ALAMAT RUMAH

TAMAN VENTURA INDAH 2 BLOK D5 RT.02/10.JL.CURUG AGUNG TANAH BARU BEJI - DEPOK 16426

اهـــلا وســهــلا

sebuah perjalanan panjang dipenghujung tahun 2008. kami bersukur kepada Allah Swt, yang telah memberikan nikmat sebuah rumah yang sangat cukup bagi kami, beralamat di Jalan Curug Agung, Tanah Baru Beji -Depok. perumahan yang terjangkau untuk dimiliki. juga yang terpenting adalah letak yang cukup dekat dengan tempat kerja. Alhamdulillah. karena berbulan-bulan kami mencari rumah ke berbagai tempat sekitar depok dan sekolah tempat mengajar, ternyata sangat sulit menemukan rumah atau perumahan yang cocok dan sesuai dengan kondisi keuangan kami. kenikmatan itu datang lagi dengan lahirnya anak kami yang ketiga dan keempat ( kembar ) di awal tahun 2010, sangat membahagiakan.

العـلـم نـور ونـور الله لايـهــدى للــعـاص

USAHA MENDULANG UANG BERKAH

SUMBER HERBAL

Rabu, 27 Oktober 2010

ತಿಮ್ಬುಲ್ Ikhtilaf


Munculnya ikhtilaf dalam hukum islam kembali kepada adanya ijtihad yang terjadi pada zaman Nabi. Dimana umat islam mengalami kebuntuan ketika hendak menghukumi sautu perkara yang tidak dijelaskan dalam wahyu ( Al-Qur’an dan Sunnah ). Penomena ini mulai meluas setelah Nabi wafat dan para sahabat Radiyallahu ‘anhum mulai menyebar diberbagai daerah kawasan. Maka dengan demikian ikhtilaf dalam hukum islam meluas dengan terputusnya wahyu dan menyebarnya para sahabat nabi di seantero Jazirah arab, disebabkan dua hal yang mendasar, yaitu ;
1. Adanya Teks wahyu ( Al-Qur’an dan sunnah ) yang bersifat umum ( ihitmal al-Nushsuh al-Syar’iy )
2. Kemampuan dan Pemahaman akal yang variatif
Hikmah dari sebuah ketentuan Allah sungguh terbutki dengan adanya teks-teks Al-Qur’an dan sunnah yang mengandung berbagai kemungkinan mempunyai lebih dari satu makna. Meskipun Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa arab yang sangat jelas, tapi karakteristik dari bahasa Arab itu sendiri yang sangat kaya akan makna adalah sebuah hal yang tidak bisa disangkal.
Demikian juga, ( hikmah ) Allah menciptakan akal dan kemampuan untuk berfikir, sangat variatif. Hal ini tidak lain bertujuan untuk meneruskan dan sekaligus menyempurnakan dari sebuah tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi ini yang tidak lain hanya dengan ilmu dan kemapuan berfikir.
Dengan dua dasar inilah muncul perbedaan atau ikhtilaf dalam berbagai pemikiran dan pendapat dalam hukum islam. Dari sini dapat ditarik kesimpulan sementara, bahwa seandainya tek-teks Al-Qur’an dan sunnah bersifat jelas ( Qath’i ) ditambah dengan akal dan kemampuan berfikir manusia hanya tunggal, maka ikhtilaf dan perbedaan pendapat ini sungguh tidak akan terjadi.
Tapi apa yang akan terjadi, kalau seandainya Allah menurunkan teks Al-Qur’an dengan terperinci ( mufassiran ) tidak bersifat umum (Ijmalan wa ihtimalan ) kemudian akal dan kemampuan befikir manusia tidak variatif....?
Didalam surat al-Baqarah ayat 228 ada kalimat Tsalatsatu Quru, bagi wanita yang sedang haid. Dan dalam ayat sebelumnya ada kalimat arba’atu asyhur bagi wanita yang sedang ‘Iddah. Kalimat tsalatsatu quru ini atau kalimat arba’atu asyhur ini kelihatan jelas karena ada ungkapan bilangan tsalaatsatu dan arba’atu. Kalimat asyhur sangat jelas maknanya yaitu bulan ( 30 hari ) Tapi kalau melihat kalimat quruu nya, maka akan ditemukan dua arti yang berbeda. Quru bisa berarti haid itu sendiri dan bisa berarti suci.
Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Razi al-Jashshash dalam kitabnya ( ahkam Al-Qur’an ) berkata; kalimat quru yang sudah terkenal dan disepakati dikalangan para ulama salaf dengan arti haid dan suci, bisa didapatkan dua hal; pertama, kalimat tersebut seandainya qoth’i bukan ijmali, maka tidak mungkin dita’wilkan kepada dua arti. Karena mereka (ulama salaf ) adalah ahli dalam bahasa arab, maka dua arti ( haid dan suci ) tersebut benar-benar kenyataan. Kedua, perbedaan pendapat ini sudah menyebar luas dikalangan para ulama. Tidak satupun ulama yang mengingkarinya. Hal ini membuktikan bahwa teks Al-Qur’an terdapat kalimat (lafadz ) yang mempunyai berbagai makna dan menjadi lahan untuk berijtihad.
Al-Imam al-Zarkasyi rahimahullah juga berkata ; ketahuilah sesungguhnya Allah tidak mengangkat semua hukum dengan dalil Qoth’iy, tapi menjadikannya dengan dalil dzanni, hal ini bertujuan untuk keleluasaan bagi orang-orang supaya tidak terpaku pada satu madzhab hanya karena dalil qathi’i ....
Pada zaman Nabi munculnya ikhtilaf dalam maslah fiqih sudah terjadi, seperti; Masalah sholat dalam perjalanan menuju ke Bani Quraidoh, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam sohihnya yang diterima dari Ibnu Umar Ra, dia berkata ; Rasulullah telah bersabda ketika perang Ahzab; “ satu oranngpun tidak ada yang sholat ashar kecuali di bani quraidoh” sebagian para sahabat menduganya sholat dilakukan diperjalanan. Sementara sebagian lagi menduga sholat dilakukan hanya ketika sampai di Bani Quraidoh. Kejadian perselisihan para sahabat ini sampai ke Nabi Saw. dan beliau tidak menyangkal satupun dari mereka.
Dan masih ada kejadian-kejadian seperi ini. Waallahu a’lam

Minggu, 03 Oktober 2010

Pembelajaran PAKEM

Pembelajaran PAKEM II
November 5, 2008 — Wahidin

Belajar itu menyenangkan. Tapi, siapa yang menjadi stakeholder dalam proses pembelajaran yang menyenangkan itu? Jawabannya adalah siswa. Siswa harus menjadi arsitek dalam proses belajar mereka sendiri. Kita semua setuju bahwa pembelajaran yang menyenangkan merupakan dambaan dari setiap peserta didik. Karena proses belajar yang menyenangkan bisa meningkatkan motivasi belajar yang tinggi bagi siswa guna menghasilkan produk belajar yang berkualitas. Untuk mencapai keberhasilan proses belajar, faktor motivasi merupakan kunci utama. Seorang guru harus mengetahui secara pasti mengapa seorang siswa memiliki berbagai macam motif dalam belajar. Ada empat katagori yang perlu diketahui oleh seorang guru yang baik terkait dengan motivasi “mengapa siswa belajar”, yaitu (1) motivasi intrinsik (siswa belajar karena tertarik dengan tugas-tugas yang diberikan), (2) motivasi instrumental (siswa belajar karena akan menerima konsekuensi: reward atau punishment), (3) motivasi sosial (siswa belajar karena ide dan gagasannya ingin dihargai), dan (4) motivasi prestasi (siswa belajar karena ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa dia mampu melakukan tugas yang diberikan oleh gurunya).

Dalam paradigma baru pendidikan, tujuan pembelajaran bukan hanya untuk merubah perilaku siswa, tetapi membentuk karakter dan sikap mental profesional yang berorientasi pada global mindset. Fokus pembelajarannya adalah pada ‘mempelajari cara belajar’ (learning how to learn) dan bukan hanya semata pada mempelajari substansi mata pelajaran. Sedangkan pendekatan, strategi dan metoda pembelajarannya adalah mengacu pada konsep konstruktivisme yang mendorong dan menghargai usaha belajar siswa dengan proses enquiry & discovery learning. Dengan pembelajaran konstruktivisme memungkinkan terjadinya pembelajaran berbasis masalah. Siswa sebagai stakeholder terlibat langsung dengan masalah, dan tertantang untuk belajar menyelesaikan berbagai masalah yang relevan dengan kehidupan mereka. Dengan skenario pembelajaran berbasis masalah ini siswa akan berusaha memberdayakan seluruh potensi akademik dan strategi yang mereka miliki untuk menyelesaikan masalah secara individu/kelompok. Prinsip pembelajaran konstruktivisme yang berorientasi pada masalah dan tantangan akan menghasilkan sikap mental profesional, yang disebut researchmindedness dalam pola pikir siswa, sehingga kegiatan pembelajaran selalu menantang dan menyenangkan.

Mengapa Pakem.

Pakem yang merupakan singkatan dari pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan, merupakan sebuah model pembelajaran kontekstual yang melibatkan paling sedikit empat prinsip utama dalam proses pembelajarannya. Pertama, proses Interaksi (siswa berinteraksi secara aktif dengan guru, rekan siswa, multi-media, referensi, lingkungan dsb). Kedua, proses Komunikasi (siswa mengkomunikasikan pengalaman belajar mereka dengan guru dan rekan siswa lain melalui cerita, dialog atau melalui simulasi role-play). Ketiga, proses Refleksi, (siswa memikirkan kembali tentang kebermaknaan apa yang mereka telah pelajari, dan apa yang mereka telah lakukan). Keempat, proses Eksplorasi (siswa mengalami langsung dengan melibatkan semua indera mereka melalui pengamatan, percobaan, penyelidikan dan/atau wawancara).

Pelaksanaan Pakem harus memperhatikan bakat, minat dan modalitas belajar siswa, dan bukan semata potensi akademiknya. Dalam pendekatan pembelajaran Quantum (Quantum Learning) ada tiga macam modalitas siswa, yaitu modalitas visual, auditorial dan kinestetik. Dengan modalitas visual dimaksudkan bahwa kekuatan belajar siswa terletak pada indera ‘mata’ (membaca teks, grafik atau dengan melihat suatu peristiwa), kekuatan auditorial terletak pada indera ‘pendengaran’ (mendengar dan menyimak penjelasan atau cerita), dan kekuatan kinestetik terletak pada ‘perabaan’ (seperti menunjuk, menyentuh atau melakukan). Jadi, dengan memahami kecenderungan potensi modalitas siswa tersebut, maka seorang guru harus mampu merancang media, metoda/atau materi pembelajaran kontekstual yang relevan dengan kecenderungan potensi atau modalitas belajar siswa.

Peranan Seorang Guru.

Agar pelaksanaan Pakem berjalan sebagaimana diharapkan, John B. Biggs and Ross Telfer, dalam bukunya “The Process of Learning”, 1987, edisi kedua, menyebutkan paling tidak ada 12 aspek dari sebuah pembelajaran kreatif, yang harus dipahami dan dilakukan oleh seorang guru yang baik dalam proses pembelajaran terhadap siswa:

1. Memahami potensi siswa yang tersembunyi dan mendorongnya untuk berkembang sesuai

dengan kecenderungan bakat dan minat mereka,

2. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar meningkatkan rasa tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan bantuan jika mereka membutuhkan,

3. Menghargai potensi siswa yang lemah/lamban dan memperlihatkan entuisme terhadap ide serta gagasan mereka,

4. Mendorong siswa untuk terus maju mencapai sukses dalam bidang yang diminati dan penghargaan atas prestasi mereka,

5. Mengakui pekerjaan siswa dalam satu bidang untuk memberikan semangat pada pekerjaan lain berikutnya.

6. Menggunakan kemampuan fantasi dalam proses pembelajaran untuk membangun hubungan dengan realitas dan kehidupan nyata.

7. Memuji keindahan perbedaan potensi, karakter, bakat dan minat serta modalitas gaya belajar individu siswa,

8. Mendorong dan menghargai keterlibatan individu siswa secara penuh dalam proyek-proyek pembelajaran mandiri,

9. Menyatakan kapada para siswa bahwa guru-guru merupakan mitra mereka dan perannya sebagai motivator dan fasilitator bagi siswa.

10. Menciptakan suasana belajar yang kondusif dan bebas dari tekanan dan intimidasi dalam usaha meyakinkan minat belajar siswa,

11. Mendorong terjadinya proses pembelajaran interaktif, kolaboratif, inkuiri dan diskaveri agar terbentuk budaya belajar yang bermakna (meaningful learning) pada siswa.

12. Memberikan tes/ujian yang bisa mendorong terjadinya umpan balik dan semangat/gairah pada siswa untuk ingin mempelajari materi lebih dalam.

Selanjutnya bentuk-bentuk pertanyaan yang dapat menggugah terjadinya ”pembelajaran aktif,
kreatif, efektif dan menyenangkan” (Pakem), bisa diterapkan antara lain dalam salah satu

kegiatan belajar kelompok (studi kasus). Menurut Wassermen (1994), pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan pemikiran yang dalam untuk sebuah solusi atau yang bersifat mengundang, bukan instruksi atau memerintah. Misalnya dengan menggunakan kata kerja : menggambarkan, membandingkan, menjelaskan, menguraikan atau dengan menggunakan kata-kata: apa, mengapa atau bagaimana dalam kalimat bertanya. Berikut adalah beberapa contoh bentuk pertanyaan yang bisa memberikan respon kreatif terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.

1. Jelaskan bagaimana situasi ini bisa ditangani secara berbeda ?

2. Bandingkan situasi ini dengan situasi sekarang !

3. Ceriterakan contoh yang sama dengan pengalaman Anda sendiri !

Para siswa bisa juga diminta untuk menjawab sejumlah pertanyaan yang nampaknya sesuai dengan semua skenario. Contoh pertanyaan-pertanyaan berikut dapat memprovokasi siswa untuk berpikir tentang kasus yang dibahas.

1. Apa yang Anda bayangkan sebagai kemungkinan dari akibat tindakan tersebut ?

2. Dengan melihat kebelakang, bagaimana Anda menilai diri Anda sendiri ?

3. Dengan mengatakan yang sesungguhnya, apa kesimpulan Anda tentang isu penting itu ?

Proses pembelajaran akan berlangsung seperti yang diharapkan dalam pelaksanaan konsep
Pakem jika peran para guru dalam berinteraksi dengan siswanya selalu memberikan motivasi,
dan memfasilitasinya tanpa mendominasi, memberikan kesempatan untuk berpartisipasi aktif,
membantu dan mengarahkan siswanya untuk mengembangkan bakat dan minat mereka melalui
proses pembelajaran yang terencana. Perlu dicatat bahwa tugas dan tanggung jawab utama para
guru dalam paradigma baru pendidikan ”bukan membuat siswa belajar” tetapi ”membuat
siswa mau belajar”, dan juga ”bukan mengajarkan mata pelajaran” tetapi ”mengajarkan cara
bagaimana mempelajari mata pelajaran ”. Prinsip pembelajaran yang perlu dilakukan: ”Jangan meminta siswa Anda hanya untuk mendengarkan, karena mereka akan lupa. Jangan membuat siswa Anda memperhatikan saja, karena mereka hanya bisa mengingat. Tetapi yakinkan siswa Anda untuk melakukannya, pasti mereka akan mengerti”.

Penilaian Hasil Belajar.

