Ikhtilaf ilmiyah dan pendapat – pendapat para fuqoha nampak jelas seakan-akan merupakan sosok pribadi dalam agama. Oleh karena itu-lah maka timbulah perbedaan – perbedaan berjumlah banyak.
Bahkan sampai sebagian kalangan orang menggambarkannya ( pendapat-pendpatnya ) sebagai agama baru yang berhadapan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. seorang muslim wajib untuk membuangnya jauh-jauh dan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Penomena yang keliru ini semakin jelas dengan adanya sebagian orang yang panatik terhadap pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran dan letaratur modren, bahkan mereka memposisikannya di level paling atas sebagai sandaran dan menolak pendapat-pendapat atau pemikiran-pemikiran lainnya dalam beragumen. Maka oleh karena itu-lah makin jelas bagi orang yang tidak mengetahui tabi’at dan karekteristik buku-buku fiqih, hal itu seolah-olah merupakan pendapat-pendapat seseorang belaka yang jauh dari ushul syar’i nya.
Akan tetapi bagi orang yang memandang pendapat – pendapat itu dengan pandangan yang teliti dan penuh hati-hati maka pendapat-pendapat itu sebagai hanya penjelasan-penjelasan hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang pada dasarnya telah difahami dan dijelaskan oleh para ulama terdahulu melalui dalil dalil syar’i setelah mereka mengerahkan usaha dan penelitiannya ( ijtihad ) dalam memahami Al-Qur’an dan sunnah, sehingga pemikiran-pemikrannya merupakan buah-buahan yang melimpah ruah yang berasal dari satu pohon yaitu pohon Al-Qur’an dan Sunnah, bukan merupakan buah-buahan yang melimpah ruah dari berbagai pohon seperti yang diduga oleh sebagian orang.
Tangkainya pohon itu adalah Al-Qur’an dan Sunnah, cabangnya adalah dalil-dalil syar’i ( naqli ) dan berbagai lgika ( ‘aqli ), dan buahnya adalah hukum-hukum fiqih, selama hal itu ( pendapat-pendapat dan pemikiran-pemikiran ) merupakan ikhtilaf yang variatif.
Dari sinilah perbedaan itu menyebar antara orang-orang muslim yang mengikuti pendapat-pendapat para ulama yang mengambil dalil ( istinbat ) dari kitab Tuhannya dan sunnah Rosulnya, seperti yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an Surat al-Nahl ayat 43 ;
“ Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,”
dan antara orang-orang ahli kitab yang mengikuti perkataan-perkataan para pendetanya yang keluar dari mulutnya sendiri dan penyelewengan terhadap perintah Tuhannya dan orang-orang yang diancam oleh Allah dalam Al-Qura’n surat al-taubah ayat 31 ;
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah,
Seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah Saw., ketika beliau didatangi ‘Uday bin hatim al-Thoiy dan beliau sedang membaca ayat ini. ‘Uday berkata ; aku berkata; mereka tidak menyembahnya ( rahib ) ? !, Rasulullah Saw bersabda ; Ya, sesungguhnya mereka mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram sehingga mereka ( orang-orang ) mengikuti mereka ( rahib ) yang berarti mereka sama menyembanya. [1]
Oleh karena itu, para ulama memndefinisikan Ijtihad ini dengan; mengerahkan kemampuan dalam mencari hukum-hukum Syar’i melalui dalil-dalil syar’i.[2] Mereka memberikan persyaratan dalam berijtihad itu dengan sangat detail sehingga usaha ( ijtihad ) ini tidak sembarangan dilakukannya kecuali oleh ahlinya.
Hakikat ikhtlaf ini sudah difahami para jumhur ulama, baik ulama salaf maupun ulama kholaf dan mereka membukukannya dalam berbagai buku yang khusus menjelaskan tentang ikhtilaf ini.
Masalah hakikat ikhtilaf ini cukup dengan perkataan seorang ulama Madinah pada jaman Tabi’in, yaitu al-Imam al-Qasim bin Muhammad, dia berkata ;
“sungguh Allah telah memberikan mamfaat dengan adanya ikhtilah diantara para sahabat Nabi Saw.,dalam perbuatan mereka. Tidaklah seseorang beramal dengan mengikuti amal seseorang diantara mereka kecuali dia melihat bahwa sesungguhnya itu adalah merupakannya usahanya dan melihat bahwa itu lebih baik yang telah dilakukannya”[3]
dan perkataan ‘Umar bin Abd al-‘Aziz, Ra.;
“aku tidak senang kalau sesungguhnya para sahabat Rasul tidak berikhtilaf, karena jikalau hanya satu pendapat maka orang –orang akan ada dala kesempitan, dan sesungguhnya mereka (sahabat) adalan para Imam yang diteladani, seandainya seseorang mengambil perkataan salah satu diantara mereka maka itu ada dalam usahanya”[4]
Al-‘Allamah al-Dahlawi rahimahullah berkata seraya menjelaskan tabi’at ikhtilaf dalam fiqih, yaitu;
Sesungguhnya bentuk ikhtilaf yang paling banyak di kalangan fuqoha terutama dalam masalah-maslalah yang timbul dikalangan sahabat, dalam dua segi, seperti membaca takbir di hari tasyriq, idul fitri dan idul adha, nikah dengan seorang ya ng muhrim, tasyahhud ( membaca syhadat) Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud, tidak di zaharkannya membaca basmalah dan membaca Amin, Isyfa dan bentuk kalimat iqomah dan sebagainya dan itu adalah hasil tarjih antara dua pendapat.
Para ulama salaf, mereka tidak berikhtilaf dalam masalah dasar-dasar hukum ( prinsip), akan tetapi mereka berselisih pendapat dalam dua maslah yang paling utama dan perelisihan dalam kalangaan ulama Qiro’at dalam hal cara membaca Al-Qur’an.
Mereka (para ulama) beralasan dalam hal ikhtilaf ini, yaitu; bahwa sesungguhnya para sahabat itu banyak dan bermacam-macam dan sesungguhnya mereka mendapatkan hidayah ( dalam kebaikan). Maka oleh karena itu, para ulama masih senantiasa menbenarkan dan membolehkan adanya fatwa-fatwa dari para mufti dalam hal-hal nyang bersifat ijtihadiyah, menyerhakan hukum –hukum pengadilan. Mereka dalam sebagian kesempatan, juga berselisih dengan madzhab yang dianutnya ... “[5]
Wallahu A’lam bi al-Showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar