuh dan berkembang”.[15]
Para ilmuwan, sastrawan, dan filosof, memberikan nilai yang terhormat dan menempatkan posisi strategis bagi para pelaku pendidikan. Al-Ghazali misalnya berkata: “Siapa yang memperoleh ilmu pengetahuan dan ia mengambil daya-guna untuk kepentingan dirinya, kemudian mentransformasikan untuk orang lain, maka orang itu ibarat matahari yang bersinar untuk dirinya dan untuk orang lain”.[16]
Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, guru berperan membersihkan, mengarahkan, dan mengiringi hati nurani siswa untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari ridla-Nya. Dengan kata lain, ini adalah dimensi sufistik. Peran kedua adalah peran pragmatik. Artinya, guru berperan menanamkan nilai-nilai pengetahuan dan keterampilan kepada muridnya. Hal ini bisa dicontohkan dengan diwajibkan dan diharamkannya ilmu. Kalau tidak ada guru, siswa akan kebingungan.
Selain itu, guru juga memilihkan ilmu mana yang harus didahulukan dan diakhirkan, beserta ukuran-ukuran yang harus ditempuh dalam mempelajarinya.[17] Unsur kedua yang memegang peranan penting dalam pendidikan adalah anak didik. Anak didik adalah manusia yang akan dibentuk oleh dunia pendidikan. Ia adalah objek sekaligus subjek, yang tanpa keberadaannya proses pendidikan mustahil berjalan.
Al-Zarnuji dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan anak didik, lebih mengaksentuasikan pada kepribadian atau sikap dan moral yang mulia, yang perlu dimiliki oleh para pelajar. Kepribadian yang harus dimiliki oleh murid, sebagimana dikatakan al-Zarnuji adalah setiap murid harus mempunyai sifat-sifat; tawadu’, ‘iffah (sifat menunjukkan harga diri yang menyebabkan seseorang terhindar dari perbuatan yang tidak patut), tabah, sabar, wara’ (menahan diri dari perbuatan yang terlarang) dan tawakal yaitu menyerahkan segala perkara kepada Allah.[18]
Di samping itu, al-Zarnuji juga menganjurkan agar dalam menuntut ilmu, murid hendaknya mencintai ilmu, hormat kepada guru, keluarganya, sesama penuntut ilmu lainnya, sayang kepada kitab dan menjaganya dengan baik, bersungguh-sungguh dalam belajar dengan memanfaatkan waktu yang ada, ajeg dan ulet dalam menuntut ilmu serta mempunyai cita-cita tinggi dalam mengejar ilmu pengetahuan.[19]
Persyaratan-persyaratan tersebut, bagi penulis merupakan persyaratan yang bersifat rohaniah. Ini tidak berarti dia mengabaikan persyaratan yang bersifat jasmaniah, seperti kebutuhan makan, minum, dan kesehatan. Namun, persyaratan jasmaniah adalah merupakan persyaratan yang melekat dalam kehidupan manusia sehari-hari, sedangkan persyaratan rohaniah tidak demikian.