Sebuah pertanyaan untuk direnungkan. Apakah sebuah ”Penilaian Mendorong Pembelajaran ?” atau apakah ”pembelajaran itu untuk mempersiapkan sebuah tes ? ” atau apakah ’Pembelajaran dan Tes’ tersebut dilakukan guna mendapatkan pengakuan tentang kompetensi yang diperlukan siswa atau sekolah? Dalam pelaksanaan konsep Pakem, penilaian dimaksudkan untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa, baik itu keberhasilan dalam proses maupun keberhasilan dalam lulusan (output). Keberhasilan proses dimaksudkan bahwa siswa berpartisipasi aktif, kreatif dan senang selama mengikuti kegiatan pembelajaran. Sedangkan keberhasilan lulusan (output) adalah siswa mampu menguasai sejumlah kompetensi dan standar kompetensi dari setiap Mata Pelajaran, yang ditetapkan dalam sebuah kurikulum. Inilah yang disebut efektif dan menyenangkan. Jadi, penilaian harus dilakukan dan diakui secara komulatif. Penilaian harus mencakup paling sedikit tiga aspek : pengetahuan, sikap dan keterampilan. Ini tentu saja melibatkan Professional Judgment dengan memperhatikan sifat obyektivitas dan keadilan. Untuk ini, pendekatan Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian Acuan Patokan (PAP) merupakan pendekatan penilaian alternatif yang paling representatif untuk menentukan keberhasilan pembelajaran Model Pakem.

Media dan bahan ajar. ”Media dan Bahan Ajar” selalu menjasi penyebab ketidakberhasilan sebuah proses pembelajaran di sekolah. Sebuah harapan yang selalu menjadi wacana di antara para pendidik/guru kita dalam melaksanakan tugas mengajar mereka di sekolah adalah tidak tersedianya ’media pembelajaran dan bahan ajar’ yang cukup memadai. Jawaban para guru ini cukup masuk akal. Seakan ada korelasi antara ketersediaan ’media bahan ajar’ di sekolah dengan keberhasilan pembelajarn siswa. Kita juga sepakat bahwa salah satu penyebab ketidakberhasilan proses pemblajarn siswa di sekolah adalah kurangnya media dan bahan ajar. Kita yakin bahwa pihak manajemen sekolah sudah menyadarinya. Tetapi, sebuah alasan klasik selalu kita dengar bahwa ”sekolah tidak punya dana untuk itu”!.

Dalam pembelajaran Model Pakem, seorang guru mau tidak mau harus berperan aktif, proaktif dan kreatif untuk mencari dan merancang media/bahan ajar alternatif yang mudah, murah dan sederhana. Tetapi tetap memiliki relevansi dengan tema mata pelajaran yang sedang dipelajari siswa. Penggunaan perangkat multimedia seperti ICT sungguh sangat ideal, tetapi tidak semua sekolah mampu mengaksesnya. Tanpa merendahkan sifat dan nilai multimedia elektronik, para guru dapat memilih dan merancang media pembelajaran alternatif dengan menggunakan berbagai sumber lainnya, seperti bahan baku yang murah dan mudah di dapat, seperti bahan baku kertas/plastik, tumbuh-tumbuhan, kayu dan sebagainya, guna memotivasi dan merangsang proses pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan.

Dalam kesempatan melakukan studi banding di Jerman, saya melihat bagaimana seorang guru fisika di sebuah Sekolah Kejuruan (Berlin) menggunakan alat peraga simulasi (Holikopter) yang dibuat dari kertas karton yang diapungkan didepan kelas dengan menggunakan sebuah blower untuk memudahkan para siswa dalam memahami prinsip-prinsip yang berkaitan dengan mata pelajaran fisika tersebut. Proses pembelajarannya mudah dipahami dan sangat menyenangkan. Media simulasi ini tidak dibeli sudah jadi, tetapi dirancang oleh seorang guru mata pelajaran fisika itu sendiri. Saya kira inilah yang disebut guru yang kreatif. Jadi, model ’pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan’, atau yang kita sebut dengan PAKEM itu tidak selalu mahal. Unsur kreatifitas itu bukan terletak pada produk/media yang sudah jadi, tetapi lebih pada pola fikir dan strategi yang digunakan secara tepat oleh seorang guru itu sendiri dalam merancang dan mengajarkan materi pelajarannya.

Dalam merancang sebuah media pembelajaran, aspek yang paling penting untuk diperhatikan
oleh seorang guru adalah karakteristik dan modalitas gaya belajar individu peserta didik, seperti
disebutkan dalam pendekatan ’Quantum Learning’ dan Learning Style Inventory’. Media yang
dirancang harus memiliki daya tarik tersendiri guna merangsang proses pembelajaran yang
menyenangkan. Sementara ini media pembelajaran yang relatif cukup representatif digunakan
adalah media elektronik (Computer – Based Learning). Selanjutnya skenario penyajian ’bahan
ajar’ harus dengan sistem modular dengan mengacu pada pendekatan Bloom Taksonomi. Ini
dimaksudkan agar terjadi proses pembelajaran yang terstruktur, dinamis dan fleksibel, tanpa
harus selalu terikat dengan ruang kelas, waktu dan/atau guru. Perlu dicatat bahwa tujuan akhir mempelajari sebuah mata pelajaran adalah agar para siswa memiliki kompetensi sebagaimana ditetapkan dalam Standar Kompetensi (baca Kurikulum Nasional). Untuk itu langkah/skenario penyajian pembelajarn dalam setiap topik/mata pelajaran harus dituliskan secara jelas dalam sebuah Modul. Dengan demikian diharapkan para siswa akan terlibat dalam proses pembelajaran tuntas (Mastery Learning) dan bermakna (Meaningful Learning).

ditulis oleh: Drs. Anwar Fuady, M.Ed

Dalam proses belajar mengajar sangat diperlukan strategi pembelajaran yang sangat baik dan cocok untuk situasi dan kondisi siswa. Strategi yang sangat cocok dan menarik peserta didik dalam pembelajaran sekarang ini dikenal dengan nama PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan)

PAKEM adalah sebuah model pembelajaran yang memungkinkan peserta didik mengejakan kegiatan yang beragam untuk mengembangkan keterampilan dan pemahaman dengan penekanan kepada belajar sambil bekerja, sementara guru menggunakan berbagai sumber dan alat bantu belajar termasuk pemanfaatan lingkungan supaya pembelajaran lebih menarik, menyenangkan dan efektif.

A. ALASAN PENERAPAN PAKEM
PAKEM diterapkan dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pembelajaran model konvensional dinilai menjemukan, kurang menarik bagi para peserta didik sehingga berakibat kurang optimalnya penguasaan
materi bagi peserta didik.

B. CIRI-CIRI / KARAKTERISTIK PAKEM
Ciri-ciri/karakteristik PAKEM adalah:
a. Pembelajarannya mengaktifkan peserta didik
b. Mendorong kreativitas peserta didik &guru
c. Pembelajarannya efektif
d. Pembelajarannya menyenangkan utamanya bagi peserta didik

C. PRINSIP PAKEM
Prinsip PAKEM antara lain:
1. Mengalami: peserta didik terlibat secara aktif baik fisik, mental maupun emosional
2. Komunikasi: kegiatan pembelajaran memungkinkan terjadinya komunikasi antara guru dan peserta diidik
3. Interaksi: kegiatan pembelajarannyaa memungkinkan terjadinya interaksi multi arah
4. Refkesi: kegiatan pembelajarannya memungkinkan peserta didik memikirkan kembali apa yang telah dilakukan

D. JENIS PENILAIAN SESUAI DG PEMBELAJARAN MODEL PAKEM
1. Penilaian yang sesuai dengan pembelajaran model Pakem adalah penilaian otentik yang merupakan proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran telah benar-benar dikuasai dan dicapai.
2. Tujuan Penilaian otentik itu sendiri adalah untuk: (a) Menilai Kemampuan Individual melalui tugas tertentu; (b) Menentukan kebutuhan pembelajaran; (c) Membantu dan mendorong siswa; (d) Membantu dan mendorong guru untuk mengajar yang lebih baik; (e) Menentukan strategi pembelajaran; (f) Akuntabilitas lembaga; dan (g) Meningkatkan kualitas pendidikan.
3. Bentuk penilaian tes dapat dilakukan secara lisan, tertulis, dan perbuatan. Sementara itu, bentuk penilaian non tes dilakukan dengan menggunakan skala sikap, cek lis, kuesioner, studi kasus, dan portofolio.
4. Dalam pembelajaran, dengan pendekatan Pakem rangkaian penilaian ini seyogiayanya dilakukan oleh seorang guru. Hal ini disebabkan setiap jenis atau bentuk penilaian tersebut memiliki beberapa kelemahan selain keunggulan.

E. TUJUAN PENILAIAN PEMBELAJARAN MODEL PAKEM
1. Menilai kemampuan individual melalui tugas tertentu
2. Menentukan kebutuhan pembelajaran
3. Membantu dan mendorong siswa
4. Membantu dan mendorong guru untuk mengajar yang lebih baik
5. Menentukan strategi pembelajaran
6. Akuntabilitas lembaga
7. Meningkatkan kualitas pendidikan

F. MERANCANG DAN MELAKSANAKAN PENILAIAN PEMBELAJARAN MODEL PAKEM
1. Merancang penilaian dilakukan bersamaan dengan merancang pembelajaran tersebut. Penilaian disesuaikan dengan pendekatan dan metode yang dilaksanakan dalam pembelajaran.
2. Dalam pembelajaran dengan pendekatan model Pakem, penilaian dirancang sebagaimana dengan penilaian otentik. Artinya, selama pembelajaran itu berlangsung, guru selain sebagai fasilitator juga melakukan penilaian dengan berbagai alat yang sesuai dengan kegiatan yang dilakukan oleh siswa.

Sabtu, 02 Oktober 2010

Studi Prinsip Dasar Metode Pengajaran Bahasa Arab

A. Muqaddimah

Belajar Bahasa Arab (asing) berbeda dengan belajar bahasa ibu, oleh karena itu prinsip dasar pengajarannya harus berbeda, baik menyangkut metode (model pengajaran), materi maupun proses pelaksanaan pengajarannya. Bidang keterampilan pada penguasaan Bahasa Arab meliputi kemampuan menyimak (listening competence/mahaarah al – Istima’), kemampuan berbicara (speaking competence/mahaarah al-takallum), kemampuan membaca (reading competence/mahaarah al-qira’ah), dan kemampuan menulis (writing competence/mahaarah al – Kitaabah).

Setiap anak manusia pada dasarnya mempunyai kemampuan untuk menguasai setiap bahasa, walaupun dalam kadar dan dorongan yang berbeda. Adapun diantara perbedaan-perbedaan tersebut adalah tujuan-tujuan pengajaran yang ingin dicapai, kemampuan dasar yang dimiliki, motivasi yang ada di dalam diri dan minat serta ketekunannya.

1.Tujuan Pengajaran Belajar bahasa ibu (bahasa bawaan -edt) merupakan tujuan yang hidup, yaitu sebagai alat komunikasi untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dalam hidupnya, oleh karena itu motivasi untuk belajarnya sangat tinggi. Sementara itu belajar bahasa asing, seperti bahasa Arab (bagi non Arab), pada umunya mempunyai tujuan sebagai alat komunikasi dan ilmu pengetahuan (kebudayaan). Namun bahasa asing tidak dijadikan sebagai bahasa hidup sehari-hari, oleh karena itu motivasi belajar Bahasa Arab lebih rendah daripada bahasa ibu. Padahal besar kecilnya motivasi belajar Bahasa Arab mempengaruhi hasil yang akan dicapai.

2.Kemampuan dasar yang dimiliki Ketika anak kecil belajar bahasa ibu, otaknya masih bersih dan belum mendapat pengaruh bahasa-bahasa lain, oleh karena itu ia cenderung dapat berhasil dengan cepat. Sementara ketika mempelajari Bahasa Arab, ia telah lebih dahulu menguasai bahasa ibunya, baik lisan, tulis, maupun bahasa berpikirnya. Oleh karena itu mempelajari bahasa Arab tentu lebih sulit dan berat, karena ia harus menyesuaikan sistem bahasa ibu kedalam sistem bahasa Arab, baik sistem bunyi, struktur kata, struktur kalimat maupun sistem bahasa berpikirnya1.

B.Prinsip-prinsip pengajaran Bahasa Arab (asing)
Ada lima prinsip dasar dalam pengajaran bahasa Arab asing, yaitu prinsip prioritas dalam proses penyajian, prinsip koreksitas dan umpan balik, prinsip bertahap, prinsip penghayatan, serta korelasi dan isi;

1.Prinsip prioritas
Dalam pembelajaran Bahasa Arab, ada prinsip-prinsip prioritas dalam penyampaian materi pengajaran, yaitu; pertama, mengajarkan, mendengarkan, dan bercakap sebelum menulis. Kedua, mengakarkan kalimat sebelum mengajarkan kata. Ketiga, menggunakan kata-kata yang lebih akrab dengan kehidupan sehari-hari sebelum mengajarkan bahasa sesuai dengan penutur Bahasa Arab.

1)Mendengar dan berbicara terlebih dahulu daripada menulis. Prinsip ini berangkat dari asumsi bahwa pengajaran bahasa yang baik adalah pengajaran yang sesuai dengan perkembangan bahasa yang alami pada manusia2, yaitu setiap anak akan mengawali perkembangan bahasanya dari mendengar dan memperhatikan kemudian menirukan. Hal itu menunjukkan bahwa kemampuan mendengar/menyimak harus lebih dulu dibina, kemudian kemampuan menirukan ucapan, lalu aspek lainnya seperti membaca dan menulis. Ada beberapa teknik melatih pendengaran/telinga,yaitu:

i.Guru bahasa asing (Arab) hendaknya mengucapkan kata-kata yang beragam, baik dalam bentuk huruf maupun dalam kata. Sementara peserta didik menirukannya di dalam hati secara kolektif.
ii.Guru bahasa asing kemudian melanjutkan materinya tentang bunyi huruf yang hampir sama sifatnya. Misalnya: ه – ح, ء – ع س– ش, ز – ذ , dan seterusnya3.
iii.Selanjutnya materi diteruskan dengan tata bunyi yang tidak terdapat di dalam bahasa ibu (dalam hal ini bahasa indonesia, -edt) peserta didik, seperti: خ, ذ, ث, ص, ض dan

seterusnya. Adapun dalam pengajaran pengucapan dan peniruan dapat menempuh langkah-langkah berikut4.

i.Peserta didik dilatih untuk melafalkan huruf-huruf tunggal yang paling mudah dan tidak asing, kemudian dilatih dengan huruf-huruf dengan tanda panjang dan kemudian dilatih dengan lebih cepat dan seterusnya dilatih dengan melafalkan kata-kata dan kalimat dengan cepat. Misalnya : بى, ب, با, بو dan seterusnya.
ii.Mendorong peserta didik ketika proses pengajaran menyimak dan melafalkan huruf atau kata-kata untuk menirukan intonasi, cara berhenti, maupun panjang pendeknya.

2)Mengajarkan kalimat sebelum mengajarkan bahasa
Dalam mengajarkan struktur kalimat, sebaiknya mendahulukan mengajarkan struktur kalimat/nahwu, baru kemudian masalah struktur kata/sharaf. Dalam mengajarkan kalimat/jumlah sebaiknya seorang guru memberikan hafalan teks/bacaan yang mengandung kalimat sederhana dan susunannya benar.

Oleh karena itu, sebaiknya seorang guru bahasa Arab dapat memilih kalimat yang isinya mudah dimengerti oleh peserta didik dan mengandung kalimat inti saja, bukan kalimat yang panjang (jika kalimatnya panjang hendaknya di penggal – penggal). Contoh: اشتريت سيارة صغيرة بيضاء مستعملة مصنوعة في اليا بان Kemudian dipenggal – penggal menjadi : اشتريت سيارة اشتريت سيارة صغيرة اشتريت سيارة صغيرة بيضاء Dan seterusnya..

2.Prinsip korektisitas (الدقة) Prinsip ini diterapkan ketika sedang mengajarkan materi الأصوات (fonetik), التراكب (sintaksis), dan المعانى (semiotic). Maksud dari prinsip ini adalah seorang guru bahasa Arab hendaknya jangan hanya bisa menyalahkan pada peserta didik, tetapi ia juga harus mampu melakukan pembetulan dan membiasakan pada peserta didik untuk kritis pada hal-hal berikut: Pertama, korektisitas dalam pengajaran (fonetik). Kedua, korektisitas dalam pengajaran (sintaksis). Ketiga, korektisitas dalam pengajaran (semiotic). a.Korektisitas dalam pengajaran fonetik Pengajaran aspek keterampilan ini melalui latihan pendengaran dan ucapan. Jika peserta didik masih sering melafalkan bahasa ibu, maka guru harus menekankan latihan melafalkan dan menyimak bunyi huruf Arab yang sebenarnya secara terus-menerus dan fokus pada kesalahan peserta didik5. b.Korektisitas dalam pengajaran sintaksis Perlu diketahui bahwa struktur kalimat dalam bahasa satu dengan yang lainnya pada umumnya terdapat banyak perbedaan. Korektisitas ditekankan pada pengaruh struktur bahasa ibu terhadap Bahasa Arab. Misalnya, dalam bahasa Indonesia kalimat akan selalu diawali dengan kata benda (subyek), tetapi dalam bahasa Arab kalimat bisa diawali dengan kata kerja ( فعل ). c.Korektisitas dalam pengajaran semiotik Dalam bahasa Indonesia pada umumnya setiap kata dasar mempunyai satu makna ketika sudah dimasukan dalam satu kalimat. Tetapi, dalam bahasa Arab, hampir semua kata mempunyai arti lebih dari satu, yang lebih dikenal dengan istilah mustarak (satu kata banyak arti) dan mutaradif (berbeda kata sama arti). Oleh karena itu, guru bahasa Arab harus menaruh perhatian yang besar terhadap masalah tersebut. Ia harus mampu memberikan solusi yang tepat dalam mengajarkan makna dari sebuah ungkapan karena kejelasan petunjuk.

3.Prinsip Berjenjang ( التدرج) Jika dilihat dari sifatnya, ada 3 kategori prinsip berjenjang, yaitu: pertama, pergeseran dari yang konkrit ke yang abstrak, dari yang global ke yang detail, dari yang sudah diketahui ke yang belum diketahui. Kedua, ada kesinambungan antara apa yang telah diberikan sebelumnya dengan apa yang akan ia ajarkan selanjutnya. Ketiga, ada peningkatan bobot pengajaran terdahulu dengan yang selanjutnya, baik jumlah jam maupun materinya.

a.Jenjang Pengajaran mufrodat Pengajaran kosa kata hendaknya mempertimbangkan dari aspek penggunaannya bagi peserta didik, yaitu diawali dengan memberikan materi kosa kata yang banyak digunakan dalam keseharian dan berupa kata dasar. Selanjutnya memberikan materi kata sambung. Hal ini dilakukan agar peserta didik dapat menyusun kalimat sempurna sehingga terus bertambah dan berkembang kemampuannya.

b.Jenjang Pengajaran Qowaid (Morfem) Dalam pengajaran Qowaid, baik Qowaid Nahwu maupun Qowaid Sharaf juga harus mempertimbangkan kegunaannya dalam percakapan/keseharian. Dalam pengajaran Qawaid Nahwu misalnya, harus diawali dengan materi tentang kalimat sempurna (Jumlah Mufiidah), namun rincian materi penyajian harus dengan cara mengajarkan tentang isim, fi’il, dan huruf.

c.Tahapan pengajaran makna ( دلالة المعانى) Dalam mengajarkan makna kalimat atau kata-kata, seorang guru bahasa Arab hendaknya memulainya dengan memilih kata-kata/kalimat yang paling banyak digunakan/ditemui dalam keseharian meraka. Selanjutnya makna kalimat lugas sebelum makna kalimat yang mengandung arti idiomatic. Dilihat dari teknik materi pengajaran bahasa Arab, tahapan-tahapannya dapat dibedakan sebagai berikut: pertama, pelatihan melalui pendengaran sebelum melalui penglihatan. Kedua, pelatihan lisan/pelafalan sebelum membaca. Ketiga, penugasan kolektif sebelum individu. Langkah-langkah aplikasi ( الصلابة والمتا نة) Ada delapan langkah yang diperlukan agar teknik diatas berhasil dan dapat terlaksana, yaitu:

1.Memberikan contoh-contoh sebelum memberikan kaidah gramatika, karena contoh yang baik akan menjelaskan gramatika secara mendalam daripada gramatika saja.

2.Jangan memberikan contoh hanya satu kalimat saja, tetapi harus terdiri dari beberapa contoh dengan perbedaan dan persamaan teks untuk dijadikan analisa perbandingan bagi peserta didik.

3.Mulailah contoh-contoh dengan sesuatu yang ada di dalam ruangan kelas/media yang telah ada dan memungkinkan menggunakannya.

4.Mulailah contoh-contoh tersebut dengan menggunakan kata kerja yang bisa secara langsung dengan menggunakan gerakan anggota tubuh.

5.Ketika mengajarkan kata sifat hendaknya menyebutkan kata-kata yang paling banyak digunakan dan lengkap dengan pasangannya. Misalnya hitam-putih, bundar-persegi.

6.Ketika mengajarkan huruf jar dan maknanya, sebaiknya dipilih huruf jar yang paling banyak digunakan dan dimasukkan langsung ke dalam kalimat yang paling sederhana. Contoh Jumlah ismiyyah: الكتاب في الصندوق, Contoh jumlah fi’iliyah : خرج الطاب من الفصل

7.Hendaknya tidak memberikan contoh-contoh yang membuat peserta didik harus meraba-raba karena tidak sesuai dengan kondisi pikiran mereka.

8.Peserta didik diberikan motivasi yang cukup untuk berekspresi melalui tulisan, lisan bahkan mungkin ekspresi wajah, agar meraka merasa terlibat langsung dengan proses pengajaran yang berlangsung.

C.Metode Pengajaran Bahasa Arab
Ibnu khaldun berkata, “Sesungguhnya pengajaran itu merupakan profesi yang membutuhkan pengetahuan, keterampilan, dan kecermatan karena ia sama halnya dengan pelatihan kecakapan yang memerlukan kiat, strategi dan ketelatenan, sehingga menjadi cakap dan professional.” Penerapan metode pengajaran tidak akan berjalan dengan efektif dan efisien sebagai media pengantar materi pengajaran bila penerapannya tanpa didasari dengan pengetahuan yang memadai tentang metode itu. Sehingga metode bisa saja akan menjadi penghambat jalannya proses pengajaran, bukan komponen yang menunjang pencapaian tujuan, jika tidak tepat aplikasinya. Oleh karena itu, penting sekali untuk memahami dengan baik dan benar tentang karakteristik suatu metode. Secara sederhana, metode pengajaran bahasa Arab dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu: pertama, metode tradisional/klasikal dan kedua, metode modern. Metode pengajaran bahasa Arab tradisional adalah metode pengajaran bahasa Arab yang terfokus pada “bahasa sebagai budaya ilmu” sehingga belajar bahasa Arab berarti belajar secara mendalam tentang seluk-beluk ilmu bahasa Arab, baik aspek gramatika/sintaksis (Qowaid nahwu), morfem/morfologi (Qowaid as-sharf) ataupun sastra (adab). Metode yang berkembang dan masyhur digunakan untuk tujuan tersebut adalah Metode qowaid dan tarjamah. Metode tersebut mampu bertahan beberapa abad, bahkan sampai sekarang pesantren-pesantren di Indonesia, khususnya pesantren salafiah masih menerapkan metode tersebut. Hal ini didasarkan pada hal-hal sebagai berikut: Pertama, tujuan pengajaran bahasa arab tampaknya pada aspek budaya/ilmu, terutama nahwu dan ilmu sharaf. Kedua kemampuan ilmu nahwu dianggap sebagai syarat mutlak sebagai alat untuk memahami teks/kata bahasa Arab klasik yang tidak memakai harakat, dan tanda baca lainnya. Ketiga, bidang tersebut merupakan tradisi turun temurun, sehingga kemampuan di bidang itu memberikan “rasa percaya diri (gengsi) tersendiri di kalangan mereka”. Metode pengajaran bahasa Arab modern adalah metode pengajaran yang berorientasi pada tujuan bahasa sebagai alat. Artinya, bahasa Arab dipandang sebagai alat komunikasi dalam kehidupan modern, sehingga inti belajar bahasa Arab adalah kemampuan untuk menggunakan bahasa tersebut secara aktif dan mampu memahami ucapan/ungkapan dalam bahasa Arab. Metode yang lazim digunakan dalam pengajarannya adalah metode langsung (tariiqah al – mubasysyarah). Munculnya metode ini didasari pada asumsi bahwa bahasa adalah sesuatu yang hidup, oleh karena itu harus dikomunikasikan dan dilatih terus sebagaimana anak kecil belajar bahasa. Penjelasan:

1.Metode Qowa’id dan tarjamah (Tariiqatul al Qowaid Wa Tarjamah)
Penerapan metode ini lebih cocok jika tujuan pengajaran bahasa Arab adalah sebagai kebudayaan, yaitu untuk mengetahui nilai sastra yang tinggi dan untuk memiliki kemampuan kognitif yang terlatih dalam menghafal teks-teks serta memahami apa yang terkandung di dalam tulisan-tulisan atau buku-buku teks, terutama buku Arab klasik11. Ciri metode ini adalah:

a.Peserta didik diajarkan membaca secara detail dan mendalam tentang teks-teks atau naskah pemikiran yang ditulis oleh para tokoh dan pakar dalam berbagai bidang ilmu pada masa lalu baik berupa sya’ir, naskah (prosa), kata mutiara (alhikam), maupun kiasan-kiasan (amtsal).

b.Penghayatan yang mendalam dan rinci terhadap bacaan sehingga peserta didik memiliki perasaan koneksitas terhadap nilai sastra yang terkandung di dalam bacaan. (bahasa Arab – bahasa ibu).

c.Menitikberatkan perhatian pada kaidah gramatika (Qowa’id Nahwu/Sharaf) untuk menghafal dan memahami isi bacaan.

d.Memberikan perhatian besar terhadap kata-kata kunci dalam menerjemah, seperti bentuk kata kiasan, sinonim, dan meminta peserta didik menganalisis dengan kaidah gramatikal yang sudah diajarkannya (mampu menerjemah bahasa ibu ke dalam Bahasa Arab)

e.Peserta tidak diajarkan menulis karangan dengan gaya bahasa yang serupa / mirip, dengan gaya bahasa yang dipakai para pakar seperti pada bacaan yang telah dipelajarinya, terutama mengenai penggunaan model gaya bahasa, al – itnab at Tasbi’ al Istiarah yang merupakan tren / gaya bahasa masa klasik. Aplikasi Metode Qowa’id dan tarjamah dalam proses pembelajaran;

a.Guru mulai mendengarkan sederetan kalimat yang panjang yang telah dibebankan kepada peserta didik untuk menghafalkan pada kesempatan sebelumnya dan telah dijelaskan juga tentang makna dari kalimat-kalimat itu.

b.Guru memberikan kosa kata baru dan menjelaskan maknanya ke dalam bahasa local/bahasa ibu sebagai persiapan materi pengajaran baru.

c.Selanjutnya guru meminta salah satu peserta didik untuk membaca buku bacaan dengan suara yang kuat (Qiroah jahriah) terutama menyangkut hal-hal yang biasanya peserta didik mengalami kesalahan dan kesulitan dan tugas guru kemudian adalah membenarkan.

d.Kegiatan membaca teks ini diteruskan hingga sekuruh peserta didik mendapat giliran. e.Setelah itu siswa yang dianggap paling bisa untuk menterjemahkan, kemudian selanjutnya diarahkan pada pemahaman struktur gramatikanya12.

2.Metode langsung (al Thariiqatu al Mubaasyarah)
Penekanan pada metode ini adalah pada latihan percakapan terus-menerus antara guru dan peserta didik dengan menggunakan bahasa Arab tanpa sedikitpun menggunakan bahasa ibu, baik dalam menjelaskan makna kosa kata maupun menerjemah, (dalam hal ini dibutuhkan sebuah media). Perlu menjadi bahan revisi disini adalah bahwa dalam metode langsung, bahasa Arab menjadi bahasa pengantar dalam pengajaran dengan menekankan pada aspek penuturan yang benar ( al – Nutqu al – Shahiih), oleh karena itu dalam aplikasinya, metode ini memerlukan hal-hal berikut;

a.Materi pengajaran pada tahap awal berupa latihan oral (syafawiyah)

b.Materi dilanjutkan dengan latihan menuturkan kata-kata sederhana, baik kata benda ( isim) atau kata kerja ( fi’il) yang sering didengar oleh peserta didik.

c.Materi dilanjutkan dengan latihan penuturan kalimat sederhana dengan menggunakan kalimat yang merupakan aktifitas peserta didik sehari-hari.

d.Peserta didik diberikan kesempatan untuk berlatih dengan cara Tanya jawab dengan guru/sesamanya.

e.Materi Qiro’ah harus disertai diskusi dengan bahasa Arab, baik dalam menjelaskan makna yang terkandung di dalam bahan bacaan ataupun jabatan setiap kata dalam kalimat.

f.Materi gramatika diajarkan di sela-sela pengajaran,namun tidak secara mendetail.

g.Materi menulis diajarkan dengan latihan menulis kalimat sederhana yang telah dikenal/diajarkan pada peserta didik.

h.Selama proses pengajaran hendaknya dibantu dengan alat peraga/media yang memadai. Penutup Sebagai penutup, bahwa alur makalah ini lebih menekankan tentang pentingnya: Seorang guru (pendidik) sebaiknya memahami prinsip – prinsip dasar pengajaran bahasa Arab diatas sebagai bahasa asing dengan menggunakan metode yang memudahkan peserta didik dan tidak banyak memaksakan peserta didik ke arah kemandegan berbahasa. Adapun bagi bagi seorang siswa, bahwasanya belajar bahasa apapun, semuanya membutuhkan proses, banyak latihan dan banyak mencoba.
Penulis: Yayat Hidayat