Selain guru dan murid, faktor penting lain dalam pendidikan adalah faktor kurikulum. Kurikulum merupakan faktor yang sangat penting dalam proses kependidikan dalam suatu lembaga pendidikan. Mata pelajaran yang harus diketahui dan dihayati oleh anak didik harus ditetapkan dalam kurikulum. Materi pelajaran yang akan disajikan kepada anak didik, harus dijabarkan terlebih dahulu dalam kurikulum. Dengan demikian, dalam kurikulum tergambar dengan jelas dan berencana, bagaimana dan apa saja yang harus terjadi dalam proses belajarmengajar yang dilakukan oleh pendidik dan anak didik.[20]
Dalam masalah kurikulum, al-Zarnuji tidak menjelaskan secara rinci. Dalam kitab Ta’lim muta’allim dijelaskan tentang pelajaran yang harus dipelajari dan urutan ilmu yang dipelajari. Secara filosofis, dia memberikan uraian-uraian mata pelajaran sebagai kandungan dalam kurikulum seperti panjang pendeknya pelajaran, pelajaran yang harus didahulukan dan diakhirkan, pelajaran yang wajib dan yang haram dipelajari. [21]
Sekuen materi pelajaran hendaknya mengambil pelajaran baru yang dapat dihapalkan dan dipahami setelah diajarkan oleh guru. Selanjutnya setiap harinya ditambah sedikit demi sedikit ( tajrij) sehingga pada suatu ketika menjadi kebiasaan. Jika ukuran pelajaran yang diberikan sukar dan di atas kemampuanya, anak akan sukar untuk memahaminya, yang akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan kepada diri sendiri karena ia tidak memperoleh santapan jiwa yang sesuai buat pertumbuhan akalnya dan buat kemajuan.[22] Pernyataan al-Zarnuji di atas sejalan dengan pendapat pakar pendidikan modern yang menyerukan pembawaan anak didik harus diperhatikan dan dijadikan sebagai dasar dalam mengajar.[23]
Untuk mengimplementasikan kurikulum secara praktis, al-Zarnuji memberi acuan hal-hal yang harus dikerjakan, seperti wara’ dalam belajar, pemilihan waktu belajar-mengajar yang tepat, dan ukuran (sekuen) materi pelajaran.[24]
Bagi al-Zarnuji, bukan masalah banyak sedikitnya materi, tetapi yang lebih penting adalah materi yang lebih mendesak dan dibutuhkan. Ini berarti, al-Zarnuji memiliki pandangan bahwa kurikulum yang dipelajari harus relevan, yakni sesuai kebutuhan peserta didik.[25]
 Hal ini sudah barang tentu harus disesuaikan dengan kemampuan anak didik. Oleh karenanya, mula-mula bahan yang diberikan adalah yang mudah terlebih dahulu, baru naik ke tingkat yang lebih sukar. Ini menunjukkan, bahwa materi yang diberikan harus disesuaikan dengan kematangan anak didik.[26] Sesuai dengan pandangan al-Zarnuji ini, ilmu dapat diklasterisasikan menjadi beberapa kriteria, yakni ilmu yang dipelajari dari sudut pandang kegunaannya. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu agama dan ilmu umum, seperti kedokteran dan ilmu falak, yang semuanya digunakan untuk kemaslahatan.[27] Di samping ilmu-ilmu yang disebutkan di atas, ada ilmu-ilmu yang dilarang mempelajarinya, karena dianggap membahayakan seperti; ilmu mantiq, filsafat, dan ilmu jad. Meskipun secara gamblang al-Zarnuji tidak merinci ilmu mana yang secara sekuen diperuntukkan untuk tingkat rendah, menengah, dan tinggi, tetapi dia memberikan pandangannya tentang ilmu mana yang patut dipelajari oleh pelajar.
Dalam Ta’lim al-Muta’allim al-Zarnuji mengatakan bahwa proses belajar-mengajar hendaknya dilaksanakan sesuai dengan perkembangan jiwa seseorang. Misalnya, pada usia kanakkanak, aktivitas menghapal dengan cara perulangan harus diutamakan. Hal ini karena pola-pikir anak didik masih bersih, dan anak-anak masih cenderung untuk meniru apa yang disampaikan oleh sang Guru. Pada usia pendidikan menengah, anak didik mulai dikenalkan untuk memahami apa yang diajarkan oleh guru. Mata pelajaran yang telah diajarkan bukan sekedar untuk dihapal, tetapi harus dipahami makna-makna yang terkandung di dalamnya. Pada tahapan berikutnya, di samping menghapal dan memahami, anak didik harus aktif dan merefleksikan, serta kreatif untuk bertanya. Lebih lanjut al-Zarnuji mengatakan bahwa bertanya itu lebih baik dari pada menghapal selama satu bulan. Para pelajar hendaknya mencatat pelajaran-pelajaran yang telah diberikan oleh guru.[28] Untuk mencapai keberhasilan belajar, seorang murid seharusnya mempunyai kemauan yang keras dan berusaha secara serius karena sebuah kemauan tanpa disertai adanya usaha yang serius akan mengalami kegagalan, demikian sebaliknya. Berkaitan dengan metode pengajaran, al-Zarnuji mengemukakan pentingnya cara hapalan dan pemahaman, karena kedua cara ini berkaitan dengan sifat individu. Di samping itu, beliau juga mengembangkan cara belajar mudzakarah, munadzarah dan mutharahah.[29]