Daftar Pustaka

1.Abdurrahman al – Qadir Ahmad, Thuruqu Ta’alim al – Lughah al – ‘Arabiyah, Maktabah al – Nahdah, al – Mishriyah, Kaira ; 1979.
2.Ahmad al – Sya’alabi, Tarikh al – Tarbiyah al – Islamiyah, Cet. 11, Kaira: tnp., 1961.
3.Ahmad Syalaby, Ta’lim al – Lughah al ‘Arabiyah lighairi al – ‘Arab, Maktabah al – Nahdhah al – Mishriyah, Kairo ; 1983.
4.Anis Farihah, Nazhriyaat Hal Lughah, dar al – Kitab al – Ubnany, Beirut, dar al – Kitab al – Ubnany, 1973.
5.Ibrahim Muhammad ‘Atha, Thuruqu Tadris al – Lughah al – ‘Arabiyah Wa al – Tarbiyah al – Diniyah, Maktabah al – Nahdhah al – Mishriyah, Kairo 1996 M / 1416 H.
6.Jassem Ali Jassem, Thuruqu Ta’lim al – Lughah al – ‘arabiyah Li al – Ajanib, (Kuala Lumpur : A.S Noorden, 1996).
7.Kamal Ibrahim Badri dan Mahmud Nuruddin, Nadzkarah Asas al – Ta’lim al – Lughah al – ajnubiyah, LIPIA, Jakarta, 1406 H
8.Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (perspektif sosiologi-filosofis). P.T Tiara Wacana, Yogyakarta: 2002.
9.Munir, Nizhamu Ta’lim al – Lughah al – ‘Arabiyah fi al – Ma’had al – Islamiyah, Darul Huda, Skripsi, 1996.
10.Munir M.Ag., Pengajaran Bahasa Arab Sebagai Bahasa Asing, yang terkumpul dalam buku yang berjudul Rekonstruksi dan Modernisasi Lembaga Pendidikan Islam. Global Pustaka Utama, Yogyakarta: 2005.
11.Munir, M.Ag., dkk, Rekonstruksi dan Modernisasi Pendidikan Islam, Global Pustaka Utama, Yogyakarta, 2005,

AL-ZAMAKHSYARÎY DAN METODE TAFSÎRNYA



A.   Biografi Al-Zamakhsyarîy
1.      Lahir Tumbuh Kembang dan Wafat
Nama lengkap al-Zamakhsyarîy adalah Abû al-Qâsim Jârullah Mahmud ibn ‘Umar ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Umar al-Khuwarizmi al-Zamakhsyarîy.[1] Ia lahir di tengah-tengah lingkungan sosial yang penuh dengan semangat kemakmuran dan keilmuan pada hari RAbû tanggal 27 Rajab 467 H. bertepatan dengan tahun 1074 M. di Zamakhsyar, suatu desa yang terdapat dalam wilayah Khuwârizm[2], sebelah utara Persia.[3]
            Lingkungan keluarga yang berilmu dan taat beribadah. Ayahnya adalah seorang miskin dan tidak memiliki banyak harta, tetapi ia adalah seorang ‘âlim, yang memiliki sifat wara’ dan zuhud.. Nama ibu dan silsilahnya tidak disebutkan oleh al-Zamakhsyarîy. Walaupun demikian, al-Zamakhsyarîy menggambarkan bahwa ibunya seorang yang memiliki watak dan pribadi yang halus. Hal ini ditunjukkan ibunya ketika al-Zamakhsyarîy masih berusia kanak-kanak. Suatu ketika, al-Zamakhsyarîy menangkap seekor burung, kemudian diikatkannya dengan sehelai benang. Tiba-tiba burung itu terlepas dari tangannya dan didapatinya kembali burung itu ketika masuk ke dalam lubang. Ia lalu menariknya keluar dan karena itulah kaki burung itu sampai terpotong. Melihat keadaan demikian, ibunya merasa sangat kasihan terhadap burung itu dan ia pun sampai mengatakan kepada al-Zamakhsyarîy: “Nanti Allah memotong kakimu sebagaimana engkau telah memotong kaki burung itu”.[4]
            Di masa hidupnya, al-Zamakhsyarîy memilih hidup membujang dan  menjauhi wanita. Pilihan membujangnya ini tidak dikomentarinya lebih jauh. Akan tetapi, banyak komentar bermunculan dari para ilmuwan. Komentar tersebut berdasarkan pada pemahaman  terhadap syair yang diciptakannya.
Jika dipahami dari bait syairnya, kata ‘Abd al-Majid Dayyâb, pen-tahqiq kitabnya Rabi’ al-Abrâr, dapat dikatakan bahwa ia hidup membujang disebabkan karena menurutnya, orang yang paling bahagia adalah orang yang tidak mempunyai anak dan tidak mendirikan rumah. Ini dipahami dari syair yang diucapkannya sendiri :
         واسعد الناس ناس قـط ما ولـدوا # ولا غـدوالخـراب الأرض عـمارا
فلم يذوقـوا بأولاد إذا انـقرضوا # ثـكلا ولا راعـهم بـيت إذا انـهـارا[5]
Orang yang paling bahagia adalah orang yang tidak beranak;
dan orang yang tidak mempunyai rumah;
Sehingga mereka tidak akan meratapi anak-anaknya jika mereka mati; dan mereka juga tidak akan terkejut, jika rumah mereka roboh.
            Akan tetapi pernyataannya tesrsebut, menurut ‘Abd al-Majîd Dayyâb dan Syekh Kâmil Muhammad, hanya merupakan basa-basi. Sebenarnya banyak hal yang tidak terungkap yang menyebabkan dia hidup dalam keadaan demikian. Di antara penyebabnya adalah kefakirannya dan ketidakstabilan hidupnya karena keadaan materi yang dimilikinya dan penyakit jasmani yang dideritanya. Cacat kakinya merupakan salah satu sebab yang menjadikan ia merasa lemah dan tidak sanggup untuk menanggung perkawinan dan tanggung jawab keluarga. Ini juga mungkin merupakan penyebab menjauhnya para wanita dari diri al-Zamakhsyarîy. Mungkin juga menjadi penyebabnya adalah karena kesibukannya menuntut ilmu dan kecintaannya terhadap ilmu dan karya-karya yang ditulisnya menyebabkan ia menjauh dari persoalan perkawinan.[6] Akhirnya Al-Zamakhsyarîy meninggal dunia di malam ‘Arafah pada tahun 538 H. di Jurjâniah, Khuwarizm setelah kembali dari Mekkah.[7]
2.      Pendidikan dan Karir
Meskipun bukan dari golongan bangsa arab, Kecintaannya kepada bangsa Arab dan bahasa Arab serta ilmu pengetahuan sudah tertanam sejak kecil dalam diri al-Zamakhsyarîy.[8] Bahkan ketika usianya remaja ia sudah mempunyai cita-cita dan keinginan untuk menempati kedudukan yang dapat menunjang ilmu dan kepintarannya. Ia ingin memperoleh harta yang memadai bagi kehidupannya.[9] Hal ini didukung oleh kondisi lingkungan yang mengitari hidup dan kehidupan al-Zamakhsyarîy . Untuk itu ia lalu mengadakan berbagai usaha untuk memenuhi cita-citanya. Di negerinya ia telah mengadakan hubungan dengan para pembesar kerajaan pada masa pemerintahan Sultan ‘Abd al-Fattâh Malik syâh, yang bergelar Sultan Jalâl al-Dunyâ wa al-Dîn. Ia memuji dan menyanjung para pembesar kerajaan di negerinya. Dan hal ini menyebabkannya mendapatkan pemberian dari mereka. Akan tetapi apa yang diperolehnya itu belum memuaskan dirinya, karena ia tidak hanya ingin mendapat pemberian yang berupa harta, tetapi ia juga ingin mendapatkan pangkat dan kedudukan. Keinginannya yang terakhir ini tidak dapat dicapai di negerinya sendiri. Oleh sebab itu, ia melakukan perjalanan  ke berbagai negeri untuk memenuhi cita-citanya itu. Pertama-tama ia pergi ke Khurasân. Di negeri ini ia memuji dan menyanjung banyak pembesar kerajaan, seperti Mujir al-Daulah Abû al-Fath, ‘Ali ibn al-Husain al-Ardistâni dan Mu’ayyad al-Mâlik ‘Ubaidillah ibn Nizâm al-Mulk. Karena apa yang dilakukannya terhadap para pembesar yang disanjungnya belum memberikan apa yang diinginkannya, maka ia lalu meninggalkan Khurasan menuju Isfahan (salah satu kota di wilayah Iran sekarang), tempat istana kerajaan Saljuk Muhammad ibn ‘Abû al-Fath Malik syâh (w. 511 H.).[10]
            Pada tahun 512 H. al-Zamakhsyarîy mengalami menderita sakit keras[11] sehingga menyebabkannya lupa terhadap segala yang diangan-angankannya selama ini. Ia menyadari bahwa penyakit yang dideritanya itu merupakan ujian berat bagi dirnya yang telah berusaha keras untuk selalu mendapatkan harta dan pangkat sebagai cita-citanya. Akhirnya ia berjanji, jika suatu hari sembuh, ia tidak akan lagi mendekati sultan atau menyanjungnya demi meraih suatu pangkat dan jabatan. Maka setelah sembuh, ia melanjutkan perjalanan ke Baghdad.[12] Di tempat itulah ia tidak lagi berhubungan dengan para penguasa demi menginginkan harta dan pangkat sebagaimana sebelumnya, tetapi ia mendatangi para ulama dan para cendekiawan untuk mendapat ilmu pengetahuan dari mereka. Di sini ia mempelajari hadis dari berbagai ulama terkenal, seperti Abû al-Khattâb, ibn al-Barr, Abû Sa’ad al-Syifâni dan Syaikh al-Islâm Abû Mansûr al-Hâritsî.[13] Di sini ia pun mempelajari fikih dari berbagai ulama diantaranya adalah al-Damigânî dan al-Syarîf ibn al-Syajarî.[14]
            Disamping itu, Al-Zamakhsyarîy juga menyadari bahwa harta dan pangkat yang telah dicita-citakannya dan yang pernah diraihnya selama ini merupakan perbuatan dosa. Oleh karena itu, Ia bertekad untuk menghapus dosa-dosanya itu dengan jalan bertaubat  di tempat yang lebih mustajab. akhirnya ia berangkat menuju Baitullâh di Makkah al-Mukarramah. Di dalam perjalanannya menuju Mekkah diungkapkan dalam potongan bait-bait syairnya seperti yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya dari Musthafâ al-Shâwi al-Juwainî, diantaranya ; [15]
والله أكـبر رحـمة والله أكـبر نـعـمة  وهـو الـكـريـم الـقـادر
وأحـق مـا يـشـكـو ابن آدم ذنبـه وأحـق مـا يشـكـو إلـيـه الغـافـر
فعسى المـلـيـك بـفـضـله  وبـطوله يـكسو لبـاس البـر مـن هـو فـاجـر
يـا مـن يـسـافر فى البلاد مـنقـبا أنـى الى البلد الحـرام  مـسـافـر
إن هـاجـر الإنـسـان عـن أ وطـانـه فالله أولى مـن إلـيـه يـهـاجـر
وتـجـارة الأبـرار تلك ومـن يـبـيع بالـدين دنـيـاه  فـنـعـم الـتـاجـر
Allah adalah yang paling besar rahmat-Nya dan yang paling banyak nikmat-Nya, ia Maha Mulia dan Maha Kuasa; orang yang paling berhak mengadukan dosanya adalah manusia, dan yang paling berhak mengadu kepada-Nya adalah orang yang meminta ampun. Mudah-mudahan Allah Yang Maha Kuasa, dengan keutamaan nikmat dan Kekuasaan-Nya memakaikan orang yang berbuat jahat dengan pakaian kebajikan; Wahai orang yang sedang bepergian dan mengembara, sesungguhnya aku pergi menuju tanah haram. Jika manusia pergi meninggalkan negerinya, maka Allah selalu bersama orang yang berhijrah kepadanya. Dan itulah perdaganngan orang-orang yang brbuat kebajikan, dan orang yang membeli dunia dengan agamanya, mereka itulah padagang yang paling baik.

            Setelah sampai di Makkah, al-Zamakhsyarîy mulai berkenalan dengan para ulama terkenal sekaligus menimba ilmu dari mereka. Orang pertama yang ditemuinya di sana, sekaligus menjadi tetangganya adalah al-‘Amir al-‘Alawi ‘Ali ibn ‘Isa ibn Hamzah ibn Wahhâs.[16] Kemudian selama dua tahun Ia berguru kepada Abdullah bin Thalhah al-Yâbirî (w. 518 H.) untuk mempelajari dan memperdalam kitâb Sîbawaih.[17]
            Selama tinggal di tanah haram itu, Ia mengalami rasa rindu yang sangat dalam terhadap kampung halamannya, sehingga ia meninggalkan Makkah menuju Khuwârizm. Ketika berada di Khuwârizm, ia tinggal di sebuah rumah khusus yang didirikan oleh Muhammad ibn Anusytakin yang bergelar Khuwârizmisyâh (w. 521 H.).[18]  Setelah Muhammad Khuwârizmisyâh meninggal, al-Zamakhsyarîy tinggal bersama Atsaz (w. 551 H.) yaitu anak Muhammad Khuwarizmsyâh dan atas perintahnya, al-Zamakhsyarîy mulai menyusun satu naskah buku yang terkenal dengan nama Muqaddimah al-Adâb (Pengantar Kesusasteraan).[19]  
            Namur, perlakuan dari Atsaz yang begitu baik itu, tidak dapat membuat hati al-Zamakhsyarîy betah untuk tetap tinggal di negeri kelahirannya. Akhirnya Ia pergi untuk kedua kalinya ke kota Mekkah. Dalam perjalanan menuju ke Mekkah Ia sempat singgah di Syam (Syiria) dan memuji Tâj al-Mulk (w. 526 H.), seorang wali kota Damsyiq dan Syams al-Mulk, anak Tâj al-Mulk.[20]  Pada tahun itu juga Ia meneruskan perjalanannya menuju Makkah. Di  sanalah, selama tiga tahun Ia menyusun kitab tafsîrnya al-Kasysyâf (Pembuka Tabir). Dan selama di Mekkah, Ia bertemu dengan ibn Wahhâs yang menjadi orang yang selalu memberikan bantuan dan pertolongan kepadanya. Ibn Wahhâs juga mendukung pandangan Mu’tazilah yang dianut oleh al-Zamakhsyarîy. Setelah beberapa waktu kemudian, al-Zamakhsyarîy kembali ke kampung halamannya. Dan dalam perjalanan pulangnya ini Ia sempat singgah di kota Baghdad pada tahun 533 H. Di kota inilah  Ia banyak membaca buku-buku tentang bahasa, terutama pada Abû Mansûr al-Jawâlîqî.[21]
            Dari hasil bacaannya dalam berbagai bidang ilmu, seperti tafsir, bahasa, maupun fikih menyebabkannya kelak menjadi seorang ulama yang diakui oleh ulama-ulama yang semasa dengannya ataupun ulama sesudahnya. Seperti yang dikatakan oleh Abû al-Yaman Zubaid ibn al-Hasan al-Kindî (w. 613 H.) bahwa pada zamannya, al-Zamakhsyarîy adalah seorang non Arab yang paling tinggi pengetahuannya tentang bahasa Arab dan yang paling banyak melakukan penelaahan atas kitab-kitab Arab dan hampir tidak diketemukan lagi di masa sesudahnya seorang ulama non Arab yang pengetahuan tentang bahasa Arabnya yang sangat mendalam seperti al-Zamakhsyarîy.[22]
            Sebagai pencinta ilmu pengetahuan, Ia selalu mencari dan menuntut ilmu dari bebagai ulama termasuk ayahnya sendiri. Selain berguru secara langsung kepada para ulama yang hidup semasa dengannya, Ia juga mencari ilmu dengan cara menelaah berbagai buku-buku karya para ulama sebelumnya. Ia telah berguru dan menimba ilmu dari berbagai syekh, di antaranya Abû Mudâr Mahmûd ibn Jarîr al-Dabî al-Ashfahânî (w. 507 H.),[23] Abû Bakar Abdullah ibn Talhah al-Yabîrî al-Andalûsî (w. 518 H.),[24] Abû Mansûr Nasr al-Hâritsî, Abû Sa’îd al-Saqânî, Abû al-Khaththâb ibn Abû al-Bathr,[25] Abû ‘Alî al-Hasan al-Muzfir an-Naisâbûrî al-Dharîr al-Lugawî (w. 473 H.)[26], Qâdhî al-Qudhâh Abî Abdullâh Muhammad ibn ‘Alî al-Dâmigânî (w. 478 H.)[27] dan al-Syarîf ibn al-Syajarî (w. 542 H.). [28]
            Al-Zamakhsyarîy dengan ilmu yang telah ditimbanya dari berbagai gurunya, mengembangkannya lagi kepada para muridnya yang cukup banyak jumlahnya. Pada saat itu, syekh yang menjadi guru tempat ia menimba ilmu, terkadang menjadi murid pula baginya. Pada saat itulah terjadi saling menerima dan memberikan ilmu. Hal ini terjadi antara al-Zamakhsyarîy dan beberapa ulama. Misalnya Dari al-Sayyid Abû al-Hasan ‘Alî ibn Îsâ ibn Hamzah al-Hasanî, salah seorang tokoh terkemuka dan terpandang di Makkah, al-Zamakhsyarîy menimba suatu ilmu tertentu dan sebaliknya syekh ini menerima ilmu lain dari al-Zamakhsyarîy.[29]
Di antara murid-muridnya yang lain[30] ialah Abû al-Mahâsin ‘Abd al-Rahîm ibn Abdullâh al-Bazzâz di Abyurad, Abû Umar ‘Âmir ibn al-Hasan al-Sahhâr di Zamakhsyar, Abû Sa’îd Ahmad ibn Mahmûd al-Syâdzilî di Samarkand, Abû Thâhîr Sâmân ibn ‘Abd al-Mâlik al-Faqîh di Khuwârizm, Muhammad ibn Abû al-Qâsim yang belajar ilmu fikih, ilmu i’rab dan mendengarkan hadis dari al-Zamakhsyarîy, Abû al-Hasan Alî ibn Muhammad ibn Alî ibn Ahmad ibn Hârun al-Umrânî al-Khuwârizmî yang pada akhirnya menjadi ulama besar yang melahirkan karya-karya besar dan lain sebagainya.[31]
Keluarga al-Zamakhsyarîy adalah keluarga yang cinta kepada ilmu pengetahuan. Pengaruh keluarganya itu membawa pengaruh yang besar pula pada diri al-Zamakhsyarîy untuk selalu menuntut  dan mencari ilmu. Disamping itu juga pengaruh tersebut telah tertanam dalam dirinya untuk selalu mengembara dari satu kota ke kota yang lain guna mencari ilmu, ia berpindah dari satu syekh ke syekh yang lain untuk tujuan berguru dan menimba ilmu dari mereka.[32]
            Selama di kampungnya, al-Zamakhsyarîy sudah mulai mempelajari bidang ilmu pengetahuan keagamaan dan berguru kepada para ulama terkenal yang ada di sana. Di antara gurunya adalah Abû Mudhar Mahmûd ibn Jarîr al-Dabî al-Isfahânî (w. 507 H.), seorang ulama bahasa, nahwu dan sastera.[33] Setelah berguru kepadanya, al-Zamakhsyarîy kemudian pergi merantau ke Bukhâra untuk menuntut dan mencari ilmu kepada para ulama yang ada di salah satu kota yang ada di Uzbekistan Semarang. Bukhâra pada waktu itu masih merupakan wilayah yang dikuasai oleh dinasti Samaniyah dan merupakan salah satu kota yang memiliki banyak ulama besar dan kenamaan. Di sanalah Ia mempelajari hadis dari berbagai ulama, seperti Abû Mansûr Nasr al-Hâritsî, Abû Sa’ad al-Tsaqafî dan Abû al-Khattâb ibn Abû al-Bathr. Ia mempelajari sastera dari Abû Ali al-Hasan ibn al-Muzfir al-Naisabûrî.[34]
            Ketika di Baghdad pada tahun 533 H. Ia mempelajari ilmu fikih. Di sini ia belajar pada seorang ahli fikih yang bermazhab Hanafi, yaitu al-Damigânî (w. 498 H.)[35] dan al-Syarîf ibn al-Syajarî (w. 542 H.)[36]. Ia juga mempelajari berbagai kitab bahasa pada seorang ulama Baghdad yang bernama Abû Mansûr al-Jawâliqî (446-539 H.).[37]
            Al-Zamakhsyarîy mempelajari dan menelaah kitâb Sîbawaih ketika berada di Mekah pada seorang ulama bahasa yang bernama Abdullah  ibn Talhah al-Yâbirî (w. 518 H.). [38]
            Kegiatan-kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh al-Zamakhsyarîy tidak terfokus hanya pada penimbaan ilmu pengetahuan yang sebanyak-banyak dari para ulama yang hidup pada masanya, dan pengembaraannya ke daerah-daerah hanya untuk mencari ilmu, tetapi juga berusaha untuk mengajarkan ilmu yang dimiliki pada orang-orang yang membutuhkannya. Tidak mengherankan, kalau al-Zamakhsyarîy didatangi oleh sejumlah orang yang ingin mempelajari ilmu darinya. Sebagai seorang ulama, al-Zamakhsyarîy selalu didatangi oleh para penuntut ilmu ketika berada di berbagai kota dan tempat dalam melakukan perjalanannya. Ahmad Muhammad al-Hûfî menyebutkan bahwa murid-murid al-Zamakhsyarîy cukup banyak jumlahnya. [39]
            Murid-murid yang pernah berguru kepada al-Zamakhsyarîy yang pada akhirnya menjadi ulama yang terkenal dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Di antaranya Abû al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad al-Amaranî al-Khuwârizmîy (w. 566 H.), yang kemudian terkenal sebagai seorang sasterawan dengan julukan “Hujjat al-Afâdil wa al-Fakhr al-Masyâyikh”. Abû al-Hasan berguru pada al-Zamakhsyarîy tentang kesusasteraan Arab. Muridnya itu kemudian menjadi sahabat yang paling besar peranannya dalam mengembangkan sastera Arab.[40]
Muhammad al-Hûfî dalam bukunya al-Zamakhsyarî,  yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya, menyebutkan bahwa murid-murid al-Zamakhsyarîy cukup banyak jumlahnya. Diantara mereka ialah Abû ‘Amar ‘Âmir ibn al-Hasan al-Sayyâr, seorang murid berasal dari Zamakhsyar, kota kelahiran al-Zamakhsyarîy, dari Thibristan seorang murid bernama Abû al-Mahâsin Ismâ’îl ibn ‘Abd Allâh al-Thawilî ; dari Abyorid seorang murid bernama Abû al-Mahâsin ‘Abd al- Rahîm ibn ‘Abd Allâh al-Bazzâr; dari Samarqand seorang murid bernama Abû Thâhir Sâmân ibnu al-Mâlik yang kemudian menjadi ahli fikih, dan seorang murid bernama al-Muwaffiq ibn Ahmad ibn Abî Sa’îd, yang kemudian menjadi ulama besar dalam ilimu bahasa Arab, fikih, sastra dan terkenal juga sebagai penyair. [41]
Diantara murid yang terkenal pula adalah Muhammad ibn Abî al-Qâsim yang juga terkenal dengan nama  Abû al-Fadhl al-Yaqalî al-Khuwarizmî al-Adamî yang berjulukna “Za’im al-Masyîyîkh” ( pemimpin diatar para guru ) ( w. 562 H.). Ia menjadi seorang ahli nahwu dan satrawan terkenal. Ia dipandang sebagai tokoh satra Arab dan bahsa Arab. Ia tidak hanya mempelajari bahasa, ilmu pengetahuan mengenai i’râb, dan hadits dari al-Zamakhsyarîy, tetapi juga mempelajarinya dari syaikh yang lain. [42]
Ia menghabiskan sisa umurnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Ia didatangi oleh banyak murid yang datang dari berbagai pelosok negeri. Dengan pengetahuan yang dimiliki, ia telah sanggup menghasilkan beberapa karya tulis, seperti kitab al-Mawâdi’ wa al-Buldân, kitab Tafsir Al-Qurân dan Kitab Isytiqâq al-Asma’.[43]


3.   Karya-Karyanya
Al-Zamakhsyarîy telah mengembangkan dan menyebarkan Ilmunya kepada para murid-muridnya, tidak hanya lewat lisan, tetapi juga lewat buku-buku yang telah ditulisnya. Sepanjang hidupnya ia telah menyusun sejumlah buku dalam berbagai bidang, baik dalam bidang ilmu syari’ah (agama), bahasa maupun sastera. Buku yang telah disusunnya berjumlah lebih dari  lima puluh judul yang hingga sekarang masih banyak dijumpai dan dijadikan referensi dan bahan kajian.[44]
Di antara buku-buku yang ditulis al-Zamakhsyarîy seperti yang dikutip oleh Amin al-Khûli adalah sebagai berikut [45] :
 1.  Dalam bidang ‘aqîdah, seperti Risâlah fî Kalimât al-Syahâdah,[46]. Dalam buku ini ada beberapa pandangan ulama. Muhammad al-Hûfî, yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya misalnya, menyabutkan bahwa buku ini merupakan nama lain dari buku al-Kirâm al-Bararah Khashâish al-‘Asyrah. Sedangkan ‘Abd al-Majîd al-Dayyâb menyatakan bahwa buku berbeda dengan buku  al-Kirâm al-Bararah Khashâish al-‘Asyrah [47]. Karena itu, dalam uraiannya, Ia membedakan antara kedua buku tersebut.[48]  Kitâb al-Kasyf fî  Qirâ’ât al-‘Asyr,[49] I’râb Gharîb Al-Qur’an. [50] Dâlat al-Nâsyid wa al-Râfidl fî ‘Ilm al-Farâid  [51], Ta’lîm al-Mubtadi’ wa Irsyâd al-Muqtadi’ [52]
 2.  Dalam bidang hadis dan ilmu  hadis al-Fâiq fî Gharîb al-Hadîs,[53] Khasâis al-Asyrah al-Kirâm al-Bararah,[54] Mukhtashar al-Muwâfaqât Baina Ahl al-Bait wa al--Shahâbah, Mutasyâbih Asmâ' al-Ruwât.[55]
 3.  Dalam bidang Fiqh dan Usul Fiqh ; Ru'ûs al-Masâ'il fî al-Fiqh, Mu’jam al-Hudûd fî al-Fiqh, al-Mihhâj fî al-Usûl, Syâfî al-‘Iy min kalâm al- Syâfî‘iy, Syaqâiq al-Nu’mân fî Haqâiq al-Nu’mân fî manâqib al-Imâm Abî Hanîfah al-Nu’mân[56].
 4.  Dalam bidang bahasa; Asâs al-Balâghah, [57] al-Asmâ fî al-Lughah [58]A’jâb al-‘ajîb fî Syah Lâmiyyat al-‘Arab[59] Jawâhir al-Lughah, Hâsyiyyat al-Mufassal, al-Durr al-Muntakhab fî Kinâyât wa Isti’ârât wa tasybîhât al-‘Arab[60], Samîm al-‘Arabiyyah.[61]al-Mustasfâ fî Amtsal al-‘Arab[62], Mu’jam al-‘Arabiy al-Fârisiy[63].
 5.  Dalam bidang nahwu; al-Anmûdzaj fî al-Nahwi,[64] Syarh li al-Kitâb Sîbawaîh [65], al-Mufashshal [66], al-Mufrad wa al-Muallaf fî al-Nahw [67], al-muhajât bi al-Masâil al-nahwiyyah aw al-Hâjî al-nahwiyyah[68],  al-Âmâl fî al-Nahwi fî wafayât al-A’yân.[69]
 6.  Dalam bidang Arûdh; al-Qistâs[70] 
 7.  Dalam bidang ilmu geografi; al-Amkinah wa al-Jibâl, wa al-Miyâh.[71]
 8.  Dalam bidang sastera; Atwâq al-Zahâb [72] Muqâmât al-Zamakhsyarî[73], Diwân al-Khuthab [74], Diwân al-Rasâil[75],Diwân al-Tamtsîl [76], Diwân al-Zamakhsyarîy [77], al-Qasidat al-Ba’ûdiyah [78], Qasidah fî Su'al al-Ghazâlî[79] Nawâbigh al-Kalim , Risâlat al-Mas'amah, al-Risâlat al-Nâsihah, Sawâ'ir al-Amtsâl dan Risâlat al-Asrâr. [80]
 9.  Bidang lain; Kitâb al-Ajnâs[81], al-‘Aql al-Kulliy[82], Tasliyyat al-Darar, Nuzhat al-Musta’nis [83],  dan beberapa kitab lainnya.
B.     Metode Tafsîr al-Kasysyâf
1.      Motivasi Menulis Tafsîr
Dalam menguraikan sejarah penulisan Tafsir al-Kasysyâf, penulis akan menguraikan sesuai dengan pemaparan al-Zamakhsyarîy dalam muqaddimahnya, antara lain diuraikan bahwa penulisan ini berawal dari banyaknya ulama dari kalangan Mu’tazilah yang menafsirkan Al-Qur’an dengan cara menggabung-gabungkan antara ilmu-ilmu bahasa dengan prinsip-prinsip pokok agama. Setiap kali mereka datang kepada al-Zamakhsyarîy untuk mendiskusikan ayat yang akan dikaji, maka beliau memberikan penjelasan mengenai hakekat makna kandungan ayat. Ternyata keterangan dan uraian beliau dapat diterima dengan baik oleh para ulama tersebut, bahkan mereka merasa kagum. Akhirnya mereka menginginkan adanya sebuah kitab tafsîr yang berisi penafsiran-penafsiran seperti itu, dan dengan bulat mereka mengusulkan supaya al-Zamakhsyarîy mengungkapkan hakekat kandungan Al-Qur’an dan semua kisah yang terdapat di dalamnya, termasuk segi-segi penakwilannya. Akan tetapi beliau keberatan untuk memenuhi permintaan mereka dengan mengatakan :
 أن املي عليهم الكشف عن حقائق التنزيل وعيون الأقاويل في وجوه التنزيل,
tetapi mereka tetap merasa perlu  dan sangat menginginkan adanya kitab tafsir itu.[84]
            Informasi lain yang penulis temukan bahwa latar belakang penulisan kitab tafsir al-Kasysyâf adalah bahwa usulan dan permintaan untuk menghimpun apa yang diketahuinya tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan (حقائق التنزيل) dalam Al-Qur’an datang dari kalangan ilmuwan dari perguruan tinggi tempat ia mengajar ilmu bahasa Arab dan ushuluddin (teologi). Permintaan tersebut tidak segera dipenuhinya, akan tetapi permintaan itu terus mengalir dari berbagai pihak, sampai pihak pemerintah ikut pula merasa perlu bercampur tangan untuk mendukung permintaan dari berbagai pihak itu.[85]
            Sebenarnya al-Zamakhsyarîy sadar akan kewajibannya untuk memenuhi keinginan mereka, tetapi beliau tetap keberatan. Namun setelah mengingat kondisi masyarakat yang begitu rusak ketika itu, bahkan para tokohnya pun nampak begitu merosot kepada minat dan semangatnya dalam mempelajari ilmu tafsir, apalagi untuk tertarik pada pengetahuan yang lebih tinggi, seperti ilmu bayân dan ilmu ma’âni, maka al-Zamakhsyarîy pun bersedia menuruti keinginan mereka.[86]
            Sebuah informasi lain menyebutkan bahwa latar belakang penulisan kitab tafsîr al-Kasysyâf yaitu berawal ketika ia datang ke Mekah al-Mukarramah, lalu seorang Amir yang mulia, yaitu Abû al-Hasan Ali ibn Hamzah, meminta kepadanya agar ia mengarang sebuah kitab tafsîr. Kemudian ia mengabulkan permintaan itu dan mulailah ia menulis. Kitab tafsîr al-Kasysyâf tersebut berhasil diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat ( tiga tahun ), padahal menurutnya ia perlu waktu lebih dari tiga puluh tahun untuk menyelesaikannya. Rupanya Allah membukakan hatinya melalui barakah karena dekatnya beliau dengan Bait Allâh, Masjid  al-Harâm.[87]
Pada awalnya al-Zamakhsyarîy hanya menerangkan huruf-huruf yang ada pada pembukaan surah-surah Al-Qur’an (terutama huruf-huruf muqâththa’ah), dan sebagian dari makna surah al-Baqarah. Sekalipun demikian, keterangan beliau cukup luas.
2.   Sumber-sumber Penafsiran
Al-Zamakhsyarîy menafsirkan Al-Qur’an dengan mempergunakan ra’yu. Semua ayat yang dapat menimbulkan pengertian bahwa Allah itu serupa dengan makhluk, ditakwilkannya.. Dalam menafsirkan Al-Qur’an beliau berpegang pada segi-segi balâghah untuk menjelaskan antara hakekat dengan majâz. Dalam menerangkan makna-makna Al-Qur’an beliau berpegang pada segi bahasa dan sangat memperhatikan ilmu Bayân dan hampir dapat dikatakan bahwa al-Zamakhsyarîy  dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak mempergunakan cerita-cerita Israiliyat dan dongeng-dongeng.[88]
Manna’ Khalîl al-Qattân memberikan komentar tentang tafsîr al-Kasysyâf. Menurutnya tafsîr al-Kasysyâf adalah sebuah kitab tafsîr yang paling masyhur di antara sekian banyak tafsîr yang disusun oleh mufassir bi al-ra’y yang mahir dalam bidang bahasa.[89] Atau menurut Harun Nasution, suatu pemahaman ayat tidak lagi berdasarkan pada arti lafdzi, tetapi dengan melampaui arti lafdzi untuk arti majazi dan arti metaforis, yang dibaca bukan yang tersurâh tetapi apa yang tersirat dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu kalam.[90]
Pernah diceritakan bahwa ketika menulis tafsîrnya, dia memulai dengan kata-kata; segala puji bagi Allah yang telah menciptakan Al-Qur’an ( khalaq Al-Qur’an ). Tetapi dia dinasihati oleh seseorang temannya agar membuang kata-kata tersebut, karena orang akan meninggalkan kitabnya dan tidak mau membacanya. Kemudian beliau pun merubahnya dengan kata-kata ;  segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Al-Qur’an ( Ja’ala Al-Qur’an ). Padahal menurut beliau baik term khalaqa maupun Ja’ala adalah merupakan kata sinonim.  Al-Âlûsî, Abû Sa’ûd, al-Nasafî dan para mufassir lain banyak menukilkan dari kitab tafsîr al-Kasysyâf.[91]
3.   Referensi Penafsiran
Secara garis besar, referensi yang digunakan al-Kasysyâf, sebagaimana dijelaskan oleh Mustafa al-Sâwî al-Juwaenî, terbagi kepada enam macam refrensi ; [92]
a.    Referensi  Tafsîr ; Mujâhid (W.104 H.), ‘Amr bin ‘Ubâd al-Mu’tazili (W.144 H.), Abû Bakr al-‘Asam al-Mu’tazili (W.235 H.), al-Zujâj (W.311 H.), al-Rumânî (W.384 H.), ‘Alawiyyin, yaitu tafsîr yang banyak diriwayatkan dari ‘Ali bin Abî Talib dan Ja’far al-Sadiq dan tafsîr-tafsîr lain yang bertentangan dengan pemikiran Mu’tazilah, seperti tafsîr-tafsîr Jabbariyah, Khawârij, Râfidah dan al-Mutasawwifah.
b.   Refrensi Hadits ; beliau tidak menyebutkan sumber-sumber refrensi hadits kecuali hadits yang berasal dari Sahih Bukhâri Muslim.
c.    Refrensi Qiraat ; Mushaf Abdullah bin Mas’ud, Mushaf al-Harits bin Suweid shahib ‘Abdullah, Mushaf Ubay dan Mushaf ahli Hijaj dan Syam.
d.   Refrensi Bahasa Arab ; kitâb Sîbawaih, Islâh al-Mantiq li ibn al-Sakittî (W.244 H.), al-Kâmil al-Mubarrad (W. 285 H.), al-Mutammim fî al-Khat wa al-Hijâi li Abdullah bin Daristaweih (W. 347 H.) dan al-Hujjah al-Fârisî (W.377 H.)
e.    Refrensi Sastra ; al-Hayawan al-Jâhiz, Hamasah Abi Tamâm dan Nawabighul Kalim
f. Refrensi Nasihat dan cerita ; Syarah bin Hausyab, Rabî’ah bin al-Bisriyah, Tawûs bin Abû Malik bin Abû Dînâr dan sebagian kitab-kitab sejarah lainnya.
4.   Metode Penafsiran
Dari beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa metode yang dipergunakan oleh al-Zamakhsyarîy dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah termasuk metode tahlîlîy[93]. Dalam menafsirkan suatu ayat, al-Zamakhsyarîy mengikuti runtutan ayat seperti yang tersusun dalam mushaf dan selanjutnya menerangkan rahasia-rahasia balâghah dan berpegang kepada ra’yu atau ijtihadnya.