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi berkaitan dengan atmosfir akademik dan nilai estetik relasi antara guru dan murid sebagaimana dituangkan dalam Ta’lim al-Muta’allim, yakni pertama, titik tolak pemikiran pendidikan al-Zarnuji bermula dari pembicaraan tentang substansi dan esensi kehidupan. Dia cenderung menggunakan term-term tasawuf dalam pemikiran pendidikannya. Oleh karena itu, al-Zarnuji sangat menekankan pendidikan akhlak. Baginya, pendidikan yang utama adalah berangkat dari hal-hal yang substansial, yakni masalah moral (akhlak). Dengan kata lain, dari masalah yang substansi dan esensi ini akan melahirkan perform yang sejati. [30]
Pola hubungan atau relasi antara guru dan murid dalam Ta’lim al-Muta’allim sebagaimana dianjurkan al-Zarnuji adalah semacam “laboratorium” pembelajaran akhlak  untuk relasi yang lebih besar. Relasi ini dijiwai oleh sifat-sifat sufi seperti tawadhu’, sabar, ikhlas, penuh pengertian, dan saling menghormati. Ketika murid telah memiliki “pengalaman” relasi hidup sebagaimana dalam “laborat akhlak” maka yang akan muncul adalah pribadi-pribadi dengan bobot kualitas sebagaimana formulasi dalam laborat tersebut. Harapan yang akan terjadi adalah munculnya relasi yang sebenarnya dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan sikap sebagaimana disebut di atas, kehidupan akan harmonis karena tidak ada “dominasi”, intimidasi, kecongkakan, keserakahan, dan kemunafikan. Perang, teror dalam berbagai bentuk, invasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah wujud dari dominasi agresif manusia atas manusia lain. Pola relasi yang tidak nyaman ini akibat dari teralienasinya masalah moral (akhlak), sebagaimana diingatkan oleh al-Zarnuji. Relasi dan interaksi atas dasar keramahtamahan dan saling menghormati sebagaimana dilakukan Nabi menjadi rujukan utama kitab ini.
Di samping itu, guru dalam Ta’lim al-Muta’allim memiliki peran sentral. Hal ini menjadi sangat beralasan, karena pemikiran sufistik al-Zarnuji sangat kental di dalamnya. Dalam tradisi sufi, seorang mursyid memiliki peran sentral dalam transfer ilmu. Pandangan demokratis al-Zarnuji tampak pada “keleluasaan” seorang murid untuk memilih dan menentukan gurunya. Hal ini menjadi sangat penting dalam proses pengembangan diri seorang murid. Secara psikologis, manakala siswa dalam keadaan “terpaksa” atau “terintimidasi”, maka yang terjadi adalah formalis.Yakni seolah-olah belajar, namun bukan muncul dari motivasi diri, tetapi karena “terpaksa”. Sekali lagi, budaya formal (formalitas) seringkali mengakibatkan kehancuran. Budaya pendidikan di
jaman modern terkadang memburu formalitas, sehingga memunculkan “budaya yang penting”, dengan diperoleh dengan cara apapun, sekalipun tidak diperbolehkan. Bagi al-Zarnuji, hapalan adalah salah satu strategi pembelajaran yang tepat untuk anak-anak. Hal ini karena anak-anak memiliki daya tangkap ( auditory) yang kuat. Implementasinya, pelajaran hari ini sebaiknya dipelajari tiga kali, pelajaran kemarin sebaiknya dipelajari dua kali, dan seterusnya. Dalam konteks ini, kontinuitas pembelajaran akan terjaga, sehingga pencerapan dalam memory menjadi kuat. Ini senada dengan Teori Decay (kelunturan), yang mana Spitzer mengatakan bahwa setelah jangka waktu sehari informasi yang dilupakan sekitar 46%, seminggu yang dilupakan 56%, dan sebulan informasi yang dilupakan adalah 81%. [31]  Hanya saja, hapalan memang semakin tidak cocok bagi anak yang usianya semakin besar, apalagi untuk remaja dan dewasa. Selain itu, strategi pembelajaran aktif ( active learning) lain adalah strategi pembelajaran
yang di dalamnya mengandung unsur saling mengingatkan ( mudzakarah), tukar pandangan  ( munadzarah), dan berdiskusi ( mutharahah, munaqasyah).