5.      Corak Penafsiran
Adapun corak penafsiran al-Zamakhsyarîy adalah bercorak kebahasaan dan teologis. Kedua corak ini sangat mendominasi penafsiran-penafsiran al-Zamakhsyarîy dalam kitab tafsîr al-Kasysyâfnya. Kecenderungan al-Zamakhsyarîy ini dilatarbelakangi oleh kelebihan dan keseriusannya dalam menggali ilmu-ilmu bahasa Arab dan aqidah Mu’tazilah yang diperpeganginya. Oleh karenanya, dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, al-Zamakhsyarîy terlebih dahulu menjelaskan kedudukan lafal dalam ayat kemudian berupaya mengungkap makna-maknanya dan semua ayat yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dita’wilkan, agar manusia terhindar dari kemusyrikan.[94] 
Dilihat dari sudut keilmuan dan karyanya, al-Zamakhsyarîy adalah seorang imam dalam bidang ilmu bahasa, ma’ânîdan bayân.[95] Karena itu bagi orang-orang yang membaca kitab-kitab ilmu nahwu dan balâghah tentu sering menemukan keterangan-keterangan yang dikutip dari kitab al-Zamakhsyarîy sebagai hujjah. Beliau juga adalah orang yang mempunyai pendapat dan hujjah sendiri dalam banyak masalah bahasa Arab. Beliau bukan tipe orang yang senang mengikuti langkah orang lain yang hanya menghimpun dan mengutip saja, tetapi ia mempunyai pendapat yang orisinil yang jejaknya ditiru dan diikuti orang lain. Imam al-Zamakhsyarîy mempunyai banyak karya dalam bidang hadîts, tafsîr, nahwu, bahasa, ma’âni dan lain-lain. Di antara karangannya ialah al-Fa’iq tentang tafsîr hadis, al-Minhaj tentang ushul dan al-mufashshal tentang bahasa.[96]
Dari segi aqidah dan madzhab fiqih yang diperpeganginya, al-Zamakhsyarîy adalah seorang penganut Mu’tazilah dan mazhab Hanafi. Ia mena’wilkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan mazhab dan aqidahnya dengan cara yang hanya diketahui oleh orang-orang yang ahli, dan menamakan kaum Mu’tazilah sebagai “saudara seagama dan golongan utama yang selamat dan adil”. [97] Al-Zamakhsyarîy juga sangat keras membantah faham tasawwuf.[98]
                 Dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Zamakhsyarîy sangat menekankan pada upaya mengungkap makna yang terkandung dalam sebuah ayat. Beliau mengatakan dalam muqaddimah kitabnya bahwa tingkat ilmu yang dimiliki oleh para mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an rata-rata tidak seberapa jauh berbeda, bahkan hampir dikatakan sama. Jika terjadi perbedaan antara mufassir yang satu dengan mufassir yang lain itupun sangat kecil. Perbedaan sebenarnya hanya terletak pada kemampuan mengungkap makna ayat-ayat yang bersifat rahasia, samar dan tersembunyi di belakang kata-kata dan kalimat. Kenyataan menunjukkan bahwa makna yang tersirat hanya dapat diungkap  oleh satu di antara seribu orang ulama, yaitu ulama yang telah mempunyai tingkat imu pengetahuan yang tinggi. [99]
                 Betapapun hebatnya seseorang dalam ilmu bahasa sehingga mampu menguasai bahasa Arab di luar kepala, tak seorang pun yang sanggup menembus rahasia dan menyelami hakekat makna Al-Qur’an kecuali setelah benar-benar menguasai dua jenis ilmu yang khusus berkenaan dengan Al-Qur’an, yaitu ilmu Ma’âni dan ilmu Bayân. Selain itu, seorang mufassir harus berwatak jujur, lapang dada, bertekad keras, sadar, berpandangan tajam terhadap setiap persoalan bagaimanapun kecilnya, bersifat hati-hati menghadapi isyarat yang terbersit dari Al-Qur’an sekalipun tidak demikian jelas kelihatan, berpengetahuan luas mengenai puisi dan prosa, memiliki pengalaman dalam berbagai eksperimen serta mengetahui benar cara mengatur dan menyusun kalimat untuk menghindari kesempitan makna atau kemungkinan khilaf.[100] 
6.      Sistematika Penulisan
Menurut Ahmad Muhammad al-Hufî, sebelum al-Zamakhsyarîy menulis tafsîrnya, beliau banyak membaca tafsîr-tafsîr Mu’tazilah sebelumnya, seperti Al-Qadhi Abdul Jabbar dan Mujahid.[101]
Uraiannya dimulai dengan menjelaskan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan arti global ayat. Beliau juga terkadang menjelaskan munasabah (keterkaitan) antar ayat dan terkadang pula mengemukakan syair yang berhubungan dengan ayat yang ditafsîrkannya.
Langka-langkah yang digunakan ketika menafsirkan ;
1.        Menyebutkan nama surâh beserta kedudukannya, baik sebagai makkiyah maupun madaniyah, menjelaskan makna surâh dan nama lain dari surâh itu, jika ada riwayat yang menyebutkannya. kemudian menyebutkan keutamaan surâh, memasukan Qirâ’at, nahwu, sharaf dan ilmu-ilmu bahasa arab lainnya.
2.        Kemudian menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat dengan mengutif pendapat orang sebelumnya, memberi argumentasi dan membantah pendapat orang yang berlawanan dengannya.[102] Kadang-kadang memberikan ayat-ayat pendek yang sejenis maknanya untuk mendukung argumentasinya.
3.        Jika berkaitan dengan ilmu kalam, beliau membela dan mendukung aliran Mu’tazilah dengan argumen yang dia kuasai.[103] Adapun yang berkaitan dengan aya-ayat hukum, khususnya fiqih, beliau memaparkan banyak pendapat para ahli fiqih tanpa ada panatik pada madzhab Hanafi.[104]
4.        Menjelaskan lafadz dari sudut kebahasaan, sesuai dengan keahliannya
5.        Menjelaskan ayat Muhkamat dan Mutasyabihat, beliau berpendapat, Muhkamat adalah ungkapannya pasti, terjaga dari kemungkinan dan kerancuan arti. Sedangkan Mutsyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung arti relatif. Ayat-ayat muhkamat itu merupakan ummul kitab, dimana ayat-ayat mustasyabihat harus mengacu dan dikembalikan kepada Allah Swt.
6.        Membahas i’rab dan mengambil Qirâ’at yang dianggap mendukung argumennya. Seperti yang dinukil oleh Muhammad Husen al-Dzahabi, bahwa al-Zamakhsyarîy dalam menjelaskan kalimat حتى يطهرن dalam surâh Al-Baqarah/ 3:222,  mengambil Qirâ’at Abdullah bin Mas’ud yang membaca يتطهرن  dalam arti mandi besar. Sedangkan jika dibaca yathurna tanpa tasydid, maka artinya putusnya darah haid. Menurut Imam Abû Hanifah, suami boleh menggauli istrinya setelah putus darah haidnya, walaupun belum mandi. Suami tidak boleh menggauli istrinya, sebelum putus darah haidnya, walaupun masa haidnya lama. Sedangkan menurut Imam Syâfi’i, suami tidak boleh menggauli istri yang putus darah haidnya, sebelum istrinya mandi terlebih dahulu. Karena al-Zamakhsyarîy mengambil bacaan Abdullah bin Mas’ud ( dengan tasydid ) yang berarti mandi, maka secara tidak langsung dia sependapat dengan Imam Syafi’i.[105]
7.      Karakteristik
Hasbi ash-Shiddieqy menjelaskan, Tafsîr al-Kasysyâf dinilai sebagai tafsîr yang paling baik dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad, termasuk golongan Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah. Namun golongan Ahlus Sunnah memberikan kritik terhadap pendirian al-Zamakhsyarîy dalam bidang i’tikad karena berbau i’tizal.[106] Hal ini nampak jelas ketika terjadi perbedaan antara Ahlus Sunnah dan Mu’tazilah, maka beliau mengikuti ajaran Mu’tazilah.[107]
Hampir dikatakan, al-Zamakhsyarîy dalam menafsirkan, tidak menggunakan cerita-cerita Isrâiliyât Kalaupun mnggunakan, ia menyertainya baik dengan ungkapan روى dan penjelasan ke-da’if-an riwayat dan jauh dari ke-sahih-annya, atau dengan meyerahkan urusannya kepada Allah Swt. [108]


[1]Lihat, Amin al-Khûlî, Kasysyâf al-Zamakhsyarîy (Mesir: Maktabah al-Usrah, t.th.), Hal. 5, Muni’ Abdul Halim Mahmud, Manâhij al-Mufassirûn (Beirut: Dâr al-Kutub, 1978), Hal. 105, Ibrâhîm Dasûqy, Sekilas tentang Riwayat Pengarang dalam al-Zamakhsyarîy, al-Kasysyâf, Jilid IV (Teheran: Intisyârat Afataba, t. th.), Hal. 307. Lihat, H.A.R. Gibb dan J. H. Kraemers, Shorter Encyiclopedia of Islam (Leiden: E. J. Brill, 1974), Hal. 654. Lihat pula Abdul Azis al-Mu’thiy Arafah, Qa«iyah al-I’jâz Alqurâniy wa A£aruhâ fi Tadwîn al-Balâghah al-Arabiyah (Beirut: ‘Alim al-Kutub, 1985 M./1405 H.), Cet. I, Hal. 660. Al-Zamakhsyarîy mendapat gelar Jârullah (tetangga Allah), karena dia amat dekat kepada Allah dan tinggal beberapa lamanya di bayt al-Harâm (Mekah). Lihat selengkapnya, Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994 M./1414 H.), Cet. I, Hal. 5. Gelaran lain yang diberikan kepadanya adalah Taj al-Islâm (Mahkota Islam) dan kebanggaan bangsa Khuwarizm. Lihat, Ali Hasan al-‘Aridl, Târikh Ilmi al-Tafsîr wa Manâhij al-Mufassirîn (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), Cet. II, Hal. 28. 
[2] Khuwârizm ketika itu merupakan kota yang megah, luas, dan subur. Kondisi ini diakui oleh para alhli geografi Arab terkenal seperti al-Maqdisî, Yâqût dan Ibnu Batutah. al-Maqdisî misalnya mengatakan bahwa Khuwârizm adalah suatu daerah yang indah da luas, bangunan-bangunannya terbentang, rumah-rumah yang dihiasi oleh taman-taman yang bersambung-sambung, sawah-sawah, kebun-kebun, dan buah-buahan tidak pernah putus. Hal yang sama diakui oleh Yâqût yang mengatakan bahwa bangunan-bangunan yang terdapat di daerah Khuwârizm itu bersambung-sambung. Kota ini penuh dengan bangunan-bangunan megah. Kota-kota dan desa-desanya berdekatan satu sama yang lain dan banyak pula bangunan-bangunan rumah. Ibnu Bathûthah menceritakan bahwa Khuwârizm adalah daerah yang mempunyai pasar-pasar yang luas, jalan-jalan rayanya lapang, dan bangunan-bangunannya banyak. Kota ini pada masa lalu mempunyai peradaban yang tinggi yang hingga abad ke 13 Masehi berkembang menjadi peradaban Iran Kuno. Penduduknya sangat fanatik terhadap agama.  Yâqût  misalnya menunjukan bahwa seorang Mu’adzin akan segera bangun ketika waktu sahur tiba dan tidak akan tidur lagi hingga terbit fajar untuk mengumandangkan suara adzan subuh. Kemegahan kota ini tidak ada bandingannya dengan kota yang lain yang pernah ia lihat selama ini. Ibnu Bathûthah menyaksikan sendiri penduduknya mempunyai kebiasaan yang baik dalam melakukan shalat. Para mua’dzin di mesjid-mesjid mendatangi rumah-rumah para tetangga yang tinggal berdekatan digan mesjid untuk memberitahukan masuknya waktu shalat dan melaksanakan shalat di mesjid. Jika ada di antara mereka tidak melakukan shalat di mesjid, maka imam mesjid memberi sanksi dengan memukul mereka di hadapan para jamaah yang lain.  Lihat Mushthafâ al-Shâwî al-Juwanî, Manhaj al-Zamakhsyarî fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm wa Bayân I’Jâzih, ( Mesir : Dâr al-Ma’ârif, t.t. ) h. 17-22.
[3] Andrew Reffin, “Zamakhshary,” dalam Mircea Eliade, ed., The Encyclopedia of Religion, vol. 15 ( New York : Macmillan Library Reference, t.th ), Hal. 554-555
[4]Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an; upaya menafsirkan Al-Qur’an dengan Pendekatan Kebahasaan, ( Jakarta : Fikra Publishing, 2006 ), Hal. 149
[5] ‘Abd al-Majîd Dhayyâb, Muqaddimah al-Tahqîq, dalam Rabî al-Abrâr oleh al-Zamakhsyarîy (Mesir: Dâr al-Haiah al-Misriyyah li al-Kuttâb, 1992), Hal. 17. Lihat pula, Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Audhah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh., Hal. 57.
[6] ‘Abd al-Majîd Dhayyâb, Muqaddimah al-Tahqîq, dalam Rabi al-Abrâr oleh al-Zamakhsyarîy., Hal. 17-18.
[7]Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh., Hal. 56. Lihat pula Manna’ Khalil al-Qaththân, Mabâhis fi ‘Ulum Al-Qur’an (Riyadl: Maktabah al-Ma’ârif li al-nasyr wa al-Tauzî’, 1996), Cet. II,  Hal. 380. Lihat pula Muhammad Husein al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid. I, Hal.438
[8] Untuk selengkapnya baca, Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Audhah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh., Hal. 9.
[9] ‘Abd al- Majîd Dhayyâb, Rabi al-Abrâr., Hal. 16.
[10] Muhammad ibn Abu al-Fath Maliksyâh adalah seorang raja keturunan Saljuk. Ia adalah seorang sultan yang bijaksana, berakhlak baik dan pemberani. Di antara kebaikan yang pernah dilakukannya adalah apa yang dilakukannya terhadap golongan Bathiniyyah. Ia meyakini bahwa untuk menciptakan kemaslahatan negeri dan penduduknya, perlu dilakukan usaha-usaha menghapuskan segala pengaruh yang ditimbulkan oleh golongan Bhatiniyyah itu dan membakar tempat-tempat tinggal mereka. Untuk itulah usaha itu dilakukannya. Musthâfa al-Shâwi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhsyarîy fî Tafsîr Alqur’ân al-Karîm wa Bayân Ijazih (Mesir: Dâr al-Maârif, t. th.), Hal. 34.
[11]Bahkan menurut Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uadah bahwa pada sebagian besar perjalanannya, al-Zamakhsyarîy ditimpa sakit keras. Lihat, Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Audhah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh, Hal. 9
[12] Syekh Kâmil Muhammad., Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh, Hal. 45.
[13] Dikutip oleh Ahmad Thib Raya dari Baghiyyah al-Wu’âh, karangan al-Sayûthi, ( t.t., Mathba’ah al-Sa’âdh, 1326 H ), Cet.II, Jilid 2, 388. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an, Hal.152
[14] Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh., Hal. 46.
[15] Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an, Hal. 153
[16]Ali bin Isa adalah seorang yang terpandang dan disegani di Makkah al-Mukarramah. Tidak hanya oleh penduduk Makkah, tetapi juga oleh para pemimpinnya. Ia memiliki banyak buku dan karangan. Lihat, Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwadhah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh., Hal. 47.
[17] Nama lengkapnya adalah Abû Bisyr ‘Amr ibn Ustmân ibn Qanbar (w. 188 H.). Ia lebih dikenal dengan nama Sîbawaih. Sibawaih hanyalah sebuah julukan, tetapi julukannya ini lebih dikenal daripada nama aslinya sendiri. Julukan ini dipandang unik, karena belum ada yang memperoleh julukan yang sama seperti ini sebelumnya. Kata Sîbawaih itu sendiri terdiri atas dua kata yaitu سي yang berarti “tiga puluh” dan بوي  yang berarti “bau harum”. سيبويه  berarti tiga puluh bau harum. Ia digelari dengan nama itu karena setiap orang yang bertemu dengannya selalu mendapat bau harum darinya. Sebuah pendapat mengatakan bahwa Sibawaih berasal dari bahasa Persia yang terdiri dari dua buah kata, yaitu sib yang berarti buah apel dan waih berarti wangi. Jadi Sîbawaih adalah buah apel yang wangi. Riwayat lain juga menyebutkan bahwa julukan itu diberikan kepadanya karena kedua pipinya bagai dua buah apel. Ada pula yang memberitakan bahwa julukan itu diberikan karena setiap orang berjumpa dengannya selalu mencium bau wewangian minyak berbau apel yang sering ia gunakan. Sementara pandangan yang lain juga menyebutkan bahwa julukan itu diberikan karena tingkah lakunya yang lembut. Pembawaannya yang baik selalu mendapat pujian dari orang yang bergaul dengannya. Sîbawaih adalah ulama yang sangat terkenal terutama di bidang nahwu. Ia berguru dari sejumlah ahli nahwu pada masanya dan memiliki sejumlah murid yang tidak terhitung jumlahnya. Ia telah menyusun sebuah buku yang sangat terkenal yaitu Kitâb Sîbawaih yang berisi uraian mengenai persoalan-persoalan nahwu. Kitab itu menjadi rujukan utama bagi para ulama nahwu yang hidup sesudahnya dan hingga kini masih menjadi rujukan penting. Lihat, Hasan Mu’arif Ambary, et. al., Ensiklopedi Islam, Jilid II (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Hal. 169.
[18] Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh., Hal. 50-51.
[19]Dalam pengantar buku ini, al-Zamakhsyariy menyebutkan kelebihan yang dimiliki oleh Atsaz dalam menjaga ilmu pengetahuan dan sastera serta para ulamanya. Lihat, Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an.,Hal. 155
[20] Tâj al-Mulk, sebagai Wali Kota Damsyiq telah membunuh enam ribu orang dari golongan Bâthiniyah dan berusaha menyatukan orang Arab dan Turkiman untuk menghadapi orang Eropa yang telah mengepung kota Damsyiq dan mengalahkan penduduknya dengan kekalahan yang Amat menyedihkan pada tahun 523 H. Syams al-Mulk adalah putranya yang memerintah dan menggantikannya mulai tahun 526 H. Lihat. Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an, Hal. 156
[21] Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidhah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh. Hal. 53-55.
[22] Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh. Hal. 53-55., Hal. 55. Lihat pula Musthâfa al-Shâwi al-Juwainî, Manhaj al-Zamakhsyarîy fî Tafsîr Alqur’ân al-Karîm wa Bayân Ijazih., Hal. 42.
[23] Ia seorang ulama Khuwârizm yang menguasai beberapa ilmu, seperti bahasa, nahwu dan kedokteran. Seorang ulama yang pertama memasukan faham Mu’tazilah dan menyebarkannya di Khuwârizm.banyak para ulama yang menimba ilmu darinya. Karya-karya  tulisnya tidak diketahui jumlahnya. Salah satunya adalah seperti yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya dari buku Mu’jam al-‘Udabâ, yaitu Zâd al-Râkib. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an.,Hal. 157
[24] Ia seorang ulama Andalusia yang menguasai ilmu dalam bidang nahwu, ushul Fikih da fikih. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an.,Hal. 157
[25]  Dari ketiga ulama inilah al-Zamakhsyarî mempelajari hadits. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an.,Hal. 157
[26] Seorang ulama di bidang sastra Arab yang memiliki banyak karya tulisnya. al-Zamakhsyarî berguru kepadanya sebelum Ia berguru ke Abû Mudhar Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an.,Hal. 157 
[27] Seorang Fakih dari Baghdad bermadzhab Hanafi. Ia  menjabat sebagai Qâdhî di sana selama beberapa tahun. Karyanya yang terkenal adalah Mukhtashar al-Hâkim fî al-Furû’. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an.,Hal. 157
[28] Seorang ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu bahasa Arab, nahw khususnya. Ia memiliki banyak karya tulis. Diantaranya yang tekenal adalah Kitâb Mâ Ittafaqa wa Ikhtilafa Ma’nâu. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an., Hal. 157
[29] Abd al-Majîd al-Dayyâb, Rabî’ al-Abrâr, Hal. 23
[30] Syekh Kâmil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, Al-Zamakhsyarîy al-Mufassir al-Balîgh Hal. 15-16.
[31] Karya-karyanya seperti Kitâb al-Mawadhi wa al-Buldan dalam bidang sejarah, Kitâb Tafsîr Al-Qurân dan juga Kitâb Isytiqâq al-Asmâ dalam bidang bahasa. Hal ini diungkapkan oleh al-Sam’ani dalam kitab al-Ansab, Hal. 278, kemudian dikutip oleh ‘Abd al-Majîd Dayyâb dalam Muqaddimah kitab Rabi al-Abrâr, Hal. 23-25. kemudan dikutip lagi oleh Ahmad Thib Raya. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, Hal. 158
[32] Ahmad Thib Raya, Rasionalitas . ., Hal. 160
[33] Menurut Ahmad Muhammad al-Hûfî, seorang penulis tentang al-Zamakhsyarî, yang kemudian dikutip oleh Ahmad Thib Raya, bahwa Abû Mudhar Mahmûd ibn Jarîr al-Dabî al-Isfahânî merupakan ulama yang paling banyak memberi pengetahuan dan pengaruh yang paling besar kepada al-Zamakhsyarî. Pengaruh faham Muktazilah pada gurunyajuga ikut mewarnai pemikiran al-Zamakhsyarî. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, Hal. 160
[34] Ia adalah seorang penulis, penyair dan pengarang buku. Ia juga seorang ulama yang telah berjasa memberikan pendidikan kepada penduduk Khuwarizm dan menjadi guru al-Zamakhsyarîy. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, Hal. 160
[35] Seorang Fakih dari Baghdad bermadzhab Hanafi. Ia  menjabat sebagai Qâdhî di sana selama beberapa tahun. Karyanya yang terkenal adalah Mukhtashar al-Hâkim fî al-Furû’. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an.,Hal. 157.
[36] Seorang ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu bahasa Arab, nahw khususnya. Ia memiliki banyak karya tulis. Diantaranya yang tekenal adalah Kitâb Mâ Ittafaqa wa Ikhtilafa Ma’nâu. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an., Hal. 157
[37] Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, . . ., Hal. 161
[38] Nama Lengkapnya, seperti yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya dari Ibnu Khallikan, Wafayât al-A’yân, Jilid 4, Hal. 474. dan dari Yâqût al-Hamawî, Mu’jam al-Udabâ, Jilid.19, Ha. 205. dan dari Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Baghiyyah al-Wu’âh, Hal. 401. yaitu Mauhûb ibn Abî Thâhir Ahmad Al-Jawalîqî. Ia seorang ulama besar dalam bidang sastra yang sebelumnya dipelajarinya di madrasah Nidzamiyah setelah al-Khatib al-Tabrizi. Kedalaman pengetahuannya dalam bidang kebahasaan sebanding dengan kedalam pengetahuannya dalam bidang Nahwu. Ia seorang Ulama Ahl al-Sunnah yang tawâdlû dan mempunyai berbagai karangan, seperti Syarh Adab al-Kâtib, Al-Mu’arrab min al-Kalâm al-A’jamî, dan al-Takmilah fî mâ Yalhanu fîhi al-‘Âmmah. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionlitas,.., Hal. 162
[39] Ahmad Thib Raya, Rasionalitas,. . . , Hal. 162
[40] Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, …, Hal. 163
[41] Muhammmad al-Hûfî, al-Zamakhsyarî, Hal. 42  kemudian Dikutip oleh Ahmad Thib Raya. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas,. .,  Hal. 162
[42]  Dengan pengetahuannya, ia telah menyusun beberapa karya tulis yang menjadi referensi bagi generasi seudahnya, diantaranya, Miftâh al-Tanzîl, Taqwîm al-Lisân fi al-Nahw, al-I’jâb fi al-I’râb, al-Bidâyah fi al-Ma’ânî wa al-Bayân, kitâb Manâzil al-‘Arab dan Syarh Asmâ Allâh al-Husnâ.Lihat  Yâqût al-Hamawî, Mu’jam al-Udabâ,Jilid 19, Hal. 5. yang kemudian dikutip oleh Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, . . Hal. 163
[43] Lihat Yâqût al-Hamawî, Mu’jam al-Udabâ,Jilid 15, Hal.61 yang kemudian dikutip oleh Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 163
[44] Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, Hal. 158
[45]Lihat, Amîn al-Khulîy, Kasysyâf al-Zamakhsyarîy., Hal. 18-24.