 “Laboratorium” sosial al-Zarnuji ini dapat mengembangkan sikap toleran, inklusif, dan pluralis. Dengan sikap ini akan memunculkan kerukunan sosial dan keharmonisan hidup. Hanya saja realitas yang ada, pemikiran al-Zarnuji dipahami secara tekstual oleh praktisi pendidikan.
Kesimpulan
1.      Atmosfir akademik (pendidikan) dalam Ta’lim al-Muta’allim–sebagaimana diformulasikan oleh penggagasnya, al-Zarnuji– memiliki nuansa sufistik paedagogik. Hal ini tampak pada landasan pikir yang dibangun berangkat dari term-term tasawuf sebagai landasan utama. Konsep ridha, tawaddhu’, wara’, ikhlas, dan sabar merupakan kata kunci dalam proses pembelajaran.
2.       Konsep ini diimplementasikan dalam wilayah “mikro” sosial, sebagai “laboratorium”, yang bernama pendidikan. Harapannya laboratorium tersebut dapat menjadi ujung tombak pelaksanaan nilai-nilai yang bernuansa sufistik paedagogik.
3.      Dari pendidikan yang bernilai sufistik paedagogik tersebut akan melahirkan aktor-aktor intelektual yang berwawasan dan bermoral. Pluralitas, inklusivitas,toleransi, dan sikap-sikap lain, akan menghiasi kehidupan mereka dalam sebuah desa buana ( global village) yang penuh dengan keharmonisan dan ketenteraman.







[1] Kuntowijoyo, “Maklumat Sastra Profetik”, dalam Horison Tahun XXXIV, Nomor 5/2005, hal. 11
[2] Menurut Chabib Thoha, persoalan baik atau tidaknya manusia, adalah persoalan nilai, tidak hanya persoalan fakta dan kebenaran ilmiah rasional, akan tetapi menyangkut masalah penghayatan dan pemaknaan yang lebih afektif dari pada kognitif. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Sidi Gazalba tentang pengertian nilai, adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ideal, bukan benda kongkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar-salah yang menuntut pembuktian empiris, melainkan penghayatan yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi. Lihat, Chabib Thoha, Substansi Pendidikan Islam (Kajian Teoritis dan Antisipatip Abad XXI) (Banjarmasin: IAIN Antasari Banjarmasin, 1997), hal. 65-66.
[3] al-Zarnuji berasal dari kota Zarnuj, yakni sebuah kota yang menurut al-Qarasyi berada di Turki. Sedang menurut Yaqut, berada di Turkistan di sebelah sungai Tigris, yang jelas kedua kota tersebut dulunya masuk Transoxiana. Namun ada pendapat lain yang mengatakan beliau berasal dari kota Zarandj, yakni sebuah kota di wilayah Persia yang pernah menjadi ibu kota Sidjistan yang terletak di sebelah selatan Herat. Lihat, Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum (Mesir: Kairo University, 1986), hal. 10.
[4] M. Plessner “Al-Zarnuji” dalam The Encyclopedia of Islam, Vol. IV (Leiden: E. J. Brill, 1913-1934), hal.1218.
[5] Mazhab Hanafiyah adalah aliran mazhab fiqh yang disponsori oleh Imam Abu Hanifah. Ciri utama mazhab ini adalah mengutamakan ra’y dan qiyas di samping al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pedoman. Aliran ini berkembang di Khurasan dan Transoxiana. Lihat, Abu al-A’la al-Maududi, al-Khilafah wa al-Mulk,Terj. Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan, Cet. III, 1990), hal. 285-303. Bisa dibaca juga dalam Asyurbasyi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, Terj. Sabil huda dan Akhmadie (Jakarta: Bumi Aksara, 199l), hal. 45-76
[6] Sayangnya tidak ada keterangan yang jelas tentang hubungan tahun yang diberikan oleh Ahlwardt dengan penggenerasian yang dilakukan oleh al-Kafrawi. Lihat, Muhammad bin Abdul Qadir Ahmad, Ta’lim, hal. 13.