[46] Dalam beberapa letaratur buku ini terdapat perbedaan penyebutan. Menurut Amîn al-Khulîy buku ini berjudul Risâlah fî Kalimât asy-Syahâdah. yang terdapat di Berlin. Lihat Amîn al-Khulîy, Kasysyâf al-Zamakhsyarîy., Hal. 18-24. Menurut ‘Abd al-Majîd al-Dayyâb yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya, buku ini berjudul Mas’alah fî Kalimat al-Syahadah. Menurut Muhammad al-Hûfî yang juga dikutip oleh Ahmad Thib Raya buku ini berjudul Risâlah fî Hikmât asy-Syahâdah..namun demikian uraian buku ini sama, yaitu tentang syahadat. Naskah  buku ini pernah dipublikasikan di Majallah Majma’ al-‘Ilmî al-‘Irâqî, Jilid 15, tahun 1967 yang diedit oleh Buhaijah Baqir al-Husnâ. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .. , Hal. 165.
[47] Buku berbentuk Manuskrif yang tersimpan di Dâr al-Kutub al-‘Arabiyyah di Kairo, Mesir dengan nomor 1/348 dan satu naskah lagi di Berlin dengan nomor 9656. kemudian diterbitkan di Baghdad tahun 1968, yang disertai tahqîq oleh Buhaijah Baqir al-Husnâ. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .. , Hal. 165.
[48] Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 165
[49] Buku ini masih dalam bentuk Manuskrif di Maktabah Ribâth Sayyidinâ ‘Utsman ibn ‘Affân di Madinah Munawwarah dengan Nomor 59. Namur demikian sebahagian dari buku ini pernah dimuat dalam Majallah Majma’ al-‘Ilmî al-‘Irâqî, Jilid 8, Hal. 857. Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 166
[50] Lihat, Amîn al-Khulîy, Kasysyâf al-Zamakhsyarîy., Hal. 18-24.
[51] Sebagian ulama seperti Muhammad al-Hûfî memandang buku ini sebagai satu buku, tapi sebagian yang lain seperti ‘Abd al-Majîd al-Dayyâb, buku ini dipnadang dua buku. Oleh karena itu buku tersebut diberi judul terpisah dalam uraian ‘Abd al-Majîd al-Dayyâb, yaitu al-Râfidl  al-Farâid dan Dlâlat al-Nâsyid. Dasar yang dijadikan pegangan oleh ‘Abd al-Majîd al-Dayyâb adalah penjelasan yang disebutkan oleh Yâqût al-Hamawî dan Ibnu Khalikân. Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 166
[52] Karya ini masih dalam bentuk Manuskrip dengan No. 4204 dan tersimpan di Dâr al-Kutub al-‘Arabiyyah di Kairo. Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 165
[53] Buku tersebut pernah diterbitkan di India pada tahun 1324 H., kemudian dicetak ulang disertai dengan ulasan yang diberikan oleh ‘Alî al-Bajâwî dan Muhammad Abû al-Fadal Ibrâhîm, di Kairo pada tahun 1945. Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 168
[54] Naskah manuskrip ini masih tersimpan Dâr al-kutub al-‘Arabiyyah Kairo Mesir dengan No.9656. kemudian manuskrip ini diterbitkan di Baghdad pada tahun 1968 diserati dengan tahqîq oleh Buhaijah Bâqir al-Husnâ. Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 165
[55] Dua Buku yang disebutkan terakhir ini kurang dikenal, Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 166
[56] Buku-buku ini menurut Ahmad Thib Raya kurang terkenal. Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 166
[57] Diterbitkan di Mesir dan sudah beberapa kali dicetak ulang
[58] Buku ini menurut Muhammad al-Hûfî yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya, merupakan salah satu bukunya yang berjudul Muqaddimat al-Dzahab, bagian pertama buku ini menguraikan tentang Isim, dan bagian keempat yang menguraikan tentang tashrîf al-Af’âl. Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 167
[59] Buku ini diterbitkan di Kairo pada tahun 1324 H. dan tahun 1928 M. Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 168
[60] Sebagian isi buku ini, menurut Ahmad Thib Raya pernah dimuat di Majallah al-Majma’ al-‘Ilmî al-‘Irâqî yang diedit oleh Buhaijah Bâqir al-Husnâ. Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 168
[61] Menurut Muhammad al-Hufî yang dikuitp oleh Ahmad Thib Raya buku ini tidak terkenal. Tapi menurut Fâdil al-Sâmurâ’î menyatakan bahwa di perpustakaan Museum Irak di Baghdad terdapat manuskrip dengan judul Samîm al-‘Arabiyyah dengan No. 1002 yang pengarangnya dinisbahkan kepada al-Zamakhsyarî. Tetapi di sampulnya tertulis Mukhtasar Asâs al-Luhgah li al-‘Allâmah Jâr Allâh al-Zamakhsyaî. Kemudian Fâdil al-Sâmurâ’î menyatakan bahwa menurut komentar Husain Nassâr, buku ini bukanlah yang ditulis oleh al-Zamakhsyarî dengan alasan bahwa sistem penulisan buku tersebut Sangat berbeda. Husain Nassâr lebih cendrung menyebutkan bahwa buku tersebut merupakan ringkasan dari buku Islâh al-Manthiq oleh Ibnu al-Sikkît atau yang serupa dengannya. Ia tidak pernah mengetahui buku yang berjudul Asâs al-Luhgah yang ditulis oleh al-Zamakhsyarî. Yang diketahuinya hanya Asâs al-Balâhgah. Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 168
[62] Buku ini merupakan ensiklopedi mengenai amsal-amsal dalam bahasa Arab yang menghimpun sebanyak 3461 masal yang disusun secara hijai. Buku ini pertama kali diterbitkan di India pada tahun 1962. Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 168
[63] Buku ini berisikan kamus bahasa Arab – Persia.
[64] Buku ini merupakan ringkasan isi buku al-Mufashshal, yang diterbitkan pertama kali di Mesir tahun 1289 dan di Turki tahun 1298. Buku ini telah banyak diberi syarah oleh banyak para ulama. Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 168
[65] Buku ini berisi bait-bait syair yang disusun oleh Sîbawaih yang bekaitan dengan ilmu Nahwu
[66] Buku ini berisi uraian persoalan pengajaran ilmu Nahwu. Buku ini menurut ‘Abd al-Majîd al-Dayyâb yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya, ditulis oleh al-Zamakhsyarîy selama dua tahun (513-515 H.). Naskah buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1873 M. dan dicetak ulang beberapa kali di beberapa negara. Buku ini menjadi Sangat populer setelah diterbitkan dan diedarkan ke beberapa negara. Pada tahun 1879 buku ini diterbitkan di Kurdistan dan pada tahun 1882 diterbitkan di Libizij dengan Syarh oleh Ibnu Ya’îsy, dan pada tahun 1291 H. atas usa Percetakan al-Munîriyyah, buku tersebut diterbitkan di Kairo dalam jumlah 10 Jilid, kemudian diedarkan di Iskandariyyah atas usaha Syekh Hamzah Fath Allâh. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 170
[67] Sebagian dari isi manuskrip ini pernah dimuat oleh Majallah Majma’ al-‘Ilmî al-‘Irâqî tahun 1967 disertai komentar yang diberikan oleh Buhaijah Bâqir al-Husnâ. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 169
[68] Buku ini terdapat perbedaan pendapat mengenai judulnya. Menurut Muhammad al-Hufîi dalam bukunya al-Zamakhsyarî, yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya, al-muhajât bi al-Masâil al-nahwiyyah aw al-Hâjî al-nahwiyyah. sedangkan menurut ‘Abd al-Majîd al-Dayyâb, buku ini berjudul al-muhajât wa mutammimu mahâmi Arbâb al-Hâjât fi al-Ahâjî wa al-Ughlûthât. Namun demikian, mereka tidak memperselisihkan tentang buku ini, kedua-duanya sama berisi uraian tentang nahwu. Buku ini diterbitkan pertama kali di Baghdad tahun 1973. Naskah manuskripnya terdapat di Dâr al-Kutub al-Misriyyah, Kairo No. 116. Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 169
[69] Buku ini kurang dikenal, Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 170
[70] Satu-satunya buku yang ditulis al-Zamakhsyarîy mengenai Arûdl. Buku ini diterbitkan di Najaf, Iraq disertai komentar oleh Buhaijah Bâqir al-Husnâ. Fotokopi naskah manuskrip ini berada di beberapa perpustakaan, seperti di Pepustakaan ‘Asyir Efendi No. 990, di Perpustakaan Sultan Ahmad al-Salis No. 1652, di Perpustakaan Berlin No. 7111 dan di Perpustakaan Leiden No. 267. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 170
[71] Buku ini diterbitkan di Najef tahun 1962., Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 167
[72] Buku ini menurut beberapa ulama, seperti Mushthafâ al-Shâwî al-Juwainî, yang dikutip oleh Ahmad Thib Raya, pada mulanya bernama al-Nashâih al-Shighâr. Diperpustakaan Musium Iraq, buku ini tercata sebagai manuskrip No. 567 di bawah judul Kitâb Athwâq al-Dzahab fî ‘Ilm al-Adab yang juga dinamakan al-Nashâih al-Shighâr. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 171
[73] Buku ini berisikan nasihat dan petunjuk-petunjuk yang berjumlah 50 maqamat yang pada dasarnya ditujukan kepada diri al-Zamakhsyarîy yang kemudian disyarahkannya sendiri. Buku ini diterbitkan pertama kali di Kairo tahun 1312 H. dan cetakan kedua masih di Kairo tahun 1320 H. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 172
[74] Dikutip oleh Ahmad Thib Raya dari buku Yâqût. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 171.
[75] Dikutip oleh Ahmad Thib Raya dari buku Yâqût, Ibn Khallikân dan penulis buku Tâj al-Tarâjum. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 171
[76] Dikutip oleh Ahmad Thib Raya dari buku Yâqût, Ibn Khallikân dan penulis buku Hadiyyah al-‘Ârifîn, Jilid II, Hal. 402.Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .., Hal. 171
[77] Masih berbentuk Manuskrip yang tersimpan di Dâr al-Kutub al-Mishriyyah Kairo No. 529/ Adab. Manuskrip ini telah diulas dalam bentuk tesis untuk meraih glelar magister oleh seorang mahasiswa fakultas Dâr al-‘Ulûm Universitas Kairo. Lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas, .. Hal. 171
[78]  Buku ini berisi pujian terhadap Allah dan Rasul-Nya. Isi buku ini pernah dimuat di Majallah al-Ustâdz yang diterbitkan di Irak pada tahun 1967 dengan ulasan yang diberikan oleh Buhaijah Bâqir al-Husnâ. Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 171
[79] Buku ini menguraikan tentang kalam yang antara lain tetang bagaimana Allah duduk di atas ‘Arasy. Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 171
[80]  Kelima buku yang disebutkan terakhir ini kurang dikenal, Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 172
[81] Buku ini mengenai ilmu mantiq. Buku ini kurang dikenal, Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 172
[82] Buku ini mengenai mantiq. Buku ini kurang dikenal, Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 172
[83] Buku ini terdapat perbedaan nama. Menurut ‘Abd al-Majîd Dayyâb yang dikutip oleh Ahmad thib Raya, buku ini berjudul Nuzhat al-Musta'nis, sedangkan menurut Brukcleman buku ini berjudul Nuzhat al-Musta'nis wa Nuzhat al-Muqtabis. Salah satu manuskripnya terdapat di Ayasofia no. 4331. Salîm al-Nu’aimî menyatakan bahwa buku ini bukanlah karya al-Zamakhsyarîy, tetapi ringkasan mengenai buku Rabî al-Abrâr yang ditulis oleh orang lain. Lihat Ahmad Thib Raya,  Rasionalitas, .., Hal. 172
[84] Dari ungkapan al-Zamakhsyarîy itulah kemudian dijadikan judul kitabnya al-Kasysyâf ‘an Haqâiq at-Ta’wîl wa ‘Uyúnil Aqâwil fi Wujúh at-Ta’wîl. Atau lihat, Ahmad. Surbasyi, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Terjemah. Drs. Zufran Rahman, , ( Jakarta : Kalam Mulia, 1994 ), Cet. I , Hal. 132-133
[85] Ali Hasan al-‘Âridl, Târikh Ilmi al-Tafsîr wa Manâhij al-Mufassirîn., Hal. 29.
[86] Lihat al-Zamakhsyarîy, al-Kasysyâf, Juz I (Mesir: Musthâfa al-Bâby al-Halabîy, 1972), Hal. 17-18.
[87] Lihat al-Zamakhsyarîy, al-Kasysyâf, Juz I (Mesir: Musthâfa al-Bâby al-Halabîy, 1972), Hal. 17-18
[88]Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Ilmu Alquran/Tafsir., Hal. 242.
[89] Manna’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm Al-Qur’ân Hal. 380. Lihat pula Lihat pula Muhammad Husein al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid. I, Hal.437-438.
[90] Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996), Cet. IV, Hal. 307.
[91] Thameem Ushama., Metodologi Tafsîr Al-Qur’an: kajian kritis, objektif & Komprehensif, Terjemah. Drs. Hasan Basri, MA & Drs. Amroeni, M.Ag, ( Jakarta : Riora Cipta, 2000 ), Ct.I, Hal.71. Lihat pula, Andrew Reffin, “Zamakhshary,” dalam Mircea Eliade, ed., The Encyclopedia of Religion, vol. 15 ( New York : Macmillan Library Reference, t.th ), Hal. 554-555
[92] Mustafa al-Sâwî al-Juwaenî, Manhaj al-Zamakhsyarîy fi al-Tafsîr, ( Cairo : Dar al-Ma’arif, tt ) , Hal. 23-30  
[93] Metode Tahliliy ialah mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dari segala segi dan maknanya. Dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan metode tahliliy, seorang pengkaji menafsirkan ayat demi ayat dan surah demi surah, sesuai dengan urutan dalam mushaf Utsmaniy. Untuk itu ia menguraikan kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur i’jaz, balaghah dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang diistinbathkan dari ayat, yaitu hukum fiqhi, dalil syar’iy, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, aqidah atau tauhid, perintah, larangan, janji, ancaman, haqiqat, majaz, kinayah, isti’arah serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Oleh karenanya, ia merujuk kepada asbab nuzul ayat, hadis-hadis rasulullah Saw. dan riwayat para sahabat dan tabi’in. Lihat Ali Hasan ‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsîr (terj. Ahmad Arkom), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), Cet. II, Hal. 41-78 dan Abd. Hayy al-Farmawiy, Al-Bidayat fi al-Tafsîr al-Maudhu’iy diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah dengan judul  Metode Tafsîr Maudhu’iy (Jakarta: LSIK dan PT. Raja Grafindo Persada, 1994), Cet. I, Hal. 11-29.
            [94] Hasbi ash-Shiddieqiy, Sejarah Ilmu Alquran/Tafsir,., Hal. 242.
[95]Thamem Ushama, Methodologies of The Quranic Exegesis (Kualalumpur: A.S. Noordeen, 1995), Hal. 90. Pada bagian lain Manna’ Khalil al-Qaththân menyebutkan bahwa al-Zamakhsyarîy adalah ahli nahwu, bahasa Arab dan tafsîr. Lihat, Manna’ Khalil al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm Al-Qur’ân., Hal. 388.
[96] Manna’ Khalil al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm Al-Qur’ân., Hal. 388.
[97] Manna’ Khalil al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm Al-Qur’ân.,  Hal. 389.
[98]Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsîr (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), Cet. XV, Hal. 278.     
[99] Al-Zamakhsyarîy, al-Kasysyâf,  Juz I, Hal. 9-10.
[100]Al-Zamakhsyarîy, al-Kasysyâf,  Juz I,. 16-17.
[101]Ahmad Muhammad al-Hufî, al-Zamakhsyarîy, Hal. 35
[102] Sayyid Muhammad Ali Ayazi, al-Mufassirûn wa hayâatuhum wa manâhijuhum, ( Teheran : Mu’assasat al-Tabâ’ah wa al-nasr al-tsaqâf wa irsyâd, tt ), Hal. 578
[103] Ali Ayazi, al-Mufassirûn wa hayâatuhum wa manâhijuhum, Hal. 579
[104] Ali Ayazi, al-Mufassirûn wa hayâatuhum wa manâhijuhum, Hal. 579
[105] Muhammad Husain al-Dzahabîy Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Hal. 481
[106] Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsîr ., Hal. 243.
[107]Lihat, Muni’ Abdul Halim, Manâhij al-Mufassirûn., Hal. 106.
[108]Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Ilmu Alquran/Tafsir, Hal. 242. atau lihat langsung, Muhammad Husain al-Dzahabîy Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Hal. 483