[7] Muhammad bin Abdul Qadir Ahmad, Ta’lim, hal. 14
[8] Ahmad Fuad al-Ahwani, al-Tarbiyah fi al-Islam (Mesir: Isa al-Bab al-Halabi, l955), hal. 238
[9] Dalam sumber lain, karya Brockelmann bahwa kitab Ta’lim al-Muta’allim pertamakali diterbitkan di Mursidabad pada tahun 1265, kemudian diterbitkan di Tunis pada tahun 1286, 1873, di Kairo tahun 1281, 1307, 1318, di Istambul 1292, dan di Kasan tahun 1898, Selain itu kitab Ta’lim al-Muta’allim telah diberi syarah dalam tujuh penerbitan yakni: pertama, atas nama Nau’i, tanpa keterangan tahun penerbitan; kedua, atas nama Ibrahim bin Ismail pada tahun 996 H/ 1588 M; ketiga atas nama Sa’rani pada tahun 710-711 H; keempat, atas nama Ishaq bin Ibnu al-Rumi Qili pada tahun 720 dengan judul Mir’ah al-Thalibin; kelima, atas nama Qodi bin Zakariya al-Anshari A’ashaf; keenam, Otman Pazari, l986 dengan judul Tafhim al- Mutafahhim; ketujuh, H. B. Al. al-Faqir, tanpa keterangan tahun penerbit. Affandi Mukhtar, “Ta’lim al- Muta’allim Thariq al-Ta’allum”, dalam Lecture (Cirebon: LKPPI, 1995), hal. 67
[10] Kitab Ta’lim al-Muta’alim pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Enchiridion Studiosi, telah dilakukan sebanyak dua kali yakni oleh H. Roland pada tahun 1709 dan oleh Caspari pada tahun 1838, dan kitab ini hampir tersedia di seluruh perpustakaan di Dunia pada jamannya. Lihat, Affandi Mukhtar, Ta’lim, hal. 69
[11]  Muhammad bin Abdul Qadir Ahmad, Ta’lim, hal. 24.
[12] Keterangan lebih lanjut baca dalam Muhammad Abdurrahman Khan, Sumbangan Umat Islam terhadap Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (Bandung: Rosdakarya, 1986), hal. 60.
[13] al-Zarnuji, Ta’lim, hal. 1.
[14] al-Zarnuji, Ta’lim, hal. 13
[15] M. Athiyah al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, Terj. Syamsuddin et.al. (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, TT).
[16] M. Athiyah al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, Terj. Syamsuddin et.al. (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, TT).
[17] al-Zarnuji, Ta’lim, hal. 13.
[18] al-Zarnuji, Ta’lim, hal. 13
[19] al-Zarnuji, Ta’lim, hal. 25-26
[20] H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 84,. bandingkan dengan M. Zein, Asas-asas dan Pengembangan Kurikulum (Yogyakarta: Sumbangsih Offset, 1991), hal. 3
[21] al-Zarnuji, Ta’lim, hal. 15-17
[22]. al-Zarnuji, Ta’lim, hal. 52.
[23] M. Athiyah al-Abrasy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal. 190
[24] al-Zarnuji, Ta’lim, hal. 85
[25] al-Zarnuji, Ta’lim, hal. 3-4
[26] Bandingkan dengan pendapat S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, Dasar-Dasar dan Pengembangannya (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 101-102.
[27] Muhammad Abdul Qodir Ahmad, Ta’lim, hal. 90.
[28] Ibid., hal. 57; lihat, QS. 29: 29, QS. 19: 12.
[29]  Ibid., hal. 57; lihat, QS. 29: 29, QS. 19: 12.
[30] Ibid., hal. 60
[31] Ari Agustian Ginanjar, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ, Sebuah Inner Journey (Jakarta: Arga, 2003), hal. 255-256.